Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.
Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 / THTM
Senin pagi datang seperti biasa, tapi tidak bagi Elara. Sejak membuka mata tadi, pikirannya sudah penuh dengan rencana kecil yang ia tahu akan mengubah banyak hal.
Ia berdiri di depan cermin, menatap bayangan dirinya. Seragamnya rapi, wajahnya tampak seperti biasa — anak perempuan kaya yang ceria dan ramah di sekolah. Tapi sorot matanya lain. Ada sesuatu yang berputar di balik pupilnya: rasa ingin tahu yang menekan keras di dadanya.
“Hari ini aku akan tahu seberapa jauh kamu bisa bersembunyi, Kak…” bisiknya pada pantulan dirinya sendiri.
Ia mengambil tasnya, menuruni tangga, dan menyapa ibu mereka dengan suara lembut seperti biasa. Alaric belum turun — atau mungkin sengaja menghindari sarapan bersama. Elara sudah tidak terkejut lagi. Ia tahu kakaknya itu punya cara sendiri untuk menghilang.
Di sekolah, suasana seperti biasa. Anak-anak berlarian, beberapa mengeluh tentang tugas matematika, sebagian sibuk dengan cerita akhir pekan.
Elara duduk di bangku nya, menatap jendela yang mulai berembun. Hujan tampak menggantung di langit, gelap, berat.
Sementara itu, Nayara tengah menunduk serius mencatat pelajaran. Ia tampak lebih tenang dari hari-hari sebelumnya, meski masih ada bayangan lelah di wajahnya. Elara memperhatikan. Matanya tak lepas sedikit pun dari gadis itu.
Setiap kali guru berbalik ke papan tulis, Elara diam-diam mencatat sesuatu di buku kecilnya — tentang Nayara, tentang ekspresinya, tentang momen-momen kecil yang mungkin tampak sepele tapi bisa menjelaskan banyak hal.
Saat bel pulang berbunyi, suara riuh memenuhi kelas. Hujan deras jatuh seketika. Anak-anak lain mengeluh dan menunggu di dalam, tapi Elara justru berdiri, menutup bukunya, dan berjalan ke arah pintu.
“Nggak pake payung, El?” tanya Nayara spontan.
Elara tersenyum, matanya jernih tapi ada sesuatu di baliknya. “Nggak papa. Aku suka hujan.”
Sebelum Nayara sempat menahan, Elara sudah melangkah ke luar, membiarkan air deras membasahi seluruh tubuhnya. Seragamnya menempel di kulit, rambutnya meneteskan air, tapi langkahnya mantap.
Beberapa teman menatap heran, tapi Elara tidak peduli. Ia tahu apa yang ia lakukan.
“Kalau aku sakit nanti malam,” pikirnya sambil melangkah, “setidaknya ada alasan yang cukup kuat buat manggil Nayara ke rumah.”
Hujan semakin deras. Suara petir menyambar di kejauhan, dan di antara gemuruh itu, Elara tersenyum tipis. Ada sesuatu yang dingin tapi memuaskan dari rencana kecilnya.
Malam datang, seperti yang sudah ia perkirakan. Tubuhnya mulai panas, kepalanya berat, dan napasnya terasa pendek. Ia berbaring di kasur besar, selimut menutupi tubuh, tapi keringatnya malah makin deras.
Ibunya panik.
“Ya ampun, Elara, kamu ini gimana sih bisa-bisanya kehujanan kayak gitu?”
Elara menjawab dengan suara serak dan sedikit senyum lemah. “Cuma hujan sebentar, Ma. Aku kira nggak bakal separah ini.”
Ibunya menggeleng khawatir. “Kamu istirahat aja. Mau mama panggil dokter?”
Elara menggeleng cepat. “Nggak usah, Ma. Aku cuma pengen… ditemenin Nayara, boleh?”
Ibunya sempat kaget. “Nayara?”
Elara mengangguk pelan, berpura-pura malu. “Aku lebih tenang kalau dia ada.”
Ibunya sempat berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah. Nanti Mama minta orang suruh panggil dia ke sini, ya.”
Begitu ibunya keluar kamar, Elara memejamkan mata. Di balik napas beratnya, terselip rasa puas. Rencananya berjalan sempurna.
Sekarang hanya tinggal menunggu Nayara datang.
Beberapa jam kemudian, langkah kaki terdengar di koridor besar rumah itu.
Nayara datang dengan wajah khawatir, rambutnya sedikit lembap karena sisa gerimis, membawa termos kecil berisi air hangat dan beberapa obat.
Ia mengetuk pelan pintu kamar Elara. “El, aku masuk ya.”
Suara lembut itu membuat Elara membuka mata perlahan. Ia menoleh, pura-pura lemah tapi bibirnya tersenyum samar. “Ra… kamu dateng juga.”
“Ya iyalah, El. Kamu kenapa bisa sakit kayak gini? Gila kali hujan-hujanan segala,” omel Nayara pelan, tapi suaranya mengandung rasa cemas.
Elara tertawa kecil, batuk sedikit. “Hehe, aku cuma kangen suasana hujan aja.”
Nayara mendesah. “Aneh banget kamu. Sini, aku lapin dulu keringetnya.”
Saat Nayara menunduk mengganti handuk di kening Elara, tatapan Elara mengamati setiap gerak kecilnya. Jemari itu gemetar pelan. Entah karena cemas atau karena takut — tapi jelas bukan sekadar khawatir pada teman sakit.
Elara bisa merasakannya. Ada sesuatu yang Nayara sembunyikan.
“Kamu bisa bohong sama semua orang, Ra… tapi nggak sama aku.”
“Ra,” suara Elara serak tapi jelas. “Kamu nggak pernah cerita apa-apa lagi ke aku akhir-akhir ini.”
Nayara berhenti, memalingkan wajah. “Aku cuma sibuk, El.”
“Bohong.”
Kata itu begitu pelan, tapi menusuk. Nayara terpaku, lalu perlahan menatap Elara. “El, jangan gitu…”
Elara menatapnya lama, senyum tipis di bibirnya. “Aku cuma pengen kamu jujur. Itu aja.”
Namun sebelum percakapan bisa lanjut, langkah kaki terdengar dari arah luar kamar.
Langkah berat. Teratur.
Elara tak perlu menebak dua kali siapa pemilik langkah itu.
Pintu terbuka perlahan, dan di sana berdiri Alaric.
Pandangan pertama pria itu langsung menuju Nayara, sekilas, tapi cukup untuk membuat udara di kamar mendadak kaku.
Tatapan Alaric dan Nayara bersinggungan sekilas. Hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuat jantung Nayara berdetak keras.
Elara memperhatikan — tanpa bergerak, tanpa bicara.
“Bagaimana kondisi mu?” suara Alaric datar, namun sorot matanya tajam.
“ Sudah mendingan, Kak,” jawab Elara cepat, berpura-pura biasa. “Cuma pusing.”
“Nayara, terima kasih sudah datang,” katanya singkat. “Kau boleh pulang kapan saja kalau lelah.”
Nayara menunduk, suaranya hampir tak terdengar. “Saya belum melakukan apa-apa, Kak.”
Kata “Kak” itu meluncur pelan, tapi di baliknya ada ketegangan halus. Bukan sapaan lembut, melainkan bentuk ketakutan yang disembunyikan.
Elara menoleh cepat.
Selama ini Nayara memang memanggil kakaknya begitu di rumah besar ini, tapi malam ini, kata itu terasa lebih menusuk dari biasanya.
Seolah ada jarak yang tidak boleh dilanggar.
Alaric tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menaruh obat di meja, berbalik, dan melangkah keluar dengan tenang. Tapi saat punggungnya menghilang di balik pintu, Elara tahu—ia berhenti di luar sana.
Dan benar saja.
Alaric berdiri di balik pintu kamar, bersandar pada dinding, mendengarkan.
Elara menatap langit-langit. Hujan masih turun di luar, pelan tapi terus menerus.
Di dalam dadanya, sebuah keyakinan mulai tumbuh kuat:
Kakaknya memang menyembunyikan sesuatu.
Dan Nayara tahu segalanya.
Malam itu, setelah Nayara memastikan Elara tertidur, gadis itu keluar kamar perlahan. Tapi di balik mata yang tampak terpejam, Elara terjaga penuh.
Ia mendengar suara langkah Nayara menjauh. Ia tahu Nayara mencoba menghindar.
“Kamu nggak akan bisa lari, Ra,” bisik Elara lirih di kegelapan.
“Aku akan tahu semuanya. Dari kamu, atau dari dia.”
...----------------...
Rumah besar ini selalu tampak lebih dingin saat malam tiba. Bukan karena cuaca, tapi karena terlalu banyak ruang kosong di dalamnya—terlalu banyak dinding yang memantulkan kesunyian.
Alaric berdiri di ujung koridor, tepat di depan kamar Elara. Lampu gantung di atas kepalanya berayun pelan setiap kali angin lewat dari jendela terbuka. Di tangannya, ia menggenggam obat untuk di berikan kepada adik tercinta nya itu.
Dari balik pintu kamar itu, terdengar suara pelan. Suara dua perempuan yang berbicara dengan nada yang seolah penuh kasih, tapi sebenarnya penuh tanda tanya.
Ia tidak perlu menempelkan telinga untuk tahu: Elara sedang memancing.
Alaric menunduk sedikit, membiarkan ujung rambutnya menutupi sebagian wajahnya. Pandangan matanya kosong, tapi jemarinya menggenggam obat terlalu erat hingga buku-buku jarinya memutih.
“Kau makin pintar, Elara…” pikirnya dalam hati. “Tapi jangan terlalu berani. Dunia yang kau coba sentuh bukan untukmu.”
Ia mendengar setiap kata.
“Ra, kamu nggak pernah cerita apa-apa lagi ke aku…”
“Bohong.”
Dan kemudian hening panjang yang menggantung di udara.
Napas Alaric melambat. Bukan karena marah, tapi karena rasa takut yang tidak ingin ia akui.
Bertahun-tahun ia membangun jarak, menutupi jejak, menyusun batasan yang jelas antara dirinya dan orang-orang yang tidak seharusnya tahu. Tapi malam ini, semuanya terasa goyah.
Sampai akhirnya, ia memutuskan untuk masuk.
Ketika pintu kamar terbuka, aroma obat dan uap hangat langsung menyambutnya.
Ia melihat Nayara menunduk, memeras kain basah di baskom kecil, sementara Elara terbaring lemah di kasur.
Sekilas, pemandangan itu tampak tenang. Tapi Alaric tahu, ketenangan itu palsu—sama seperti dirinya.
“Bagaimana kondisimu?” tanyanya datar, tanpa ekspresi.
Elara mendongak, suaranya serak. “Sudah mendingan kak. Cuma pusing.”
Ia tahu apa yang Elara lakukan. Ia tahu adiknya sengaja membuat dirinya sakit.
Ia tahu juga alasan di balik semua itu.
“Kau ingin aku bereaksi, Elara. Kau ingin aku membuat kesalahan.”
Dan karena itu, Alaric tidak melakukan apa pun.
Ia hanya berdiri di sana, menatap adiknya, lalu menoleh ke Nayara—tatapan sekilas yang cukup membuat gadis itu kaku di tempatnya.
Lalu Alaric berpaling, mendekati meja, menaruh obat tambahan, tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
Ketika Alaric berbalik untuk keluar, ia sempat melirik Nayara sekali lagi. Tatapan itu cepat, nyaris tak terlihat — tapi bagi Elara, cukup terang.
Begitu pintu tertutup Alaric berdiri di balik pintu kamar, bersandar pada dinding, mendengarkan.
Ia mendengar suara Nayara yang berusaha menghibur, suara Elara yang pura-pura mengantuk, lalu akhirnya keheningan..
Namun dalam keheningan itu, pikirannya sendiri berisik.
“Kenapa kau tak menyerah saja, Elara…”
“Kenapa kau harus terus menggali apa yang tidak boleh di gali?”
Ia memejamkan mata, mengingat masa yang seharusnya sudah ia lupakan.
“Kalau kau terus mencari, Elara, kau akan sampai pada jawabannya. Tapi jawabannya bukan sesuatu yang bisa kau maafkan.”
Tangannya terangkat, menyentuh dinding dingin di samping pintu.
“Jangan mencari, Elara,” gumamnya nyaris tanpa suara, mengulang kalimat yang pernah ia tulis. “Kau tak akan suka jawabannya.”
Jam menunjukkan pukul dua dini hari ketika akhirnya Nayara keluar dari kamar.
Ia menutup pintu perlahan, menghela napas panjang, lalu menuruni tangga. Tapi belum sempat ia mencapai ruang tamu, suara dalam kegelapan menghentikannya.
“Kenapa kau kesini, Nayara?”
Langkahnya membeku. Ia menoleh pelan, dan di sana—Alaric duduk di kursi ruang tamu, hanya diterangi cahaya lampu gantung yang redup.
Wajahnya sebagian tertutup bayangan, tapi matanya menatap tajam.
“Saya…” Nayara menelan ludah. “Saya datang karena Nyonya yang menyuruh. Elara sakit.”
“Dan kau senang dengan itu?”
Pertanyaan itu seperti belati.
Nayara menatap lantai.
Alaric bangkit perlahan, langkahnya berat tapi teratur. Ia mendekat, berdiri hanya beberapa langkah darinya.
Udara di antara mereka menegang.
“Nayara,” katanya pelan. “Kau tahu apa yang sedang dia lakukan, bukan?”
Nayara tak berani menjawab.
“Dia mencoba memancingku.”
Akhirnya, Nayara mengangkat wajah, menatap mata pria itu. “Dan apakah itu berhasil?”
Untuk pertama kalinya malam itu, Alaric tersenyum kecil. Tapi senyum itu dingin, nyaris tanpa jiwa.
“Belum. Tapi dia semakin dekat.”
Mereka berdiam sejenak, hanya ada suara jam tua berdetak di ruang tengah.
Nayara ingin bicara sesuatu—tentang rasa takut, tentang rahasia yang terlalu berat untuk ia simpan sendiri—tapi lidahnya kelu.
...----------------...
Setelah Nayara pergi malam itu, Alaric tidak langsung naik. Ia tetap di ruang tamu, menatap kosong ke jendela besar yang memantulkan bayangannya sendiri.
Di luar, hujan sudah berhenti. Tapi di dalam kepalanya, masih ada badai.
Ia tahu ia tak bisa menahan Elara selamanya. Gadis itu cerdas, terlalu cerdas jika menyangkut rahasia. Sekali ia mencium rahasia, ia tidak akan berhenti.
Tapi apa yang terjadi jika ia tahu semuanya?
“Apakah kau masih bisa memandangku sebagai kakakmu, Elara?”
Tangannya terangkat, menyentuh kaca dingin jendela, seolah mencoba menahan sesuatu yang tak terlihat.
“Kalau kau menemukan kebenaran itu, aku harap kau membenciku,” bisiknya.
“Karena hanya itu yang bisa menyelamatkanmu.”
Pagi datang dengan cahaya redup.
Elara sudah membaik sedikit, tapi pura-pura masih lemah.
Saat ia membuka mata, ia melihat Alaric duduk di kursi dekat jendela, membaca koran.
Ia tidak menyangka kakaknya akan di sana sepagi ini.
“Kak, kamu belum tidur?”
Alaric tidak menoleh. “Kau sudah baikan?”
“Lumayan,” jawab Elara hati-hati. “Kak, makasih udah jagain aku.”
“Jangan sakit lagi,” jawabnya datar.
Ia menatap adiknya sekilas, lalu bangkit. Tapi sebelum keluar, ia berkata tanpa menoleh:
“Hujan yang kau terobos kemarin itu… dinginnya nggak separah apa yang akan kau temukan nanti, Elara.”
Dan ia pergi, meninggalkan Elara menatap punggungnya yang menjauh.
Untuk sesaat, gadis itu tak tahu apakah kata-kata itu sebuah ancaman… atau peringatan lagi.