NovelToon NovelToon
Sampai Cinta Menjawab

Sampai Cinta Menjawab

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Penyesalan Suami / Percintaan Konglomerat / Nikah Kontrak
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.

Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.

Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.

Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 8: Emily Steel Corporation

Di tengah hiruk-pikuk ibu kota yang tak pernah tidur, Emily Steel Corporation. berdiri menjulang megah bagaikan simbol dominasi dan prestise di antara hutan beton metropolitan. Gedung pencakar langit ini tampak mencolok di antara deretan arsitektur modern lain yang berbaris rapi di sekitarnya. Desainnya yang canggih dan minimalis, dengan permukaan kaca transparan membentang dari lantai ke lantai, memantulkan kilau cahaya matahari yang menerobos langit biru jernih, seolah ingin mempertegas kekuasaan perusahaan ini di dunia industri.

Di bagian luar, lalu lintas padat terus mengalir tanpa henti, mobil-mobil mewah berdesakan di jalan raya, klakson bersahutan menjadi latar suara khas kota besar. Namun, begitu melangkah ke dalam gedung, suasana berubah drastis. Lorong-lorongnya sunyi, lantai marmer putih berkilau bersih, dan dentingan halus lift menjadi satu-satunya suara yang terdengar jelas. Aura profesional dan dingin menyelimuti setiap sudut.

Lantai-lantai atas menjadi zona eksklusif yang hanya diakses oleh jajaran eksekutif. Ruangan-ruangan di sana luas dan didesain dengan estetika mewah yang tidak berlebihan—dinding berlapis marmer dan kaca, lukisan abstrak menggantung dengan bingkai perak, serta lampu gantung kristal yang menyebarkan cahaya hangat namun tajam. Semuanya terasa terukur dan terkendali.

Di lantai 70, yang merupakan puncak tertinggi gedung, terdapat ruang kerja pribadi milik Zevian Steel—sang CEO muda yang dikenal akan karismanya yang dingin dan kepemimpinan tanpa kompromi. Ruangan itu berdinding kaca bening yang menyuguhkan panorama kota dari ketinggian. Dari tempatnya duduk, Zevian bisa melihat gedung-gedung tinggi lainnya yang terlihat seperti miniatur, jalan raya yang tampak seperti garis-garis rapi, dan awan putih yang melayang pelan di angkasa.

Ruang kerjanya yang biasanya terasa sebagai tempat paling tenang, hari ini memancarkan aura berbeda. Di balik keheningan dan kerapihan interior yang didominasi warna hitam dan abu-abu, ada ketegangan yang menggantung di udara. Meja kerjanya yang terbuat dari marmer hitam mengilap dipenuhi dokumen-dokumen penting yang belum tersentuh. Di sisi kanan, secangkir kopi hitam masih mengepulkan asap tipis, aroma khasnya menguar memenuhi ruangan.

Zevian masih menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Ia bersandar santai di kursi eksekutifnya, jemarinya memainkan pulpen logam berukir inisial Z.A.R.S yang tergeletak di atas meja. Matanya tidak lepas dari Aditya yang kembali sibuk dengan berkas-berkas, seolah berusaha mengabaikan godaan tadi. Namun, Zevian bukan tipe yang mudah melepaskan kesempatan untuk mengusik sahabatnya.

“Dihindari berarti diiyakan, Dit, kau ini pandai sekali menyusun argumen logis saat membela Mega. Katakan saja kalau jantungmu berdebar setiap ia lewat, tidak perlu menggunakan logika segala.” ucapnya ringan, nada suaranya mengandung ejekan halus. Aditya mendesah pelan, mengangkat wajahnya dengan ekspresi lelah namun menahan senyum.

“Ze, serius. Fokus saja pada meeting kita siang ini. Mega bukan urusanmu.” Ujar nya yang membuat Zevian tertawa kecil, lalu menirukan suara Aditya dengan nada berlebihan.

“Mega bukan urusanmu,” katanya sambil mengangkat kedua tangan, seolah menyerah. “ That’s exactly what a man in denial would say. (Itulah tepatnya yang dikatakan pria yang sedang menyangkal.)” lanjut nya yang membuat Aditya akhirnya meletakkan map yang ia pegang, menatap Zevian tajam dengan ekspresi setengah jengkel.

“Zevian, kau tahu tidak? Kalau bukan karena aku mengenalmu sejak kita masih mengenakan seragam SMA, mungkin aku sudah melemparkan stapler ke arah wajahmu yang menyebalkan itu.” ujar nya yang membuat zevian terdiam lalu kembali berkata.

"Kalau kau bukan teman ku sejak SMA, kau tidak akan berani mengejek atau membantah seorang CEO Aditya," ejek Zevian.

"Aishh... menyebalkan sekali... ingin sekali aku lempar dia dari rooftop gedung ini," balas nya sinis Zevian mengangkat alisnya, pura-pura terkejut.

“Tenang, Dit. Aku tidak akan merebutnya darimu. Lagipula, wanita seperti Mega... lebih cocok dengan pria yang bisa mengimbangi emosinya. Kau tahu maksudku, bukan?” lanjut nya yang membuat Aditya menepis tangan Zevian dari bahunya, ekspresinya mulai berubah dari geli menjadi kesal.

“Sungguh, Ze. Satu kata lagi, aku akan keluar dari ruangan ini dan membiarkan kau presentasi sendirian di depan investor.” Ujar nya yang membuat Zevian berhenti, matanya menatap Aditya sejenak, lalu ia tertawa keras. Tawa itu mengisi ruangan seperti denting gelas kristal yang dipukul ringan.

“Di sini aku yang jadi bos, kau tidak akan bisa melangkah lebih jauh di bandingkan aku,” ujarnya dengan nada santai dan penuh percaya diri, sambil mencondongkan tubuh ke depan, mendekatkan wajahnya ke Aditya, seolah menantang sahabatnya untuk melakukan apa yang baru saja diancamkan.

Tawa Zevian terus berlanjut, mengalir seperti air yang tak terhentikan, sementara Aditya hanya bisa memutar bola matanya, semakin kesal.

“Zevian... Kau memang tidak akan pernah berubah,” gerutunya dengan nada yang lebih berat, jelas tidak suka dengan sikap sahabatnya yang terlalu santai dan tidak tahu waktu itu. Zevian menegakkan tubuhnya, merentangkan tangan seolah mengungkapkan kemenangan kecil atas percakapan ini.

“Itulah kenapa aku adalah bos di sini, Dit. Tidak ada yang bisa mengalahkan kekuatan humor.” jawab nya yang membuat Aditya menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan amarahnya, tapi tetap tidak bisa menutupi senyum kecil yang akhirnya muncul di sudut bibirnya, meski ia jelas kesal.

“Aku rasa aku harus belajar banyak tentang sabar darimu, Zevian,” ujarnya sambil melemparkan pandangan tajam ke arah sahabatnya. Zevian membalas dengan senyum yang semakin lebar, puas melihat sahabatnya mulai tergoda oleh permainan godaan ringan yang ia buat.

“Ya, itu karena aku selalu tahu kapan harus bermain, dan kapan harus serius.” jawab nya yang membuat Aditya menggelengkan kepala, kesal tapi tak bisa menahan senyum tipis yang akhirnya muncul di wajahnya.

“Kamu memang jenius dalam membuat orang kesal, Zevian,” ucapnya dengan nada pasrah, seolah menerima kenyataan bahwa ia tak akan pernah bisa menang dalam pertarungan mulut ini.

“Aku rasa itu tanda bahwa aku berhasil, Dit,” jawab Zevian dengan tawa ringan, puas dengan efek yang ia timbulkan. Tidak ada yang lebih menyenangkan bagi seorang Zevian selain melihat sahabatnya yang serius menjadi sedikit terbuka dengan godaannya.

Aditya yang mendengar ejekan Zevian hanya memutar bola matanya malas, ekspresinya sudah menunjukkan bahwa dia sudah lelah dengan godaan sahabatnya. Ia tahu bahwa jika percakapan ini terus berlanjut, pria keras kepala itu tidak akan pernah mau mengalah, dan yang ada malah membuatnya semakin kesal.

"Jika dia sudah kembali, bangunkan aku, aku akan tidur sebentar," ucapnya sambil menghela napas panjang, kemudian ia beranjak dan masuk ke kamar pribadinya yang sengaja dibuat di ruangan itu. Pintu tertutup dengan perlahan, dan ruangan yang semula ramai dengan suara tawa dan canda tiba-tiba menjadi sunyi. 30 menit kemudian, pintu ruang CEO diketuk dari luar.

"Permisi, tuan," ucap Mega bercanda dengan senyuman khasnya yang tak pernah pudar. Senyumnya selalu memancarkan kehangatan, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini—sebuah ketegangan kecil yang tak bisa disembunyikan, mungkin karena terburu-buru atau sedikit kecelakaan yang terjadi di luar.

"Iya, masuk," jawab Aditya, suaranya terdengar sedikit lebih santai namun tetap tajam, menandakan ia tengah tidak terlalu fokus dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Aditya masih duduk dengan ponsel di tangan, matanya menatap layar tanpa benar-benar menyimaknya, mencoba untuk tetap terjaga meski pikirannya jauh melayang.

Mega masuk, langkahnya ringan dan percaya diri meskipun ada sedikit ragu dalam gerakannya. Dengan langkah tegap, ia mendekati Aditya dan menyerahkan map berwarna hitam yang tebal, map yang berisi dokumen-dokumen penting untuk rapat yang akan segera berlangsung. Wajahnya tetap tersenyum, namun ada sesuatu yang mengganggu di matanya—sesuatu yang mencoba ia sembunyikan.

"Kenapa lama sekali, Mega? Bosmu itu sudah menunggu lama, dia pidato sepanjang jalan tol sedari tadi," ucap Aditya, matanya tetap fokus pada layar ponsel meskipun suaranya terdengar seperti sindiran. Menyudahi acara bermain game-nya, ia meletakkan ponsel dengan perlahan, seakan ingin memberi perhatian pada apa yang sedang terjadi, meskipun matanya tidak sepenuhnya lepas dari Mega.

"Maaf, tadi ada seseorang yang tidak sengaja menabrak aku, jadi aku sedikit terlambat datang ke unit Zevian," jawab Mega sambil duduk di sofa yang ada di hadapan Aditya.

"Ouh, tapi ini semua sudah lengkap, kan?" tanya Aditya sambil meneguk minuman soda-nya. Suara es yang bergemericik terdengar keras seiring dengan tegukan terakhirnya. Aditya tidak terlalu memikirkan penjelasan Mega, lebih fokus pada pekerjaan yang ada.

"Sudah. Kalau perlu, bisa dicek ulang untuk memastikan. Oh iya, Dit, apa Zevian menyewakan penthouse-nya ke orang baru?" tanya Mega dengan nada penasaran, alisnya bertaut, seiring dirinya yang duduk di sofa dengan posisi sedikit lebih tegak. Sesekali, matanya menatap Aditya, menunggu jawabannya.

"Maksud kamu?" tanya Aditya, suaranya terdengar bingung, seolah tidak memahami apa yang baru saja dijelaskan Mega.

"Maksudku... apa Zevian tidak tinggal lagi di sana, dan unit paling atas disewakan pada orang lain?" tanya Mega lagi, kali ini lebih jelas, nada suaranya menunjukkan keingintahuan yang besar, meski ia sedikit kecewa dengan penjelasan yang kurang memadai sebelumnya.

Aditya menatap Mega sejenak, lalu mendesah pelan sebelum memberi jawabannya.

"Tidak, dia masih di situ dan itu tidak mungkin, karena unit itu khusus untuk dia. Jadi tidak mungkin Zevian menyewakannya." Ujar Aditya dengan tegas, seolah ia paling tahu tentang apa yang terjadi dalam hidup Zevian.

"Ouhh," jawab Mega, masih merasa sedikit tidak puas dengan jawaban yang diberikan Aditya.

"Kenapa, memangnya?" tanya Aditya, matanya kini beralih ke Mega, penuh rasa penasaran. Mega memutar bola matanya, kemudian menatap Aditya dengan serius, seolah ingin menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum melanjutkan cerita.

"Tadi, saat aku akan naik lift yang terletak di sebelah lift private milik Zevian, aku lihat ada sepasang kekasih atau mungkin suami istri yang keluar dari lift private itu. Dan orang yang menabrakku juga adalah lelaki yang keluar dari lift private itu, jadi aku kira Zevian sudah menjualnya atau mungkin menyewakannya." Mega menceritakan semuanya panjang lebar, nada suaranya sedikit bergetar, dan matanya berusaha mencerna apa yang baru saja ia lihat. Ia tampak sedikit bingung dengan kejadian yang menimpanya, namun tetap berusaha memberi penjelasan yang rasional.

Aditya mendengarkan penjelasan Mega dengan wajah yang sedikit tersenyum, meskipun ada rasa geli yang tidak bisa ia sembunyikan. Ia mengangkat bahu, sedikit tertawa pelan.

"Dia tidak sedang kekurangan uang, kurasa, sampai harus menyewakan hal sekecil itu." Ujar Aditya sambil terkekeh, nada suaranya masih santai, meskipun ada sedikit sindiran dalam tawanya. Ia tahu betul betapa kaya dan mandirinya Zevian, sehingga tidak mungkin jika ia memutuskan untuk menyewakan atau menjual properti mewah miliknya. Mega mengangguk pelan, namun tampaknya ia masih tidak begitu yakin.

"Aku paham, hanya saja aku pikir begitu... mungkin itu penghuni lain dari lantai atas yang memang sengaja lewat lift private." jawabnya dengan sedikit ragu, mencoba menenangkan dirinya sendiri.

Tiba-tiba, suara Zevian yang berat dan tenang memecah keheningan di ruangan itu.

"Kamu kenal orang itu?" tanya Zevian, suaranya dingin, namun ada sedikit nada penasaran yang samar terdengar. Mata tajamnya kini tertuju pada Mega yang sedang duduk, menunggu jawaban. Tanpa menunggu lama, ia memutuskan untuk bergeser lebih dekat dan duduk di sofa single yang terletak di sudut ruangan. Posisi duduknya menunjukkan bahwa ia tidak ingin hanya mendengarkan, tapi juga terlibat dalam percakapan ini.

Mega terkejut mendengar pertanyaan itu, matanya sejenak bertemu dengan mata Zevian yang penuh perhatian. Ia merasakan ketegangan yang tiba-tiba mengalir di ruangan itu, aura Zevian yang selalu dominan mengisi setiap sudutnya. Mega menghela napas sebelum menjawab, mencoba untuk tetap tenang meski tahu bahwa ia kini berhadapan langsung dengan sosok yang penuh misteri itu.

"Aku tidak tahu, Ze, tapi wanita itu sangat cantik, begitu juga dengan laki-lakinya yang lumayan tampan. Mereka sangat serasi," ujar Mega, dengan wajah yang sedikit memerah, menahan rasa kagumnya terhadap pasangan yang dilihatnya tadi.

Zevian yang mendengarnya hanya menyeringai tipis, seolah tidak terlalu terkesan dengan komentar Mega. Ia menyandarkan tubuhnya di sofa, tangan diletakkan di belakang kepala, dan matanya tetap terfokus pada Mega dengan tatapan yang agak tajam.

"Aditya..." panggil Zevian, suara rendah dan tegas memecah keheningan, membuat Aditya langsung menoleh dengan cepat, menanggapi panggilan itu. Mata mereka bertemu dalam sekejap, dan Aditya tahu persis apa yang dimaksud dengan tatapan itu. Tanpa ragu, Aditya segera mengangguk, menyadari bahwa waktu yang dimiliki tidak banyak.

"Ya, akan ku periksa. Semua akan siap dalam 5 menit," ucapnya sambil bangkit dengan gesit, sedikit terburu-buru, namun tetap menunjukkan rasa profesionalisme. Ia menghindari tatapan Zevian yang selalu penuh tekanan dan segera berjalan menuju meja kerjanya. Dengan tangan yang cekatan, Aditya mengambil laptopnya dan mulai mengotak-atiknya.

Sekeliling ruangan tampak tenang, namun aura ketegangan mulai terasa mengalir, terutama dari arah Zevian yang duduk dengan ekspresi serius. Tidak ada suara lain kecuali suara ketukan jari Aditya yang cepat di atas keyboard. Wajah Zevian tetap tenang, tetapi matanya menunjukkan fokus yang tajam, menunggu hasil yang akan keluar dari layar laptop Aditya.

Beberapa menit berlalu, dan suasana menjadi semakin mencekam saat Aditya berhasil mendapatkan hasil yang dia cari, namun tiba-tiba layar laptopnya berkedip dan sistemnya menunjukkan gangguan.

"Sial..." gumam Aditya dalam hati, ekspresinya berubah sedikit frustasi. Ketika ia mencoba untuk mengakses data lebih lanjut, layar itu tiba-tiba mati, seolah menanggapi usaha kerasnya dengan penolakan yang tidak terduga. Zevian yang menyaksikan hal itu langsung mengerutkan kening, ekspresinya yang biasanya terkendali kini mulai memperlihatkan kekesalan.

"Apa yang terjadi dengan sistem itu?" suaranya yang rendah, namun tajam, penuh tekanan.

"Ada gangguan, sepertinya sistemnya bermasalah. Aku akan coba mengaksesnya kembali," jawabnya dengan cepat, berusaha menenangkan Zevian yang kini tampak semakin tidak sabar.

Namun, meskipun usaha Aditya tampak serius, ekspresi Zevian semakin berubah menjadi cemberut, tanda bahwa ia benar-benar tidak senang dengan masalah yang datang secara tiba-tiba ini.

"Ini tidak bisa dibiarkan, Aditya." Zevian mengeluarkan kalimat itu dengan nada yang penuh peringatan, seolah mengingatkan Aditya bahwa masalah ini harus segera diselesaikan, atau konsekuensinya bisa jauh lebih besar dari sekadar kesalahan teknis biasa.

Aditya menatap Zevian, lalu kembali ke laptopnya, mencoba untuk mengatasi masalah yang ada. Namun, meski dengan segala upaya, kegelisahan di dalam ruangan terasa semakin mencekam.

"Ini mungkin akan memakan waktu, Ze. Tidak bisa sekarang," ujar Aditya dengan nada sedikit frustrasi, suaranya terdengar lebih berat dari sebelumnya. Ia memandang layar laptopnya, berusaha untuk tetap tenang meskipun sistemnya masih belum menunjukkan hasil yang diinginkan.

"Jika bisa perbaiki itu, aku penasaran, kalau tidak minta Giant" ujar Zevian, suaranya datar namun mengandung ketegasan yang tak terbantahkan. Ia bangkit dari tempat duduknya dengan gerakan cepat dan terukur, kemudian merapikan jas nya dengan tangan yang terampil, memastikan penampilannya tetap sempurna meski situasi tak menentu. Raut wajahnya tidak menunjukkan kekesalan, tetapi matanya yang tajam jelas menggambarkan ketidaksabaran.

"Baiklah, ayo pergi. Yang lain pasti sudah menunggu," ucapnya dengan nada yang sedikit lebih ringan, meskipun ia masih merasa cemas. Dia bangkit dengan langkah cepat, tak mau membuat Zevian menunggu lebih lama. Langkahnya diikuti oleh Zevian yang berjalan di sampingnya, aura dominan keduanya terasa sangat kuat. Mega mengikuti mereka, gerakannya mantap dan penuh keyakinan. Meski sebelumnya ada percakapan santai dan tawa, sekarang hanya ada ketegasan dalam setiap langkah mereka.

Suasana ruangan seketika berubah menjadi lebih formal dan penuh fokus. Mega, yang sebelumnya selalu tampak ceria dan ramah, kini berjalan dengan langkah mantap, membawa aura profesionalismenya. Ia tidak lagi tersenyum lebar seperti tadi, melainkan menatap ke depan dengan tujuan yang jelas. Mereka bertiga bergerak menuju pintu dengan kecepatan yang terkoordinasi, seolah sudah sangat terbiasa dengan ritme kerja ini.

Ketika mereka mendekati pintu masuk ruangan meeting, Mega melangkah sedikit lebih cepat. Tangannya meraih pegangan pintu dengan elegan, membukanya dengan gerakan yang anggun dan terampil. Pintu yang terbuka memberikan jalan bagi Zevian dan Aditya untuk melangkah masuk. Di balik pintu itu, para investor dan anggota tim sudah menunggu, suasana serius langsung menyambut kedatangan mereka.

Gerakan Mega yang begitu teratur membuka pintu bukan hanya sebuah tindakan fisik, tetapi sebuah simbol dari keteraturan dan disiplin yang ada dalam organisasi di bawah kendali Zevian. Momen tersebut, meski sederhana, membawa kesan yang dalam—betapa teraturnya dunia mereka, betapa semuanya sudah dipersiapkan dengan matang.

Zevian dan Aditya melangkah masuk dengan percaya diri, diikuti oleh Mega yang menutup pintu dengan hati-hati, memastikan bahwa tidak ada gangguan yang bisa merusak fokus mereka. Ketegasan dalam setiap langkah mereka membuat suasana di ruangan itu semakin terasa penuh perhatian. Tak ada lagi tempat untuk kekacauan—hanya ada tujuan yang harus dicapai. Setiap orang di ruangan itu tahu bahwa dua sosok ini adalah pemimpin yang penuh otoritas, dan sekarang saatnya untuk menghadapi tantangan yang lebih besar.

Suasana ruangan terasa lebih tegang dibandingkan sebelumnya. Udara yang tadinya nyaman kini berubah menjadi lebih dingin, entah karena pendingin ruangan yang bekerja terlalu keras, atau karena ketegangan yang mulai merayap perlahan di antara mereka. Bahkan aroma kopi yang semula hangat dan mengundang, kini seolah tertahan di udara, menciptakan atmosfer yang lebih berat—seperti tanda bahwa pembicaraan yang akan terjadi bukan hal sepele.

Beberapa orang telah hadir di ruangan itu. Mereka duduk tegak dengan sikap formal, masing-masing mengenakan jas elegan dan pakaian profesional yang rapi. Jemari mereka sibuk membolak-balik berkas atau menyesuaikan posisi dasi, mencoba menyibukkan diri demi meredam ketegangan.

Tatapan-tatapan langsung tertuju padanya. Sosok Zevian yang tinggi dan tegap melangkah pasti dengan karisma yang tak bisa dipungkiri. Jas nya jatuh sempurna mengikuti lekuk tubuhnya yang atletis, rambutnya tertata rapi, dan ekspresinya—tenang namun tak terbaca—menciptakan kesan dominan yang sulit diabaikan. Sorot matanya tajam, memindai satu per satu wajah di dalam ruangan, membuat siapa pun yang ditatapnya merasa harus memperbaiki posisi duduk atau merapikan kemeja mereka.

Sementara itu, Aditya menyusul di belakangnya, berjalan dengan langkah profesional dan sikap yang tak kalah tegas. Mega menutup pintu perlahan, lalu berdiri di sisi ruangan, menjaga agar suasana tetap teratur tanpa mengganggu dinamika yang mulai terbentuk.

Semua orang di ruangan itu sadar betul—berada di hadapan Zevian Steel bukanlah hal yang biasa. CEO dari keluarga Steel, pemimpin muda yang dikenal sebagai otak dingin di balik kebangkitan Steel Group menjadi salah satu perusahaan paling berpengaruh di industri global. Bertemu langsung dengannya adalah peluang besar, tetapi juga ujian besar, karena tidak ada ruang untuk kesalahan di bawah tatapannya.

Detik itu juga, suasana menjadi berbeda. Lebih formal. Lebih serius. Dan semua orang tahu, presentasi hari ini bukan hanya soal angka dan grafik, tetapi tentang memberi impresi yang cukup kuat bagi seorang Zevian untuk mengangguk dalam diam.

"Selamat siang, semua," ujar Aditya dengan suara mantap, tenang namun penuh penguasaan, menyapu ruangan dengan aura kepercayaan diri. Ia duduk di kursi yang terletak di sebelah kiri Zevian, memberikan ruang bagi pria itu untuk mengambil tempatnya di kursi utama—sebuah kursi berbalut kulit hitam elegan yang selalu menjadi pusat perhatian dalam setiap rapat penting.

Zevian melangkah tenang menuju kursinya. Gerakannya terukur, penuh wibawa, seolah ruangan itu memang miliknya sejak awal. Ketika ia duduk, tubuhnya bersandar ringan namun tegas, dengan tangan kanan yang menggenggam lengan kursi dan mata tajamnya mengarah lurus ke meja. Tidak ada senyum, hanya ekspresi serius yang menjadi ciri khasnya.

Mega, yang sejak awal berdiri setia di sisi mereka, memilih untuk tetap berdiri di belakang Zevian. Tangannya bersedekap di depan tubuh, matanya awas, dan posturnya tegak sempurna. Meskipun tak bersuara, kehadirannya menciptakan kesan siap siaga—seorang sekretaris andal yang tahu kapan harus bergerak dan kapan harus mengamati dalam diam. Ketika tatapan-tatapan mencuri pandang ke arahnya, mereka tidak hanya melihat seorang asisten, tapi bagian dari sistem yang telah bekerja begitu efisien di bawah komando Zevian.

"Selamat siang," jawab semua orang serempak. Namun, suara itu terdengar tak sebulat biasanya—ada ketegangan yang samar, getaran gugup yang terselip dalam nada. Rasa hormat mereka terhadap Zevian begitu nyata, tetapi rasa cemas pun tidak bisa disembunyikan. Aura dominan pria itu membuat siapa pun merasa harus menjaga kata, gerak, dan bahkan napas mereka.

Aditya melirik sekeliling ruangan, menyapu wajah-wajah di hadapannya. Ia memastikan semua perhatian telah terarah. Tatapannya yang tenang namun tegas memberi isyarat bahwa tidak ada ruang untuk bermain-main dalam pertemuan ini.

“Baiklah, kita mulai saja pertemuan ini.”

Zevian yang sedari tadi duduk dengan tubuh sedikit condong ke depan, kedua tangannya bertaut di atas meja, akhirnya mengangkat pandangannya. Mata tajamnya menyapu seluruh ruangan seperti pengawas yang menilai kesiapan anak buahnya. Suaranya dalam dan tegas, tak terlalu keras namun membawa tekanan yang sulit untuk diabaikan.

"Kita di sini bukan hanya untuk berbicara, tapi untuk membuat keputusan besar. Ini bukan proyek kecil, dan saya ingin kalian semua mengerti bahwa apa yang akan kita putuskan hari ini akan memengaruhi arah perusahaan ke depannya." Ia berhenti sejenak, membiarkan kalimat itu menggantung di udara—memberi ruang bagi setiap kata untuk meresap dan menyadarkan mereka tentang bobot pertemuan ini. Diam yang tercipta justru mempertegas kekuatan ucapannya. Tidak ada satu pun yang berani mengalihkan pandangan darinya.

"Aditya, silakan mulai." Ujar nya yang membuat Aditya mengangguk dengan mantap, lalu membuka tablet yang sejak tadi ia genggam. Jemarinya menyapu layar, menampilkan slide pertama yang penuh grafik dan poin-poin strategis. Suasana di dalam ruangan kembali fokus saat ia mulai berbicara.

"Sesuai yang sudah kita bahas sebelumnya, kita akan membahas potensi kerja sama dengan Pak Rahman," ucapnya dengan suara tenang namun penuh keyakinan.

"Kerja sama ini berpotensi membuka peluang ekspansi yang sangat besar di sektor Asia Tenggara, khususnya di Indonesia dan Malaysia. Pak Rahman memiliki koneksi yang sangat kuat di kedua negara tersebut, dan kita bisa memanfaatkan ini untuk memperluas pasar kita." Jelas Aditya.

Seorang pria berkacamata yang duduk di sisi kanan meja, dengan jas abu-abu dan pin kecil perusahaan di kerahnya, mengangguk sambil mencatat sesuatu.

"Jadi, kita akan fokus pada distribusi produk, bukan?" tanyanya, nada suaranya terdengar ingin memastikan arah diskusi. Aditya menoleh padanya, lalu mengangguk sambil menggeser ke slide berikutnya.

"Betul," jawabnya mantap. "Selain distribusi, kita juga bisa membicarakan kemitraan jangka panjang yang lebih strategis dalam sektor manufaktur. Pak Rahman ingin memastikan bahwa kita memiliki kapasitas produksi yang cukup untuk mendukung ekspansi besar-besaran ini." Lanjut Aditya.

Zevian tidak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat. Ia duduk dengan postur tegap, tangan bertaut di pangkuan dan pandangan tertuju pada layar presentasi. Namun, matanya menyiratkan konsentrasi tinggi, menilai setiap data yang muncul seolah bisa melihat celah yang tak kasat mata bagi orang lain.

"Kita harus pastikan ini tidak hanya menguntungkan dalam jangka pendek," ucapnya akhirnya, suaranya terdengar tenang namun mengandung tekanan. "Apakah ada risiko yang harus kita perhitungkan, Aditya?" Lanjut zevian yang membuat Aditya tampak siap. Ia menggeser kembali slide ke bagian proyeksi risiko. Layar menampilkan grafik batang dan diagram analisis SWOT yang detail.

"Tentu, ada beberapa hal yang perlu kita pertimbangkan," jawabnya sambil menunjuk ke grafik. "Risiko terbesar adalah ketergantungan kita pada pasokan lokal yang mungkin fluktuatif. Namun, dengan kemitraan yang kuat, kita bisa mengurangi risiko tersebut dengan memastikan pasokan yang lebih stabil dan harga yang kompetitif." Jelas Aditya melanjutkan ucapannya, sedang Zevian memiringkan kepalanya sedikit, seperti menimbang-nimbang, lalu mengangguk pelan.

"Kita harus meminimalisir ketergantungan pada satu sumber, terutama jika itu melibatkan pasar yang sangat dinamis. Semua langkah harus terukur." katanya dengan nada lebih rendah.

"Setuju, selain itu, kita juga harus mengantisipasi potensi perubahan regulasi di negara-negara tersebut. Pemerintah di Indonesia dan Malaysia kadang bisa berubah-ubah dalam kebijakan bisnis mereka." sahut Aditya cepat, sambil mencatat sesuatu di tablet-nya.

Di belakang, Mega tetap berdiri dengan postur profesional. Ia mencatat poin-poin penting di notepad berlapis kulit, jemarinya bergerak cepat namun tetap rapi. Pandangannya sesekali berpindah dari layar ke Zevian, memastikan bahwa semua berjalan sesuai ekspektasi bosnya.

Zevian kembali menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Pandangannya tajam, namun tidak meledak-ledak. Ia tidak membutuhkan suara tinggi untuk menguasai ruangan—hanya dengan sorot mata dan nada datar pun sudah cukup menciptakan atmosfer yang serius.

"Semua poin ini sangat penting, dan saya ingin kalian semua tahu bahwa keputusan ini bukan hanya soal angka. Kita akan berinvestasi dalam hubungan jangka panjang, jadi pastikan ini adalah langkah yang tepat." ucapnya perlahan namun penuh tekanan. Ia menoleh ke Aditya, lalu memberi isyarat halus dengan dagunya.

"Lanjutkan, Aditya. Saya ingin kita memulai tahap perencanaan dan implementasi sesegera mungkin. Waktu adalah hal yang tidak bisa kita tunda." Ujar zevian yang membuat pak Rahman berdiri perlahan. Ia tersenyum tipis, lalu menatap langsung ke arah Zevian sebelum akhirnya menggeser pandangan ke layar yang mulai menampilkan slide miliknya.

"Saya ingin mengusulkan sesuatu, Tuan Zevian. Kami telah mengkaji struktur distribusi kalian selama enam bulan terakhir, dan menurut tim kami, efisiensi bisa ditingkatkan hingga dua puluh persen jika kalian bersedia mempertimbangkan opsi sentralisasi gudang di Malaysia, khususnya di kawasan Selangor." katanya dengan nada diplomatis namun tegas.

Aditya dan Mega langsung saling pandang. Mega mencatat cepat, sementara Aditya duduk lebih tegak, mendengarkan dengan lebih waspada.

"Sentralisasi? Berarti semua jalur distribusi akan dipusatkan di satu negara? Itu akan berdampak langsung pada waktu tempuh pengiriman regional, terutama untuk pasar Indonesia timur." ulang Aditya dengan nada hati-hati. Pak Rahman mengangguk, seolah sudah memprediksi pertanyaan itu.

"Kami menyadari risikonya, tapi dengan infrastruktur pelabuhan dan jalur ekspor yang ada di Selangor, serta insentif pemerintah Malaysia untuk kemitraan asing, biaya operasional bisa ditekan hingga dua belas persen. Dengan kata lain, margin keuntungan bisa lebih besar, dan itu berarti lebih banyak ruang untuk ekspansi jangka panjang." ucapnya.

Zevian tetap diam, namun bola matanya tampak menyempit. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi, tapi aura ruang rapat seketika berubah tegang. Mega bisa merasakan atmosfernya bergeser. Tangannya menggenggam pena lebih erat, namun tetap menulis.

"Kalian juga akan mendapatkan akses langsung ke kawasan industri eksklusif yang sebelumnya hanya bisa dimiliki oleh perusahaan dalam negeri Malaysia," lanjut Pak Rahman, kali ini menggeser slide yang menunjukkan peta lokasi dan proyeksi keuntungan. "Kami memiliki jalur khusus untuk itu. Saya pribadi yang menjamin hal tersebut." Tambah nya yang membuat Ruangan sunyi. Beberapa anggota tim Zevian mulai berbisik pelan di antara mereka, saling bertukar pendapat. Mega melirik sekilas ke arah Zevian—pria itu masih tak bergerak, tapi jelas tengah berpikir keras.

Akhirnya, Zevian bersuara.

"Saya tidak mengambil keputusan berdasarkan angka manis di layar, sentralisasi berarti menyerahkan kendali atas satu titik penting dalam rantai distribusi kita. Itu bukan hanya keputusan bisnis. Itu keputusan strategis jangka panjang." katanya, pelan namun penuh tekanan. Pak Rahman mengangguk pelan, tidak tersinggung.

"Tepat sekali, Tuan Zevian. Karena itu kami ingin membangun kepercayaan lebih dari sekadar angka. Kami ingin menjadi mitra." Ujar nya yang membuat Zevian menatap pria itu lurus, lalu menoleh pada Aditya.

"Kumpulkan tim analisis. Saya ingin laporan menyeluruh soal potensi Selangor dibandingkan dengan sistem multi-hub yang sekarang kita pakai." Ucap nya lalu zevian melirik ke arah Mega.

"Dan kamu, pastikan semua pernyataan tadi dicatat lengkap. Kita akan pelajari satu per satu." Ujar nya yang membuat Mega mengangguk cepat.

"Baik, Tuan." Balas Mega.

"Kita tidak akan ambil keputusan hari ini, tapi kita akan siapkan segala kemungkinan. Jika memang ini menguntungkan, kita akan tahu setelah analisis penuh dilakukan." lanjut Zevian sambil berdiri.

Suasana hening sempat menggantung beberapa detik setelah pernyataan tegas Zevian. Ruangan itu seakan membeku, seolah waktu menahan napas sejenak. Semua peserta rapat saling melirik, mencari kepastian dalam diam, lalu perlahan mengangguk—menerima keputusan sang CEO dengan penuh kehati-hatian.

Aditya segera mengambil alih kembali untuk merapikan penutup. Suaranya tenang, namun terstruktur rapi, mencerminkan pengalaman dalam menghadapi forum semacam ini.

“Terima kasih atas waktunya, semuanya. Meeting hari ini kita akhiri sampai di sini. Segala pembaruan dan kelanjutan diskusi akan dikabarkan melalui email dan tim masing-masing.” ujar nya dan dengan isyarat formal yang hampir seragam, para peserta berdiri serempak. Kursi-kursi berderit pelan, suara sepatu bersentuhan dengan lantai marmer menyusul setelahnya. Mereka menyampaikan salam singkat—formal dan sopan—sebelum meninggalkan ruangan satu per satu.

Zevian masih tak bergeming dari tempat duduknya. Bahunya tetap tegak, namun sorot matanya kosong menatap ke depan, seolah pikirannya mengembara jauh dari meja rapat itu. Ia menunggu hingga ruangan benar-benar sepi, hanya terdengar deru halus dari sistem pendingin udara yang menggantung di langit-langit.

Mega sempat menoleh padanya, menanti arahan seperti biasa. Namun kali ini, Zevian hanya memberi anggukan kecil—gerakan singkat namun cukup jelas untuk mempersilakan Mega tetap tinggal.

Begitu pintu tertutup kembali dan hanya tersisa mereka bertiga—Zevian, Aditya, dan Mega—suasana di dalam ruangan berubah. Tekanan perlahan surut, seperti udara yang akhirnya menemukan celah untuk keluar.

Zevian menyandarkan tubuhnya ke kursi. Punggungnya menyentuh sandaran dengan bunyi lembut. Ia menghela napas panjang, kemudian meraih simpul dasi di lehernya dan melonggarkannya perlahan. Gerakan itu sederhana, namun penuh makna—seakan ia ingin memberi ruang bagi dadanya untuk bernapas lebih lega.

Aditya menatapnya, alisnya sedikit terangkat, nada suaranya penuh keheranan yang tertahan.

“Tidak apa-apa?” tanyanya perlahan, suara Aditya terdengar penuh perhatian, seolah ingin memastikan keadaan Zevian dengan seksama. Ia mengenal pria itu terlalu baik untuk mengabaikan kejanggalan yang terlihat jelas. Tak biasanya Zevian menahan keputusan begitu lama, apalagi menunjukkan gestur lelah atau gelisah seperti yang baru saja terlihat di wajahnya—kerut di dahinya dan tangan yang terus bermain-main dengan gelas, menandakan kegelisahan yang tak biasa.

“Iya, hanya sedikit kurang konsentrasi, aku terpikir sesuatu,” ujar Zevian, sambil mengangguk pelan, seakan memberi penegasan pada dirinya sendiri. Tangannya mengambil gelas yang terisi air, meneguknya perlahan, seakan mencoba menenangkan diri dari pikiran yang membebani.

“Syukur lah, aku pikir kamu memang sakit,” ujar Aditya lagi, dengan sedikit senyum lega yang terukir di wajahnya, meskipun mata tetap penuh perhatian.

“Kamu mencatat usulan dari Pak Rahman?” Tanya Zevian, suaranya lebih serius, tapi tetap terdengar tenang. Matanya beralih ke Mega yang masih sibuk dengan tablet-nya, jarinya dengan cekatan menekan layar, meskipun meeting sudah selesai. Mega tampak asyik dalam dunia kecilnya, namun tatapan Zevian tetap tajam, menunggu jawaban.

“Ya tentu, tinggal aku rapikan sebelum aku serahkan padamu,” ujar Mega, suaranya santai dan tidak terburu-buru, seakan kembali pada suasana nyaman setelah ketegangan tadi. Wajahnya terlihat rileks, seolah sedang bersama teman dekat, bukan rekan kerja dalam sebuah bisnis besar.

“Pertahankan kinerjamu, aku suka. Jangan kecewakan aku,” ujar Zevian, suara sedikit lebih tegas, namun tetap menunjukkan kepercayaan. Ia menatap Mega dengan mata yang penuh makna, seakan memberikan tekanan tak langsung pada wanita itu untuk terus menunjukkan hasil terbaiknya. Mega hanya mengangguk, menyetujui perintah tersebut dengan sedikit senyum.

“Baik,” ujar Mega singkat, ekspresinya menunjukkan kepastian yang tak bisa diganggu gugat.

“Apakah ada agenda penting lagi, Mega?” Tanya Aditya, mewakili Zevian, matanya masih menatap Mega, menunggu penjelasan lebih lanjut.

“Iya, jam 11.00 ada makan siang bersama klien dari Cina, lalu pada jam 14:25 ada pertemuan dengan klien dari perusahaan Pak Irfan, sedangkan malamnya Pak Asep mengundang kamu dan Zevian untuk datang ke pesta ulang tahun pernikahannya,” ujar Mega, sambil menggeser-geser layar tablet-nya dengan pena, matanya mengikuti setiap gerakan dengan teliti, seakan tak ingin ada detail yang terlewat. Suasana semakin santai, seiring dengan berkurangnya tekanan yang terasa setelah rapat yang intens.

“Ouuh, ba...” Aditya hendak menyelesaikan ucapannya, tetapi kalimatnya terhenti begitu saja.

“Batalkan semua kecuali pertemuan dengan klien dari Cina, dan kamu, Mega, datanglah wakili aku,” tegas Zevian, suaranya datar dan tak memberi ruang untuk perdebatan. Tatapan matanya yang tajam menandakan bahwa ia tidak ingin ada pembicaraan lebih lanjut. Mega dan Aditya menatapnya sejenak, ragu untuk membantah, namun mengetahui dengan jelas bahwa Zevian tak akan berubah pikiran.

"Tapi zevian.. " ucapan Mega di potong cepat.

"Batalkan saja.. aku tidak akan datang " ujar nya yang membuat Mega mau tak mau mengangguk, dia hanya diam melihat zevian yang keluar dari ruang rapat lebih dulu. Aditya menghela napas pelan, merasa tidak nyaman dengan ketegangan yang masih menggantung di udara.

"Kamu baik-baik saja?" tanyanya, matanya menatap Mega dengan perhatian, meskipun dia tahu betul betapa kerasnya perintah Zevian. Mega tersenyum tipis, namun ada rasa frustrasi yang tak bisa disembunyikan.

"Aku hanya lelah, Adit. Rasanya seperti tidak ada habisnya," ujarnya, suaranya terdengar lemah. Dia menatap layar tablet-nya, berusaha untuk fokus pada pekerjaan, tetapi pikirannya terbang kembali pada perintah Zevian yang tak kenal kompromi.

"Aku mengerti. Tapi kamu tahu, Zevian selalu seperti itu. Kadang, kita hanya harus mengikutinya, meskipun sulit." Ujar Aditya yang membuat Mega menghela napas berat.

"Terkadang aku merasa seperti hanya sebuah alat baginya, bukan seorang rekan yang dihargai. Tapi yasudah lah.. sudah terlambat untuk mengeluh aku sudah terlanjur sayang pada nya," Ia menundukkan kepala, menatap layar tablet seolah mencari hiburan dari dunia maya, namun hatinya tetap merasa kosong.

"Kamu sudah berusaha dengan sangat baik, Mega. Jangan biarkan hal itu merusak semangatmu." Ujar Aditya yang membuat Mega melirik Aditya, bibirnya membentuk senyum kecil, meskipun tidak sepenuhnya tulus.

"Terimakasih.." ujar nya yang membuat Aditya mengangguk pelan.

"Ayo kembali masih banyak pekerjaan yang menunggu," ujar Aditya yang segera bangkit dari duduknya begitu juga Mega, mereka berjalan ke ruangan Zevian. Saat mereka masuk mereka melihat zevian tengah duduk tenang di kursi kebesaran nya membolak balik dokumen dengan pokus.

"Dingin sekali di sini, aku rasa AC-nya error, atau mungkin memang Zevian yang terlalu dingin," kekehnya, mencoba mencairkan suasana yang semakin tegang.

"Ya, kamu benar. Zevian memang ibarat kutub Jakarta. Pria tampan ini memang membeku, tapi bukankah es akan meleleh jika terkena panas setiap hari?" sambung Aditya, masih dengan senyum tipis sambil menatap tajam ke arah Zevian. Mega yang mendengar itu pun langsung tertawa terbahak-bahak, seolah menemukan sekutu dalam menggoda sang bos yang terkenal dingin dan serius itu.

"Ya, kamu benar, Adit. Tapi sayangnya, matahari itu sudah takut duluan saat melihat wajah Zevian yang sudah ditekuk seperti itu—seperti kanebo kering yang terlihat dingin." Mega kembali tertawa, suaranya mengisi seluruh ruangan, penuh dengan kebebasan dan keceriaan. Namun, tawa itu segera terhenti ketika tatapan matanya bertemu dengan tatapan mata Zevian yang tajam, mengkilat penuh kekesalan, seakan memancarkan kekuatan yang bisa membuat siapapun membeku dalam sekejap.

"Dia sangat menggemaskan," ucap Aditya, menatap Mega yang masih terbahak-bahak karena leluconnya.

"Apanya yang menggemaskan, Casanova sepertimu? Mana tahu tentang perempuan bagus, dan tak ada yang kamu pikirkan selain kesenangan dunia saja," balas Zevian sambil tertawa mengejek. Ucapan itu mengandung ironi yang tidak bisa diabaikan. Ia akhirnya merasa puas bisa kembali meledek sahabatnya itu, meskipun hatinya masih sedikit geram dengan kebiasaan Mega yang suka menggoda.

"Apa sih, Ze? Tidak jelas!" ucap Aditya, kesal. Tidak ada yang lebih menyebalkan baginya selain Zevian yang terus-menerus mengejeknya sejak dulu, bahkan hingga sekarang. Mega adalah teman mereka berdua sejak masa kuliah di Universitas Indonesia. Namun, sayangnya, takdir memisahkan mereka. Zevian melanjutkan studinya ke Oxford University di Inggris, sementara Aditya memilih Harvard University di Amerika Serikat. Mega sendiri melanjutkan kuliah di dalam negeri, di Institut Teknologi Bandung (ITB). Sejak saat itu, mereka bertiga berpisah dan hanya dipertemukan kembali dalam pekerjaan, menjadi tim profesional yang hebat. Itulah mengapa Mega merasa cukup berani menggoda kesabaran Zevian. Kalau bukan karena mereka teman dekat, pasti sudah tidak ada yang berani seperti itu.

Mereka dipertemukan kembali dalam dunia kerja sebagai tim yang solid dan kompak. Tidak heran jika kerja mereka bisa berjalan begitu lancar; mereka adalah lulusan terbaik dari universitas ternama dunia. Namun, di balik keseriusan dan profesionalisme itu, mereka tetaplah sahabat biasa yang gemar bercanda. Canda tawa menjadi cara mereka melepaskan penat dan stres akibat tekanan pekerjaan yang tidak ada habisnya.

"Bagaimana, Dit? Sudah ada hasilnya?" suara Zevian terdengar tegas, memecah keheningan di ruang kerja yang sebelumnya dipenuhi dengan canda tawa.

Aditya, yang sejak tadi diam-diam memperbaiki sistem CCTV yang sempat eror, berjalan menuju meja kerja Zevian. Tanpa berkata banyak, ia meletakkan laptop di hadapan bosnya. Dengan cepat, ia menekan tombol 'Pause'. Di layar, tampak jelas rekaman CCTV dari penthouse mewah milik Zevian, menunjukkan Nayara yang keluar dari dalam privat lift, diikuti oleh seorang pria yang kemudian masuk ke dalam mobil BMW hitam. Di sisi lain, Mega juga terekam sedang bertabrakan dengan pria yang sama.

"Oh, jadi dia pria yang disebut-sebut oleh Mega sebagai seorang pasutri, 'My Angel'. Laki-laki itu tampan juga, ya?" ujar Aditya, suaranya menggoda, bibirnya menyunggingkan senyum jahil. Zevian, yang sejak tadi memandangi layar dengan mata menyipit, merasakan emosinya memuncak. Urat-urat di tangannya mulai menonjol, menandakan bahwa ia sedang berusaha keras menahan amarah yang seolah siap meledak.

"Oh, jadi sekarang dia sudah berani membangkang, ya? Awas saja kamu, Nayara. Aku akan buat kamu menyesal seumur hidup, dan tidak akan pernah berani menantang perintahku lagi!" kata Zevian, suaranya keras dan penuh ancaman. Ia menatap layar dengan tatapan penuh amarah, tangan yang gemetar meremas benda-benda di sekitar meja dengan kuat, seolah mencari tempat untuk menyalurkan amarahnya. Melihat Zevian yang hampir kehilangan kendali, Aditya justru semakin menggoda.

"Oh, jadi namanya Nayara? Kenapa kamu tidak bilang dari kemarin?" ujarnya sambil tertawa kecil, meski sebenarnya ia sudah mengetahui nama Nayara. Sikap Aditya yang santai ini justru membuat Zevian semakin murka. Tanpa peringatan, Zevian menggebrak meja dengan keras, membuat laptop yang ada di hadapannya terlempar, hancur berkeping-keping ke lantai.

"Diamlah, bodoh! Jangan sebut nama wanitaku dengan mulut kotormu itu!" bentak Zevian dengan nada tinggi, suara kasar yang hampir mengguncang ruangan. Matanya yang tajam menatap Aditya dengan penuh amarah, tapi Aditya hanya menatapnya dengan senyuman tak terbendung.

"Ah, kotor kamu bilang? Setidaknya, mulutku jadi kesukaan para wanita, daripada kamu yang sama sekali belum pernah merasakan indahnya kehidupan dunia," jawab Aditya, nada suaranya kesal. Ia merasa terus-menerus disalahkan oleh Zevian, meskipun menurutnya perkataan itu tidak sepenuhnya salah.

"Entah dosa apa yang aku lakukan hingga aku punya sahabat seperti dirimu," Zevian mengeluh, menatap tajam Aditya dengan penuh ketidakpuasan.

Sementara itu, Mega yang sejak tadi diam, hanya terus sibuk mengurusi barang-barang yang rusak di sekitar mereka. Jemarinya bergerak gesit, memesan kembali barang-barang yang hancur akibat kekacauan yang terjadi. Kebiasaannya yang satu ini tak pernah berubah. Dari dulu hingga sekarang, saat kedua sahabatnya itu adu bicara—atau lebih tepatnya beradu ego—selalu saja ada barang yang menjadi korban. Dan tak ayal, Mega lah yang harus membeli barang-barang baru itu.

"Terima kasih, Tuan Dewa Es Jakarta, atas pujiannya," ucap Aditya, dengan nada sarkastik, sambil menjulurkan lidahnya ke arah Zevian, yang masih terengah-engah menahan amarahnya. Namun, di balik kata-kata itu, ada senyum nakal yang terpancar dari wajah Aditya, yang seolah menyadari bahwa tidak ada yang bisa mengubah hubungan mereka yang telah lama terjalin—meski penuh dengan gesekan.

“Sudahlah, tidak usah banyak bicara. Sekarang katakan, kau tahu di mana dia sekarang?” ucap Zevian, suaranya kembali dingin namun penuh tekanan.

Aditya hanya menggeleng, lalu mengangguk pelan dalam waktu bersamaan—seolah pikirannya sendiri sedang berperang dengan kebingungan yang tak kunjung menemukan titik terang.

“Iya atau tidak?” ulang Zevian, kali ini dengan nada lebih tajam.

“Untuk sekarang belum, tapi aku bisa mendapatkannya dalam waktu dekat,” jawab Aditya akhirnya, matanya mengarah ke layar laptop yang kini sudah mati, bekas kemarahan Zevian sebelumnya.

“Kalian punya nomor teleponnya?” tanya Mega tiba-tiba, suaranya terdengar ringan namun penuh maksud. Ia menoleh pada kedua pria di hadapannya dengan ekspresi datar.

“Apa?” ulang Zevian, serempak dengan Aditya. Keduanya saling menatap dengan alis mengernyit, bingung dengan maksud Mega.

“Tinggal minta bantuan Giant saja. Apa susahnya?” ucapnya santai, seolah solusi itu begitu sederhana sejak awal.

“Benar juga, kenapa aku tidak terpikirkan Giant sejak tadi,” sahut Aditya, tersadar, lalu menoleh ke Zevian yang akhirnya mengangguk menyetujui usulan tersebut. Mega yang melihat respons mereka hanya memutar bola matanya malas, lalu berdiri dari duduknya dengan gerakan anggun namun jelas penuh kejengkelan. Ia melangkah keluar dari ruangan sambil berucap tanpa menoleh ke belakang.

“Itulah sebab nya. Berhentilah membicarakan perempuan, dan fokuslah bekerja.” Ucapan itu membuat ruangan seketika hening. Zevian dan Aditya saling pandang, terdiam.

“Apa katanya barusan?” tanya Zevian kemudian, seolah tidak percaya dengan kalimat penutup yang dilemparkan Mega begitu saja.

“Dia menyuruh kita fokus bekerja,” jawab Aditya, menatap Zevian dengan ekspresi datar namun penuh sindiran halus. Zevian, yang tampaknya baru benar-benar menyadari maksud ucapan Mega, spontan berseru.

“Hei! Aku ini atasan kalian!” teriaknya, suaranya menggema di seluruh ruangan, memancing tawa kecil dari Aditya yang buru-buru menutup telinganya.

“Berisik sekali, Zevian,” balas Aditya sambil mengambil tablet dan beberapa berkas dari atas meja. Dengan langkah santai, ia mulai berjalan meninggalkan ruangan, namun suara Zevian kembali menggema di belakangnya.

“Aku belum selesai bicara, Aditya Daniandra Prakarsa!” teriak Zevian lagi, nada suaranya semakin tinggi. Aditya menoleh sebentar dari ambang pintu, lalu menjawab tenang.

“Aku akan menyuruh Giant nanti. Bersabarlah. Dan ya, benar kata Mega—fokuslah bekerja.” Ucapan itu disampaikan dengan gaya khasnya yang santai, lalu ia menghilang di balik pintu, menyisakan keheningan. Zevian mendengus keras, lalu meraih pelipisnya yang mulai terasa nyeri.

“Astaga... Mereka pikir siapa mereka sebenarnya?” gumamnya sembari memijat kening, merasa seluruh dunianya tidak lagi berada dalam kendali.

1
Ramapratama
mulut nya 😌
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!