NovelToon NovelToon
SEKUNTUM BUNGA DI RUANG GELAP

SEKUNTUM BUNGA DI RUANG GELAP

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa / Wanita Karir / Romantis / Cinta setelah menikah / Balas Dendam
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Efi Lutfiah

Di balik gemerlap lampu malam dan dentuman musik yang memekakkan telinga, seorang gadis muda menyembunyikan luka dan pengorbanannya.
Namanya Cantika, mahasiswi cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dosen. Namun takdir membawanya pada jalan penuh air mata. Demi membiayai kuliahnya dan membeli obat untuk sang ibu yang sakit-sakitan, Cantika memilih pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan: menjadi LC di sebuah klub malam.

Setiap senyum yang ia paksakan, setiap tawa yang terdengar palsu, adalah doa yang ia bisikkan untuk kesembuhan ibunya.
Namun, di balik kepura-puraan itu, hatinya perlahan terkikis. Antara harga diri, cinta, dan harapan, Aruna terjebak dalam dilema, mampukah ia menemukan jalan keluar, atau justru terperangkap dalam ruang gelap yang semakin menelan cahaya hidupnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Efi Lutfiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Air mata kesedihan

Tubuh Bu Hasna terkulai lemah di lantai. Napasnya tersengal-sengal, matanya bergetar menatap wajah Cantika yang kini panik setengah mati.

“Ibuuu… bangun, Bu! Jangan tinggalin Tika, tolong…” suara Cantika pecah, air matanya membanjiri wajahnya sendiri.

Tangannya gemetar saat mencoba menepuk pipi ibunya, namun tubuh itu kaku.

“Ibu… Ibu dengar Tika, kan? Tolong jangan begini…”

Tanpa pikir panjang, Cantika segera memesan taksi online. Rumahnya yang cukup jauh dari rumah tetangga membuatnya tak bisa meminta bantuan siapa pun, apalagi di siang hari saat semua orang sedang bekerja.

Tangannya gemetar saat menekan layar ponsel, air mata terus mengalir tanpa bisa ditahan.

Beberapa menit kemudian, suara klakson mobil terdengar di depan rumah.

Cantika langsung berlari keluar sambil berteriak,

“Mas! Tolong, cepat ke sini!”

Sopir taksi itu terkejut melihat seorang wanita muda menangis sambil memegangi tubuh ibunya yang terkulai lemah.

Tanpa banyak tanya, pria itu segera turun dari mobil dan berlari menghampiri.

Dengan sigap ia membopong tubuh kurus Bu Hasna, sementara Cantika berlari di belakangnya.

“Mas, tolong bawa ke rumah sakit terdekat, cepat!”

“Baik, Mbak, tenang ya…” jawab sang sopir, suaranya ikut tegang.

Begitu pintu tertutup, mobil langsung melaju kencang menembus panas siang yang menyengat.

“Bu… bangun, Bu…”

Suara Cantika bergetar, kedua tangannya menggenggam jemari ibunya yang dingin. Matanya terus menatap wajah pucat Bu Hasna yang terkulai di pangkuannya.

“Mas, cepet ya… tolong jangan pelan!” seru Cantika dari kursi belakang, suaranya parau di antara isak.

Sopir taksi hanya mengangguk cepat, keringat menetes di pelipisnya meski AC mobil menyala. Ia tahu, ini bukan sekadar penumpang biasa.

“Bu… Tika janji nggak akan bohong lagi, Bu. Bangun ya, kita masih banyak tempat yang mau kita datengin… masih banyak makanan yang ibu pengen coba, kan?”

Cantika berusaha tersenyum, meski suaranya pecah di ujung kalimat. Air matanya menetes, jatuh membasahi tangan ibunya.

Bu Hasna tak memberi respons. Nafasnya tersengal, dadanya naik turun pelan seolah berjuang menahan nyeri yang tak tertahankan.

“Bu, tahan ya, bentar lagi sampai rumah sakit. Ibu kuat, ibu pasti kuat…” Cantika terus membujuk, suaranya lirih namun penuh rasa takut.

Sopir melirik dari kaca spion, melihat gadis itu menangis sambil mengguncang tubuh ibunya.

“Tenang, Mbak… rumah sakit tinggal beberapa menit lagi,” katanya cepat.

Cantika mengangguk tanpa suara, hanya tangis tertahan yang terdengar di antara deru mesin.

Setiap detik terasa seperti siksaan, antara harapan dan ketakutan yang menyesakkan dada.

Begitu mobil berhenti di depan rumah sakit, Cantika langsung membuka pintu dengan panik.

“Mas, tolong bantu lagi ya, ibu saya pingsan!”

Tanpa pikir panjang, sopir taksi itu kembali membopong tubuh Bu Hasna, sementara Cantika berlari di depan, menembus lorong menuju IGD.

“Dokter! Perawat! Tolong, ibu saya pingsan!”

Suara Cantika menggema di ruangan putih itu, membuat beberapa perawat langsung berlari menghampiri.

“Cepat, bawa ke ruang darurat!”

Bu Hasna segera dipindahkan ke atas ranjang dorong. Perawat mendorongnya cepat, sementara Cantika terus berlari di sisi ranjang, menggenggam tangan ibunya yang semakin dingin.

“Bu… bangun, Bu… jangan tinggalin Tika, tolong…”

Suaranya parau, air mata tak berhenti mengalir.

Saat itu, Arkana yang baru saja keluar dari ruangannya terkejut melihat keributan itu. Matanya langsung membulat saat mengenali wajah Cantika.

“Cantika? Astaga… Bu Hasna kenapa?”

Cantika menatap Arkana dengan wajah berantakan oleh air mata.

“Dok, ibu saya tiba-tiba jatuh… dia sesak nafas, tolong selamatkan dia dok… tolong!”

“Tenang, Cantika. Aku urus, kamu tunggu di luar,” ucap Arkana tegas, lalu segera mengenakan sarung tangan dan memimpin tim medis masuk ke ruang tindakan.

Pintu ruang darurat tertutup rapat.

Cantika terdiam di depan pintu, tubuhnya gemetar hebat.

Setiap detik yang berlalu terasa seperti jarum jam menusuk dadanya.

Dari balik kaca kecil pintu, ia bisa melihat bayangan Arkana dan tim medis bergerak cepat, memasang alat, memberikan oksigen, dan memeriksa jantung ibunya.

Cantika memeluk dirinya sendiri, menangis tanpa suara.

“Ya Allah… jangan ambil ibu sekarang, aku belum sempat bahagiain dia…” bisiknya lirih di antara sesenggukan.

Setelah hampir satu jam menunggu di depan ruang IGD, pintu akhirnya terbuka.

Arkana keluar dengan wajah lelah, keringat membasahi pelipisnya. Langkahnya pelan, namun sorot matanya jelas membawa kabar yang berat.

Cantika yang sejak tadi duduk di kursi dengan tangan bergetar, langsung berdiri.

“Dok… gimana kondisi ibu saya?” tanyanya tergesa, suaranya parau karena terlalu banyak menangis.

Arkana menghela napas panjang, menatap Cantika penuh iba.

“Bu Hasna terkena serangan jantung,” ucapnya pelan tapi tegas. “Kondisinya saat ini… masih kritis.”

Deghh—

Kata itu terasa seperti petir yang menyambar jantung Cantika. Tubuhnya limbung, lalu jatuh terduduk di kursi.

Tangisnya pecah. Ia menunduk, memeluk lututnya sendiri sambil menggigil.

“Ibu…” suaranya lirih, serak, hampir tak terdengar.

Melihat itu, Arkana segera berjongkok di depannya. Tanpa ragu, ia meraih bahu Cantika dan menariknya ke dalam pelukan.

“Tenang, Cantika… kamu harus kuat,” bisiknya lembut. “Bu Hasna sedang berjuang di dalam. Sekarang yang bisa kamu lakukan cuma berdoa.”

Cantika menangis di dada Arkana, tubuhnya bergetar hebat.

“Hiksss… ibu, jangan tinggalin Tika…”

Arkana mengusap rambutnya pelan, berusaha menenangkan.

“Doain aja, ya… mudah-mudahan Bu Hasna bisa melewati masa kritisnya.”

Tangis Cantika kembali pecah, lebih dalam, lebih hancur.

Sementara Arkana hanya bisa memeluknya erat, menatap kosong ke arah pintu IGD, menyadari bahwa di balik pintu itu, hidup dan mati sedang bertarung memperebutkan satu nyawa yang sangat berarti bagi wanita di pelukannya.

“Dok… boleh saya masuk?” tanya Cantika lirih, suaranya nyaris tenggelam di antara isak yang belum tuntas. Wajahnya sembab, mata merahnya menatap penuh harap pada Arkana.

Arkana menatapnya lembut. “Boleh,” jawabnya pelan, “tapi hanya lima belas menit saja, ya.”

Cantika mengangguk cepat, lalu berjalan perlahan menuju pintu ruang perawatan. Setiap langkah terasa berat, seolah ada beban besar yang menekan dadanya.

Begitu pintu terbuka, udara dingin ruangan langsung menyambutnya.

Bunyi beep… beep… dari monitor jantung terdengar ritmis, menandakan Bu Hasna masih berjuang.

Cantika mendekat dengan langkah gemetar, menatap wajah pucat ibunya yang kini tertidur dengan bantuan alat medis di sekujur tubuh.

“Bu…” panggilnya lirih, suaranya pecah.

Tangannya perlahan menggenggam tangan ibunya yang dingin.

“Bu, Tika di sini… jangan tinggalin Tika, ya.”

Air mata kembali menetes, jatuh di punggung tangan Bu Hasna yang penuh jarum infus.

Arkana yang berdiri di pintu hanya bisa menatap dalam diam, merasakan perih di dada saat melihat Cantika menunduk di sisi ibunya, seolah dunia di sekitarnya berhenti berputar.

Cantika terus menatap wajah pucat ibunya.

Setiap garis halus di wajah itu menyimpan kenangan—senyum hangat, pelukan lembut, juga doa-doa yang selalu menyertai langkahnya sejak kecil.

Namun kini, semua itu terasa begitu jauh.

Hanya ada tubuh rapuh yang terbaring lemah dengan alat bantu napas di sisi, membuat dada Cantika sesak oleh rasa bersalah yang menumpuk.

“Bu…” bisiknya lirih, suaranya bergetar di antara isak yang tertahan. “Tika anak yang jahat, ya… Tika udah bohong sama Ibu. Tika cuma pengen Ibu nggak sedih, pengen Ibu tetap bisa berobat.”

Berulang kali Cantika meremas ujung dress-nya, jemarinya gemetar dan terasa dingin. Nafasnya tersengal pelan, sementara matanya terus terpaku pada wajah ibunya yang terbaring lemah.

Rasa takut dan khawatir bercampur menjadi satu, menyatu dalam dada yang sesak dan pikiran yang kacau.

Setiap bunyi beep dari monitor jantung seakan menampar kesadarannya, mengingatkan bahwa waktu bisa berhenti kapan saja.

1
menderita karena kmu
Ceritanya seru banget, jangan biarkan aku dilema menanti update 😭
evi evi: haha,,, siap kakak😀🤗
total 1 replies
Rukawasfound
Ceritanya keren, teruslah menulis thor!
evi evi: Terimakasih sudah mampir di cerita ku kk🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!