Di balik gemerlap lampu malam dan dentuman musik yang memekakkan telinga, seorang gadis muda menyembunyikan luka dan pengorbanannya.
Namanya Cantika, mahasiswi cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dosen. Namun takdir membawanya pada jalan penuh air mata. Demi membiayai kuliahnya dan membeli obat untuk sang ibu yang sakit-sakitan, Cantika memilih pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan: menjadi LC di sebuah klub malam.
Setiap senyum yang ia paksakan, setiap tawa yang terdengar palsu, adalah doa yang ia bisikkan untuk kesembuhan ibunya.
Namun, di balik kepura-puraan itu, hatinya perlahan terkikis. Antara harga diri, cinta, dan harapan, Aruna terjebak dalam dilema, mampukah ia menemukan jalan keluar, atau justru terperangkap dalam ruang gelap yang semakin menelan cahaya hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Efi Lutfiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sarapan bersama
Pagi itu, Arkana sudah tiba di depan rumah Cantika. Ia sengaja datang lebih awal karena ingin mengajaknya sarapan sebelum berangkat ke kampus.
Bruukk...
Cantika masuk ke dalam mobil dengan penampilan yang rapi. Cardigan rajut lembut berpadu dengan rok jeans selutut, tampak sederhana tapi elegan. Semua yang ia kenakan jelas bermerek, membuat Arkana sempat terdiam sesaat, heran melihat perubahan Cantika yang begitu cepat.
Arkana menjalankan mobilnya dengan tenang. Sesekali matanya melirik ke arah Cantika yang duduk di sampingnya, anggun dengan riasan tipis, rambut terurai lembut, dan aroma parfumnya yang menenangkan. Ia tampak seperti perempuan dari dunia yang berbeda dibanding pertama kali Arkana mengenalnya.
Mobil pun berhenti di depan sebuah warung bubur sederhana di tepi jalan.
“Kita sarapan di sini aja, ya? Bubur langganan aku. Enak banget, sumpah,” ucap Arkana sambil tersenyum.
Cantika mengangguk, tersenyum kecil. “Boleh, Dok. Aku juga suka bubur.”
Arkana segera turun dan bergegas membuka pintu untuknya, membuat beberapa orang di sekitar warung sempat melirik. Cantika sedikit salah tingkah, tapi juga merasa dihargai.
Mereka memilih tempat duduk di pojok, di bawah naungan payung besar. Tak lama, Arkana memesan dua mangkuk bubur porsi spesial.
“Yang satu pakai banyak suwiran ayam, ya Bu,” katanya pada penjual, kemudian kembali duduk di hadapan Cantika.
Keheningan sempat menyelimuti mereka beberapa detik, hingga Arkana mencoba mencairkan suasana.
“Tika, hari ini kamu kerja?” tanya Arkana sambil menatap Cantika dengan penuh cinta.
Cantika menoleh sebentar, lalu tersenyum tipis. “Kayaknya nggak.”
“Benarkah?” Arkana mengangguk pelan. “Aku mau kenalin kamu ke Mamah.”
Kalimat itu langsung membuat jantung Cantika berdegup cepat. Dikenalkan ke orang tua? Itu bukan hal kecil. Apa ini berarti Arkana benar-benar serius padanya?
“Kamu bisa kan?” tanya Arkana lagi.
Cantika menelan ludah, jari-jarinya menggenggam tas di pangkuannya. “Emm... Dok, apa nggak lain waktu aja?”
Gugupnya jelas terlihat, meski ia berusaha tampak tenang.
Arkana tersenyum lembut. Ia tahu betul perempuan di sampingnya itu sedang berusaha menyembunyikan kegelisahan.
“Kenapa? Kamu belum siap, hmm?”
Cantika mengangguk pelan. Ada banyak hal yang belum ia ceritakan pada Arkana, terlalu banyak masa lalu yang mungkin akan mengubah pandangan pria itu tentang dirinya.
Obrolan mereka terhenti saat pesanan tiba. Aroma bubur hangat seketika memenuhi udara, membuat keduanya langsung fokus pada makanan di depan mereka. Untuk beberapa saat, suasana hening, hanya terdengar suara sendok beradu lembut di mangkuk. Seolah mereka sama-sama melupakan ucapan Arkana sebelumnya yang sempat membuat Cantika gelisah.
Namun kehangatan pagi itu tak berlangsung lama. Ponsel Arkana bergetar di atas meja, menampilkan nama salah satu perawat rumah sakit. Ia segera mengangkatnya, wajahnya berubah serius setelah mendengar kabar dari seberang.
“Tika, maaf ya... sarapan kita jadi terburu-buru. Aku harus ke rumah sakit sekarang.”
Cantika mengangguk pelan, menaruh sendoknya. “Gak apa-apa, Dok. Kalau gitu kamu langsung aja ke rumah sakit. Aku bisa naik taksi kok.”
Arkana menggeleng tegas. “Enggak usah, aku antar kamu dulu ke kampus. Gak tenang rasanya ninggalin kamu sendirian.”
Cantika tertegun sejenak, lalu tersenyum tipis. “Terima kasih, tapi gak usah repot, Dok.”
“Bukan repot, tapi tanggung jawab,” jawab Arkana singkat, menatapnya dengan lembut namun tegas.
Setelah membayar, mereka segera menuju mobil. Arkana mengemudi dengan sedikit lebih cepat dari biasanya, ingin memastikan Cantika tiba di kampus tepat waktu sebelum ia melanjutkan tugasnya di rumah sakit.
**
Cantika turun dari mobil mewah milik Arkana dengan langkah anggun. Suara pintu mobil yang tertutup pelan langsung menarik perhatian banyak orang di halaman kampus. Beberapa mahasiswa yang sedang nongkrong di tangga bahkan sempat saling berbisik, heran melihat sosok Cantika yang kini tampil begitu berbeda, elegan dan berkelas.
Di kejauhan, dua pasang mata memperhatikannya tajam.
Elsa dan Sindi.
Dua orang yang sejak dulu tak pernah bisa menerima perubahan Cantika.
“Eh, liat deh... itu Cantika, kan?” bisik Elsa sambil menyikut lengan Sindi. “Gila, sekarang gayanya udah kayak sosialita aja. Jangan-jangan itu om-om yang biayain dia.”
Sindi menyipitkan mata, menatap mobil yang baru saja berhenti. “Hmm... tapi cowoknya kayak masih muda deh. Ganteng lagi.”
Saat kaca mobil perlahan terbuka, keduanya spontan menahan napas.
Wajah tampan dengan jas dokter dan senyum tipis itu tak asing bagi Sindi.
“Astaga... dokter Arkana!” seru Sindi lirih, hampir tak percaya.
Elsa langsung menoleh cepat. “Siapa? Lo kenal?”
“Kenal sih nggak, tapi gue tahu. Dia kerja di rumah sakit yang sama sama kakak gue.” Sindi menelan ludah, nada suaranya mulai naik karena tak percaya. “Lo tau nggak, kak Aira sampe setengah mati deketin dia dan gak pernah berhasil! Tapi Cantika? Duh, baru tampil dikit udah bisa jalan bareng dokter Arkana!”
Elsa melongo. “Lo gak bercanda, kan?”
“Ngapain gue bercanda?” sahut Sindi cepat. “Dokter Arkana itu dokter muda paling berbakat, banyak banget penggemarnya. Tapi kenapa malah sama si Cantika, sih? Jangan-jangan... dia pake pelet kali!”
Elsa tertawa kecil, tapi sorot matanya penuh iri. “Ih, gak masuk akal. Dulu aja dia paling cupu. Sekarang tiba-tiba deket sama dokter seganteng itu? Ada yang gak beres, Sin.”
Sindi mengangguk, menatap punggung Cantika yang berjalan menuju gerbang kampus dengan langkah ringan.
Namun di balik senyum yang ditunjukkan Cantika, ada perasaan was-was, karena ia tahu, mulai hari ini, semua mata akan tertuju padanya... dan tidak semua dengan niat baik.
Pelajaran dimulai. Suasana kelas mendadak hening ketika dosen memasuki ruangan dengan wajah serius — seperti biasa, tatapan matanya cukup untuk membuat siapa pun menahan napas. Hari ini adalah pengumuman nilai presentasi, dan semua mahasiswa tahu betapa ketatnya penilaian dosen tersebut.
Cantika sudah duduk rapi di bangkunya. Tangannya menggenggam pena, namun sejak tadi jari-jarinya terus bergetar halus. Ia mencoba terlihat tenang, tapi jantungnya berdegup cepat.
Di sisi lain, Sindi dan Elsa masih belum bisa melepaskan pandangan mereka dari Cantika.
“Lihat aja tuh gayanya, udah kayak paling sempurna di kelas,” bisik Elsa pelan.
Sindi hanya mendengus, hatinya penuh percaya diri bahwa dia akan mendapat nilai paling besar.
Cantika bisa mendengar bisikan mereka, meski pura-pura sibuk menatap buku catatannya. Hatinya terasa perih, tapi ia memilih diam. Ia tak ingin memperpanjang masalah.
Dosen berdiri di depan kelas, menatap seisi ruangan. “Baik, hari ini saya akan umumkan nilai presentasi kelompok minggu lalu. Saya harap kalian semua belajar dari hasilnya.”
Seketika suasana menjadi lebih tegang. Beberapa mahasiswa menatap ke depan dengan penuh harap, sebagian lain menunduk gelisah. Cantika menarik napas panjang, mencoba menyiapkan diri untuk apa pun yang akan ia dengar.
Dosen mulai menyebutkan nama-nama satu per satu, disertai komentar singkat tentang hasil presentasi masing-masing kelompok.
Suara langkah dosen yang sesekali berpindah di depan kelas terasa menegangkan.
“Kelompok tiga... Elsa, Sindi, dan Dira.”
Ketiganya menegakkan tubuh.
“Presentasi kalian cukup baik, tapi penyampaian datanya kurang kuat. Nilai rata-ratanya... delapan puluh dua.”
Elsa menelan ludah. Nilai itu tak jelek, tapi jauh dari harapan.
“Delapan puluh dua aja? Padahal aku udah lembur semalaman,” bisiknya kesal.
Sindi hanya mendengus pelan, lalu menatap ke arah Cantika dengan tatapan sinis.
Tak lama kemudian, dosen kembali menatap daftar di tangannya.
“Kelompok enam... Cantika, Rani, dan Bima.”
Semua kepala langsung menoleh ke arah Cantika. Dosen tersenyum tipis sebelum melanjutkan, “Presentasi kalian sangat bagus. Materinya lengkap, cara penyampaiannya juga jelas, terutama Cantika, kamu terlihat menguasai topik dengan baik. Nilai kelompokmu... sembilan puluh lima.”
Kelas langsung riuh kecil.
“Sembilan puluh lima?” bisik beberapa mahasiswa, terkejut.
Cantika menunduk malu, tapi bibirnya membentuk senyum kecil. Rani dan Bima yang duduk di sebelahnya menepuk bahunya pelan, ikut senang.
Namun dari sisi kanan kelas, Elsa dan Sindi menatap tajam.
“Gila, beneran lebih tinggi dari kita,” desis Elsa.
" ini gak bisa di biarin, pokoknya kita harus buat perhitungan sama dia " bisik Sindi tepat di telinga Elsa.