Dikhianati oleh murid yang paling ia percayai, Asura, sang Dewa Perang, kehilangan segalanya. Tubuhnya musnah, kekuatannya hilang, dan namanya dihapus dari dunia para Dewa. Namun, amarah dan dendamnya terlalu kuat untuk mati.
Ribuan tahun kemudian, ia terlahir kembali di dunia fantasi yang penuh sihir dan makhluk mistis bukan lagi sebagai Dewa yang ditakuti, melainkan seorang bocah miskin bernama Wang Lin.
Dalam tubuh lemah dan tanpa kekuatan, Wang Lin harus belajar hidup sebagai manusia biasa. Tapi jauh di dalam dirinya, api merah Dewa Asura masih menyala menunggu saatnya untuk bangkit.
“Kau boleh menghancurkan tubuhku, tapi tidak kehendakku.”
“Aku akan membalas semuanya, bahkan jika harus menantang langit sekali lagi.”
Antara dendam dan kehidupan barunya, Wang Lin perlahan menemukan arti kekuatan sejati dan mungkin... sedikit kehangatan yang dulu tak pernah ia miliki.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumun arch, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mata Langit
Langit tiba-tiba berubah menjadi merah darah.
Di atas awan, di tempat para dewa bersemayam, lonceng suci berdentang tiga kali, suara itu menggema sampai ke seluruh lapisan dunia. Setiap dentangan membawa tekanan berat, seolah langit sendiri ikut memberontak.
Di pusat istana langit yang terbuat dari kristal perak, tujuh singgasana melayang mengitari bola cahaya raksasa. Dari dalam bola itu, Mata Langit terbuka perlahan-lahan, memancarkan sinar merah menyala yang menembus batas dimensi.
“Dewa Asura telah bangkit,” suara berat dan dingin terdengar.
“Wang Lin… telah melanggar garis suci.”
Sosok berjubah putih yang berdiri di singgasana tertinggi. Dialah Artheon, Pemimpin para Dewan Langit. Wajahnya tanpa ekspresi, tapi matanya menyala tajam seperti pisau.
“Kita telah memberi peringatan selama ratusan tahun. Namun manusia itu memilih jalan kehancuran,” ucap Artheon dengan suara dalam.
Salah satu anggota dewan. Seorang wanita bermata keemasan bernama Selene, berdiri.
“Tapi Artheon, dia bukan Dewa Asura penuh. Separuh jiwanya masih manusia. Menyebutnya sebagai ancaman sepertinya terlalu cepat.”
“Diam, kau Selene,” potong Artheon tajam.
“Mata Langit telah menyaksikan semuanya. Api biru telah menyatu dengan cahaya. Jika kita membiarkannya tumbuh, semua tatanan akan runtuh.”
“Atau mungkin… tatanan yang kita pertahankan terlalu lama,” Selene membalas lirih namun jelas.
“Apa yang salah dengan berubahnya dunia?”
Suasana menjadi hening seketika.
Udara di ruangan itu menjadi berat, dan suara angin suci terhenti. Artheon turun dari singgasananya, berjalan perlahan ke arah Selene.
“Kau mulai terdengar seperti pengkhianat, Selene” katanya datar.
“Aku hanya terdengar seperti seseorang yang masih punya hati,” balas Selene tanpa mundur.
Artheon menatap Mata Langit di atas mereka. “Tidak ada ruang untuk hati… dalam peperangan ini.”
Bola cahaya raksasa bergetar. Ribuan simbol kuno menyala di sekeliling ruangan. Dalam sekejap, langit berguncang dan pasukan surgawi mulai dipanggil. Ribuan makhluk bersayap muncul dari portal putih, membentuk barisan. Armor mereka berkilau, tombak cahaya di tangan mereka.
“Cari dan tangkap Wang Lin,” perintah Artheon dingin.
“Bila perlu hapuskan dunia tempat dia berpijak.”
Selene mengepalkan tangannya, rahangnya menegang. Ia ingin membantah, tapi tatapan seluruh dewan memaksanya diam. Namun dalam hatinya, ia tahu kali ini, langit tidak benar.
Sementara itu, jauh di dunia bawah…
Wang Lin dan Yue berjalan di hutan berbatu menuju reruntuhan kuno. Langit masih muram, namun Wang Lin merasakan sesuatu mengawasi dari atas.
“Yue,” katanya lirih. “Kau merasakan itu?”
“Ya,” jawab Yue cepat. “Langit… sedang terbuka.”
Mereka berdua berhenti. Angin membeku.
Tiba-tiba, sinar merah dari langit menembus pepohonan, jatuh tepat di depan mereka. Tanah retak, dan dua prajurit langit turun dengan sayap menyala terang.
“Wang Lin, kau telah melanggar garis surgawi,” suara salah satu penjaga terdengar nyaring.
“Atas nama Dewan Langit, kau harus ikut bersama kami.”
Wang Lin berdiri tegak, tidak mundur.
“Dan kalau aku menolak?”
Prajurit itu mengangkat tombaknya tinggi-tinggi.
“Maka dunia ini akan menjadi harga penolakannya.”
Langit berubah menjadi merah tua. Cahaya dari Mata Langit menyorot ke arah bumi seperti api suci yang membakar setiap harapan untuk bersembunyi.
Di lembah yang sunyi, Wang Lin dan Yue melangkah cepat melewati kabut pekat. Setiap langkah menimbulkan getaran halus di tanah, seolah bumi pun menahan napas menunggu apa yang akan terjadi.
“Wang Lin,” panggil Yue pelan, napasnya mulai berat. “Kau tahu... kalau kita sampai ke Lembah Bayangan, mungkin tak akan ada jalan keluar lagi.”
Wang Lin tersenyum samar tanpa menoleh.
“Aku sudah terlalu jauh untuk mundur, Yue. Kalau hidup ini cuma diberi untuk menunggu mati, maka aku lebih memilih menjemputnya.”
“Kau gila,” gumam Yue dengan suara bergetar. Tapi di balik ketakutannya, ada sesuatu yang lain kekaguman yang tak bisa ia sembunyikan.
Di kejauhan, suara petir bergemuruh, lalu sebuah cahaya keemasan menembus awan. Sosok Penghakim turun perlahan, berdiri di atas udara dengan mata bersinar seperti bara neraka.
“Dewa Asura Wang Lin…” suaranya bergema menembus kabut. “Langit tidak akan menunggu lagi. Tunduklah atau terbakar bersama dosa lamamu.”
Wang Lin berhenti. Ia mendongak ke langit, menatap langsung ke mata raksasa di atas sana. Api biru menyala di tubuhnya, tapi kali ini lebih tenang, lebih dalam.
“Aku sudah terbakar berkali-kali,” katanya pelan. “Tapi anehnya, setiap kali aku hangus... aku justru menjadi lebih hidup.”
Yue menatapnya tak berkedip. “Kau tak perlu melawan sendirian, Wang Lin.”
“Aku tidak sendiri,” jawabnya, menatap Yue dengan senyum samar. “Selama kau di sini, aku tahu api ini tidak akan padam.”
Seketika bumi bergetar hebat. Penghakim mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, memanggil petir dari langit. Dalam sekejap, cahaya putih menyilaukan membelah langit dan menghantam tanah di hadapan mereka.
Tanah terbelah. Pohon-pohon terbakar menjadi abu.
Wang Lin menatap retakan itu dan dari dalamnya, muncul cahaya gelap yang berputar seperti pusaran api hitam.
“Itu… Segel Dewa Asura,” bisik Yue dengan wajah pucat. “Kau benar… akar semua ini ada di sini.”
Wang Lin melangkah maju, mendekati pusaran itu.
“Kalau langit ingin menghukumku karena api yang kubawa… maka biar aku gunakan api ini untuk menghancurkan belenggu yang mereka buat.”
Tiba-tiba, Penghakim melesat turun, pedangnya menyambar udara dengan kekuatan yang cukup untuk memecah gunung.
Yue menjerit, “Wang Lin, hati-hati!”
Dalam satu gerakan cepat, Wang Lin mengangkat tangannya. Api biru dan merah menyatu, membentuk perisai raksasa yang menahan serangan itu. Benturan keduanya menimbulkan gelombang kejut yang membuat lembah bergetar hebat.
Suara dentuman itu menggaung ke seluruh langit.
Awan terpecah. Petir menyambar tanpa arah.
Dan di tengah kekacauan itu, Wang Lin berdiri tegak, api di matanya menyala semakin kuat.
“Langit ingin menilai dosaku?” ia berteriak menantang.
“Kalau begitu, biarkan dunia ini menjadi saksinya—bahwa aku pernah berjuang untuk kebenaranku sendiri!”
Api Dewa Asura meledak, menelan langit dan bumi dalam cahaya menyilaukan.
Ketika cahaya itu mereda, hanya keheningan yang tersisa. Tanah di sekeliling mereka hangus, udara terasa berat dan panas. Yue terjatuh ke tanah, memegangi lengannya yang terluka.
“Wang Lin…” suaranya bergetar. “Kau… masih hidup?”
Dari balik kabut api, sosok Wang Lin muncul perlahan. Jubahnya compang-camping, tubuhnya berlumur darah, tapi mata itu , mata yang dulu suram kini memantulkan cahaya tenang.
“Masih,” jawabnya pelan. “Dan aku belum selesai.”
Yue menatapnya, mata berkaca-kaca. “Kau tahu… tidak semua orang berani melawan langit, Wang Lin.”
Ia hanya tersenyum tipis. “Mungkin karena mereka belum tahu… rasanya terbakar tapi tidak hancur.”
Langit bergemuruh lagi, tapi kali ini lebih lemah. Mata Langit perlahan memudar, seolah kekuatannya berkurang karena sesuatu yang lebih besar sedang terbangun di bawah lembah itu.
Wang Lin menatap pusaran api hitam yang kini terbuka lebih lebar.
“Ini baru permulaan.”
...****************...