Suri baru menyadari ada banyak hantu di rumahnya setelah terbangun dari koma. Dan di antaranya, ada Si Tampan yang selalu tampak tidak bahagia.
Suatu hari, Suri mencoba mengajak Si Tampan bicara. Tanpa tahu bahwa keputusannya itu akan menyeretnya dalam sebuah misi berbahaya. Waktunya hanya 49 hari untuk menyelesaikan misi. Jika gagal, Suri harus siap menghadapi konsekuensi.
Apakah Suri akan berhasil membantu Si Tampan... atau mereka keburu kehabisan waktu sebelum mencapai titik terang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Blank Out
Jawaban Dean memunculkan perdebatan kecil, yang untungnya bisa cepat diatasi dan mereka kembali fokus pada tujuan utama datang ke sini. Ketika ditanya hendak melakukan apa, Suri bilang akan menonton film saja. Mood-nya tidak terlalu bagus setelah berkonflik dengan Lyra. Dia pun tidak terlalu tahu harus mengobrolkan apa dengan kekasih Dean. Mau mengeluhkan soal Lyra pun hanya akan memperburuk suasana hatinya.
Televisi di kamar rawat dinyalakan. Remote-nya berada di tangan Suri. Dia yang memegang penuh kendali. Kursi di samping ranjang dihadapkan ke arah televisi, diduduki dengan posisi kaki menyilang, punggung menyandar santai, dan bertopang kepala. Bagian pinggir ranjang pasien dijadikannya tempat menopang siku, sehingga kepalanya bisa bertumpu pada kepalan tangannya yang erat. Sebisa mungkin, Suri ingin menikmati alur cerita dan sejenak melupakan masalah hidupnya. Baik soal konflik dengan Lyra ataupun misinya membangunkan kekasih Dean.
"Aneh," komentarnya, merujuk pada adegan di dalam film yang tengah berputar.
Temanya soal perdagangan senjata ilegal, dijalankan oleh seorang iblis kejam yang dipenuhi hasrat balas dendam. Lalu seorang polisi tampan datang sebagai hero, berupaya menggagalkan setiap transaksi demi menjaga seluruh negeri tetap tenang. Sedari awal, jalan ceritanya sudah menarik. Setiap adegan dieksekusi dengan akting yang ciamik. Menciptakan ketegangan alami yang sampai membuat Suri menahan napas pada beberapa sesi.
Nah, yang menjadi masalah adalah bagian menjelang akhir. Bagian klimaks di mana sang polisi akhirnya bertemu dengan dalang di balik kekacauan, seorang pria berambut perak dengan mata legam. Pria bengis itu menembakkan peluru ke sekujur tubuh sang polisi, berniat membuatnya mati. Darah bercucuran, sang polisi pun telah tergeletak tak berdaya.
Yang aneh adalah, tidak satu pun berupaya menarik pelatuk untuk menghentikan sang iblis. Alun-alun kota yang semula ramai mendadak sepi, seolah hanya ada sang polisi baik hati dan iblis jahanam itu sendiri. Mereka berada di tengah-tengah, dikepung bangunan megah dengan lampu-lampu berpendar terang. Logo merah menyala dari barber shop di sudut kanan, tampak seperti sebuah provokasi. Menggantikan peran sirine mobil polisi yang di awal adegan berjajar penuh di sepanjang sisi jalan.
"Ke mana perginya semua orang, huh? Mereka tiba-tiba lenyap seperti disapu angin," tambahnya. Hanya untuk tertegun atas ucapannya sendiri.
Menghilangnya para pemain pendukung dari scene, mengingatkannya pada adegan di mana dia kehilangan teman-teman sekelasnya setelah konflik dengan Lyra. Janji temunya dengan Dean mengacaukan pikirannya selama beberapa saat, membuatnya tidak memiliki ruang untuk memikirkannya lagi lebih lanjut.
"Dean,"
Maka kepalanya berputar cepat, menyasar Dean yang duduk di sisi ranjang pasien yang bersebrangan dengannya. Pria itu menggenggam erat tangan kekasihnya, jelas dari awal tidak berminat ikut serta menonton dengan Suri.
"Sepertinya ... aku sempat mengalami blank out."
"Blank out?" Dean mengulang.
Suri mengangguk. "Sebelum Lyra datang padaku, aku ingat suasana kelas sedang tenang. Guru Sastra membawakan materi di depan kelas, dan aku mencuri waktu untuk melamun selama beberapa saat." Suri menekan tombol power, layar televisi seketika padam. Kursi diputar kembali ke arah ranjang, raut wajahnya mulai beriak tak tenang. Tangannya meremas ujung rok, melepaskan keresahan yang mulai merangkak naik sampai ke tenggorokan.
"Tapi setelah Lyra mengonfrontasi diriku dengan ucapan anehnya, lalu pergi begitu saja bersama temannya, suasana kelas seketika berubah."
"Berubah bagaimana?"
"Kosong," sahut Suri. "Semua orang menghilang. Papan tulis di depan kelas bahkan tidak lagi menampakkan satu judul naskah yang sedang dibahas guru Sastra, melainkan deretan rumus Fisika."
Untuk beberapa lama, suasana hening. Dean tampak berpikir keras, sedangkan Suri menunggu dengan was-was. Kaki kanannya tidak bisa diam, terus bergoyang-goyang, semakin menunjukkan betapa kegelisahan mulai menguasai dirinya.
"Momen saat kau melamun," kata Dean, wajahnya terangkat perlahan, genggaman tangannya dengan sang kekasih pun dilepas. "Apa yang kau lamunkan? Atau ... apa yang memicu dirimu untuk mulai melamun pada awalnya?"
"Apa itu penting?"
Dean mengangguk. Sekarang giliran Suri yang terdiam. Memangnya mungkin, untuk dirinya bicara jujur, kalau dia sedang memikirkan Dean saat melamun? Kalau Dean jadi berpikiran lain bagaimana? Dan lagi, berkata jujur soal memikirkan seorang pria, di depan kekasihnya? Suri belum segila itu, sayangnya.
"Suri."
"Hanya hal kecil," sambar Suri. Sudah menjadi gestur alami, pandangannya berlarian ke sana kemari.
"Hal kecil apa? Bisa lebih spesifik lagi?"
"Paw," sahutnya asal. Bagaimana lagi? Cuma Paw yang terlintas di kepalanya saat ini.
"Kenapa dengan Paw? Apa yang mengganggu pikiranmu soal makhluk kecil itu?"
"Aku cuma ... cuma...." Aduh, bagaimana ini? Cuma apa, Suri? Ayo berpikir yang benar.
Sebelah alis Dean naik cukup tinggi. Suri menangkapnya sebagai tanda ketidaksabaran, bercampur dengan rasa curiga. Maka langkah bertahan yang terakhir muncul dalam diri Suri adalah untuk membelokkan pembicaraan. Daripada terus didesak, hingga membuatnya mengatakan sesuatu yang konyol, yang akan semakin memperumit keadaan, lebih baik meluncurkan serangan.
"Yang penting bukanlah apa yang aku pikirkan," cetusnya, "kurasa tidak masalah apakah itu Paw, kau, atau bahkan kekasihmu. Karena kupikir sumbernya hanya satu."
Dean tidak menyahut. Wajahnya seperti terdapat tulisan: Apa? Yang dicetak tebal, miring, dan bergaris bawah.
"Kurasa ada hubungannya dengan misi kita," kata Suri.
"Kenapa menurutmu begitu?"
"Karena aku bersinggungan dengan dunia lain?" Saat berkata 'dunia lain', Suri menambahkan tanda kutip melalui gerakan jemari di kedua tangan.
Dean melipat tangan di depan dada, punggungnya semakin tegak. Wajahnya kini tampak seperti sedang menganalisa. Jika kepalanya transparan, Suri mungkin bisa melihat setiap sel sedang bekerja keras menyusun jawaban.
"Maksudku," Suri melanjutkan, "tidak bisakah kau tanyakan kepada yang di atas, apakah hal ini lumrah terjadi?" sambungnya seraya menunjuk langit-langit kamar rawat. "Jika iya, sekalian tanyakan apakah kondisi seperti ini akan berhenti dengan sendirinya setelah misi kita selesai."
"Kau ingin aku bertanya pada yang di atas?"
"Tentu saja!" sentak Suri, kelepasan mengeluarkan suara tinggi. Setelahnya dia membungkam mulutnya dengan kedua tangan. Matanya melirik tidak enak pada kekasih Dean. "Maaf, ya, aku tidak bermaksud marah-marah," ucapnya menyesal.
"Bisa saja."
Suri mengangkat kepala. Tangannya perlahan menjauh dari mulut. "Bisa bertanya pada yang di atas, kan?" tanyanya memastikan. Jangan sampai terjadi salah pemahaman.
"Iya."
"Oke!" Suri menyahuti antusias. Namun perayaannya tidak serta-merta terjadi karena Dean buru-buru menambahkan.
"Tapi ada harga yang harus dibayar untuk setiap pertanyaan yang diajukan."
Bahu Suri merosot. Sudut-sudut bibirnya tidak jadi terangkat. "Apa?" tanyanya lesu. "Apa yang harus aku bayar untuk mendapatkan sebuah jawaban dari yang di atas Yang Maha Agung itu?"
Bersambung....