NovelToon NovelToon
Terlahir Kembali Menjadi Seorang Perempuan

Terlahir Kembali Menjadi Seorang Perempuan

Status: sedang berlangsung
Genre:Anime / Reinkarnasi
Popularitas:458
Nilai: 5
Nama Author: Lidelse

Reni adalah pemuda pekerja keras yang merantau ke kota, dia mengalami insiden pencopetan, saat dia mengejar pencopetan, dia tertabrak truk. Saat dia membuka mata ia melihat dua orang asing dan dia menyadari, dia Terlahir Kembali Menjadi Seorang Perempuan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lidelse, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Invasi - 2

"Lagi, Tuan Pendragon,"

instruksi Lyra.

Lapang akademi

Aen Pendragon, yang kini jauh lebih mahir, mengaktifkan Mana Anginnya. Dia menggabungkan dorongan angin dengan lipatan ruang Temporal Leap.

WHOOSH—Flicker—WHOOSH—Flicker—WHOOSH—Flicker!

Aen berhasil melakukan tiga lompatan cepat secara berurutan, bergerak seperti bayangan yang diselimuti angin. Ini adalah lompatan jauh melampaui apa yang dia bisa sebelumnya, bukti keberhasilan aliansi mereka.

Namun, setelah lompatan ketiga, Aen terkapar di tanah, terengah-engah.

"Aku... aku... harus berhenti,"

kata Aen, dadanya naik turun dengan cepat.

"Vakum... hampa udara... membunuhku..."

Lyra mengangguk.

"Itu sudah sangat baik. Tiga lompatan beruntun pada percobaan pertamamu adalah pencapaian Archmage sejati. Itu bukti disiplinmu, Aen. Kita akan berhenti di sini."

Saat Lyra hendak mengulurkan tangan untuk membantu Aen berdiri, tiba-tiba terdengar teriakan mengerikan dari koridor utama Akademi, teriakan kepanikan yang tajam, diikuti oleh keheningan yang menakutkan, lalu teriakan kedua.

Lyra dan Aen saling pandang. Mereka tahu suara itu bukan berasal dari duel pelatihan biasa.

Mereka berdua bergegas menuju koridor.

Saat mereka tiba di koridor, pemandangan itu terasa seperti mimpi buruk. Puluhan murid telah berkumpul, menciptakan kerumunan yang histeris. Beberapa menangis, beberapa menutupi mulut mereka, dan seorang murid terlihat muntah di sudut.

Lyra dan Aen berjuang menembus kerumunan. Saat mereka sampai di garis depan, Lyra merasakan Mana-nya merosot drastis.

Di tengah lantai koridor, terbaring tubuh seorang murid. Itu adalah Bart, lawan duel Lyra tadi siang, pendekar palu dan Adept Petir.

Mayat Bart tergeletak tak bernyawa. Dan tepat di jantung Bart, menembus jasnya, tertancap sepotong kristal es tajam yang berlumuran darah. Kristal itu memancarkan aura dingin yang mematikan.

Meskipun Lyra adalah seorang Archmage yang dingin dan rasional, melihat mayat Bart yang baru saja ia ajak duel tadi siang, menusuk inti kemanusiaannya. Rasa sedih yang nyata menyerang, bercampur dengan kemarahan strategis.

Dengan langkah tegas, Lyra melepaskan Jubah Putih bercorak Merah miliknya. Dia membentangkannya dengan hati-hati dan lembut menutupi mayat Bart, memberikan penghormatan.

Aura militer Aen meledak. Dia berdiri tegak, Mana Anginnya berderak, dan suaranya menggelegar di koridor yang sunyi.

"Diam! Siapa yang melakukan semua ini! Archmage Air mana yang begitu berani menyerang di dalam Akademi!"

teriak Aen, menuntut pertanggungjawaban.

Saat itu, kerumunan terbelah, dan muncul seorang wanita yang elegan.

Emi Altera melangkah maju. Lyra segera mengenali wanita dari faksi Altera ini, seorang Archmage yang dikenal memiliki Mana luar biasa, dan merupakan rival Elemendorf. Rambutnya yang gelap dan tatapan tajamnya memancarkan kehadiran yang kuat.

Aen menatap Emi, matanya menyipit penuh kecurigaan. Aen ingat, Emi Altera adalah seorang Archmage Angin/Es. Apakah serangan ini adalah ulahnya? Kristal es di jantung Bart adalah bukti yang memberatkannya.

"Emi Altera,"

desis Aen, Mana Anginnya beradu dengan Mana Angin Emi.

"Jelaskan. Kau memiliki sihir Es."

Emi mengangkat bahu, ekspresinya tenang dan sedikit angkuh.

"Tuan Pendragon yang terhormat. Aku lebih suka bermain dengan Angin. Lagipula,"

Emi menunjuk ke kristal es di jantung Bart,

"Sihir Es-ku sangat elegan, digunakan untuk pertahanan, atau untuk membekukan racun. Aku tidak menggunakannya untuk hal-hal kotor dan langsung menusuk seperti ini."

Emi melangkah lebih dekat ke mayat Bart yang tertutup jubah Lyra, menganalisis kristal es itu dari kejauhan.

"Kristal ini,"

kata Emi, suaranya tenang,

"memancarkan Mana Es yang murni, kuat, dan penuh kebencian. Itu jelas sihir ofensif tingkat tinggi. Tapi itu bukan sihir Es dari faksi Altera. Itu terlalu... dingin."

Emi menoleh ke Lyra dan Aen.

"Ini mungkin serangan dari luar, Tuan Pendragon,"

ujar Emi, menyimpulkan.

"Seseorang telah menggunakan sihir ofensif tingkat Archmage di dalam area terlindungi Elorick. Ini adalah deklarasi perang terhadap Akademi, atau... pesan untuk seseorang yang sangat spesifik."

Lyra, yang berdiri tegak dan dingin, menatap kristal es di jantung Bart. Lyra tahu. Itu adalah Pesan.

Valerius.

Beberapa Hari Setelah Pembunuhan Bart

Lyra, mengenakan jas hitam formal, berlutut di depan makam Bart. Langit di atas Sincorta terasa berat. Di tangannya, ia memegang bunga putih, melambangkan kepolosan yang hilang.

"Aku minta maaf, Bart,"

bisik Lyra, suaranya dipenuhi penyesalan.

"Kematianmu adalah pesannya. Dan aku akan membalasnya."

Setelah memberikan penghormatan, Lyra berdiri dan berjalan menuju kereta kuda yang menunggunya. Di sana, Gilga sudah menunggunya. Gilga tampak sempurna, jasnya rapi, rambut birunya tersisir, tetapi matanya—mata merahnya terasa beku, dan dia mengenakan aura disiplin yang mematikan.

Gilga membuka pintu kereta. Lyra masuk, dan Gilga duduk di sebelahnya.

"Kau terlalu lama, Elara,"

kata Gilga. Nada suaranya datar, tetapi dingin.

Lyra menoleh. Ini adalah pertama kalinya ia benar-benar merasa ada yang salah.

"Gilga,"

kata Lyra, suaranya tenang, mencoba membaca Mana Gilga.

"Aku merasakan ada yang berbeda darimu sejak hari itu. Sejak kau bilang kau pergi mencari sesuatu yang mendesak. Kau... lebih dingin. Bahkan untukmu."

Gilga memutar kepalanya, menatap Lyra dengan tatapan yang sepenuhnya tanpa emosi.

"Perubahan adalah keharusan, Elara. Bentengmu harus sempurna. Kelemahan emosional adalah celah yang tidak bisa kubiarkan."

"Itu adalah bahasa strategi, bukan bahasa Gilga,"

desak Lyra, mulai merasa tidak nyaman.

"Gilga yang kukenal akan marah, bukan dingin. Gilga akan menanyakan perasaanku, bukan hanya status benteng. Siapa yang kau temui? Apa yang kau temukan?"

Gilga tersenyum tipis, senyum yang terasa mengerikan karena tidak mencapai matanya.

"Aku bertemu dengan takdir,"

jawabnya.

"Dan aku menemukan sarana yang sempurna untuk melayanimu. Aku harus menghilangkan semua gangguan agar benteng ini menjadi utuh. Aku harus menghilangkan semua kelemahan, termasuk perasaanku padamu."

Lyra tersentak. Rasa sakit yang tajam menusuk hatinya, lebih sakit dari Mana Es.

"Kau menghilangkan... perasaanmu?"

Lyra bertanya, suaranya bergetar.

"Ciuman di kantin, Gilga. Itu nyata. Kau bilang kau memaafkanku. Kau bilang kau mencintaiku."

"Archmage Darah tidak boleh memiliki kelemahan,"

potong Gilga, suaranya mutlak.

"Cinta adalah celah. Itu adalah racun yang mengalihkan fokus. Aku harus menghapusnya untuk menjadi alat yang kau butuhkan."

Gilga bersandar ke belakang, seolah-olah dia adalah orang lain yang menjelaskan fakta yang dingin.

"Kau benar, Lyra. Gilga tidak akan berbicara seperti ini. Karena Gilga sudah... hilang. Aku adalah Gilgamesh."

"Gilgamesh?"

ulang Lyra, rasa takut murni menjalar di Mananya. Nama itu terasa berat dan kuno, berbau sihir yang salah.

"Archmage Darah yang disempurnakan. Alat yang sempurna,"

jawab Gilgamesh.

"Aku telah diperbaiki, Elara. Dan sekarang, aku menjalankan perintah. Aku adalah benteng yang tidak bisa ditembus. Aku akan menjamin keamanan dirimu. Dan aku akan mengawasi semua yang kau lakukan. Untuk tuanku."

"Tuanku?"

tanya Lyra, Mana Ruang-Waktunya mulai bergolak, siap untuk diluncurkan.

"Siapa tuanmu, Gilga? Jawab aku!"

Gilgamesh menatap Lyra, dan untuk pertama kalinya, ada kilatan sadisme yang dingin di mata merahnya.

"Tuanku adalah orang yang memberiku Gulungan Sihir Jiwa. Orang yang memberiku kontrol penuh atas diriku. Orang yang menjamin bahwa aku akan selalu berada di sisimu, mengawasimu."

Lyra mengerti. "Valerius," desis Lyra.

Gilgamesh hanya tersenyum.

Kereta kuda tiba di Lapangan Utama Akademi. Ratusan murid dan staf berkumpul. Di podium darurat, Kepala Sekolah Solosa Mercury berdiri, wajahnya tegang dan muram.

"Perhatian!"

seru Solosa, suaranya bergaung.

"Atas nama Akademi Elorick dan Kerajaan Elemendorf, saya memohon maaf atas serangan mengerikan ini. Kami meyakinkan Anda, serangan ini adalah deklarasi perang terhadap kedamaian kita. Kami akan menemukan Archmage pengecut di luar tembok kita yang berani menyerang wilayah suci ini!"

Lyra turun dari kereta. Dia melihat Solosa, lalu memandang Gilgamesh yang turun di belakangnya.

Gilgamesh maju selangkah ke arah Lyra.

"Lihat, Elara,"

bisik Gilgamesh, suaranya dipenuhi nada kemenangan yang dingin.

"Mereka semua mencari musuh di luar tembok. Padahal, bentengmu ini telah kembali. Bentengmu akan menghancurkan semuanya."

Lyra merasakan Mana Darah yang dingin memancar dari Gilgamesh. Dia menatap Gilgamesh dengan tatapan membunuh.

"Kau tidak akan menyentuh siapa pun,"

desis Lyra.

Gilgamesh mengangkat tangan kanannya. Lyra melihatnya.

Di punggung tangan Gilgamesh, tepat di dekat pergelangan tangannya, ada tato sihir jiwa yang mengkilap dan bersinar dengan cahaya merah gelap yang menjijikkan. Rune-rune kuno itu berdenyut, menunjukkan bahwa Mana Darah Gilgamesh sepenuhnya terikat pada Gulungan Sihir Jiwa.

Lyra menatap tato itu, lalu dengan ngeri, dia menyadari sesuatu.

"Tidak mungkin,"

bisik Lyra, matanya melebar karena terkejut yang murni.

Lyra mendongak ke atas, melampaui kerumunan, melewati podium tempat Solosa Mercury berpidato, dan melihat ke langit.

Di atas mereka, di langit senja Akademi yang tenang, ratusan Proyektil Darah Tajam melayang, diresapi dengan Mana Primal Darah yang mematikan. Proyektil itu, yang diciptakan oleh Gilgamesh, Archmage Darah, kini siap menghujam ke bawah, mengincar kerumunan, Solosa Mercury, dan seluruh Akademi Elorick.

"Gilga! JANGAN!"

teriak Lyra, suara teriakan yang penuh keputusasaan.

Gilgamesh hanya tersenyum dingin.

"Perintah tuanku adalah menciptakan kekacauan sempurna, Elara. Dan kau... kau akan menyaksikan kehancuran bentengmu."

Lyra tahu dia tidak punya waktu untuk berduel dengan Gilgamesh. Satu-satunya prioritasnya adalah kerumunan.

Lyra berlari ke arah kerumunan, Mana Ruang-Waktunya meledak, siap mengaktifkan Distorsi Spasial terbesar yang pernah ia coba, mencoba melipat ruang di atas kerumunan untuk mengalihkan proyektil-proyektil Darah yang mematikan itu.

WHOOSH!

Lyra berlari. Tapi ratusan proyektil Darah di atas kepala mereka sudah melesat.

Terlambat.

Suara kayu beradu bergema di halaman Kastil Astrea. Gilga Von Rabiot, anak laki-laki dengan rambut biru tua dan mata merah yang polos, sedang berlatih duel pedang kayu dengan Merbrit, salah satu pelayan sekaligus penjaga Lyra Elara Von Astrea.

Gilga, yang masih sangat payah dalam berpedang, mengayunkan pedang kayunya dengan kikuk. Gerakannya mudah diprediksi.

Merbrit, yang ahli dalam ilmu pedang dasar dan pertahanan, dengan mudah menangkis serangan Gilga, lalu membalas dengan sentuhan cepat di sisi tubuh Gilga.

BUGH!

Gilga jatuh ke tanah, terengah-engah. Ia belum menguasai Mana-nya, dan staminanya cepat terkuras oleh latihan fisik yang berat.

"Lagi, Tuan Gilga,"

kata Merbrit, nadanya dingin dan formal, tanpa memberikan bantuan.

Gilga bangkit, membersihkan debu dari pakaiannya.

"Aku... aku tidak mengerti. Aku sudah mencoba postur yang Lyra ajarkan. Kenapa aku tidak bisa secepat dia?"

Merbrit menyilangkan kedua pedang kayu di depannya. Matanya menatap Gilga dengan tatapan yang tajam, seperti komandan yang sedang menguji seorang prajurit.

"Karena Nona Lyra tidak hanya berlatih dengan tubuhnya, Tuan Gilga. Dia berlatih dengan jiwanya. Dia memiliki kehendak yang jelas."

Merbrit mencondongkan tubuh sedikit, menurunkan suaranya menjadi provokasi yang tajam.

"Tuan Gilga, kau adalah anak dari bangsawan tinggi. Mana Darahmu adalah anugerah terkuat di Kerajaan ini. Tetapi jika kau tidak bisa mengayunkan sepotong kayu dengan benar, apa gunanya kekuatanmu itu?"

Gilga mengepalkan tangannya.

"Aku akan menjadi bentengnya! Aku sudah janji pada Lyra!"

"Benteng?"

Merbrit tertawa kecil, tawa yang tidak mengandung humor.

"Seorang benteng yang sempurna tidak akan mudah goyah, Tuan Gilga. Seorang benteng tidak akan jatuh karena sepotong kayu."

Merbrit mengayunkan pedang kayunya dan menunjuk ke Gilga.

"Nona Lyra adalah takdir yang tinggi. Dia adalah putri dari Raja dan Ratu Elemendorf. Dia adalah pewaris Archmage Ruang-Waktu. Semua orang menginginkannya untuk aliansi, untuk tahta."

Merbrit melangkah mendekat, memaksa Gilga mundur selangkah.

"Jika kau ingin berada di sisi Putri Lyra, Tuan Gilga, kau tidak cukup hanya dengan 'janji' dan 'perasaan polos'. Kau harus menjadi kekuatan yang tak terbantahkan."

Merbrit menunjuk ke dirinya sendiri.

"Aku bisa melindunginya dengan pedangku dan kesetiaanku. Dewa Pedang sendiri yang melindunginya. Nona Lyra tidak kekurangan penjaga."

"Kau harus membuktikan, Tuan Gilga, bahwa kau adalah yang paling dibutuhkan oleh Nona Lyra. Jika kau ingin menjadi pasangannya, bukan sekadar teman bermainnya, kau harus menjadi yang terkuat."

"Jika kau gagal mengendalikan Mana Darahmu, kau akan dihancurkan. Jika kau gagal menguasai pedang, kau akan ditinggalkan. Dan jika kau tidak cukup kuat, maka kau akan menjadi kelemahan Lyra, bukan bentengnya."

Kata-kata Merbrit menghantam Gilga lebih dalam daripada pukulan pedang kayu. Mata merah Gilga yang polos kini dipenuhi nyala api yang baru, bukan amarah, tetapi tekad yang keras.

Gilga tidak menyangkal. Dia tidak membalas. Dia hanya mengambil pedang kayunya yang jatuh, berdiri tegak, dan mengatur napasnya.

"Lagi, Merbrit,"

pinta Gilga, suaranya kecil tapi kini dipenuhi ketetapan hati yang baru.

"Lagi. Sampai aku tidak jatuh lagi."

Merbrit tersenyum tipis, kali ini senyum yang puas. Provokasinya berhasil. Dia mengangkat pedang kayunya, siap untuk melanjutkan pelatihan yang brutal.

"Baik, Tuan Gilga. Demi Nona Lyra, mari kita mulai."

1
Anonymous
ceritanya wahhh, sih. cuma kayaknya penulisan nya bisa lebih emosional lagi
Anonymous
gila plot twist nya
Moge
episode 4 udah mulai seru jir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!