Erlin, gadis mandiri yang hobi bekerja di bengkel mobil, tiba-tiba harus menikah dengan Ustadz Abimanyu pengusaha muda pemilik pesantren yang sudah beristri.
Pernikahan itu membuatnya terjebak dalam konflik batin, kecemburuan, dan tuntutan peran yang jauh dari dunia yang ia cintai. Di tengah tekanan rumah tangga dan lingkungan yang tak selalu ramah, Erlin berjuang menemukan jati diri, hingga rasa frustasi mulai menguji keteguhannya: tetap bertahan demi cinta dan tanggung jawab, atau melepaskan demi kebebasan dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Dokter masuk ke ruang perawatan dan memeriksa keadaan Erlin.
"Siapa nama kamu?" tanya dokter.
"Erlin,"
"Kamu mengenal mereka?"
"Abi, Umi, Billy dan mereka berdua aku tidak kenal." jawab Erlin.
Abimanyu dan Kyai Abdullah saling pandang mendengar jawaban dari Erlin yang tidak mengenalnya.
Abi Husein mendekat ke arah putrinya dan mengatakan kalau Abimanyu suaminya.
"Bi, dia berbohong. Erlin dulu pernah membohonginya kita dengan berpura-pura amnesia." ucap Abimanyu.
"Aku tidak berbohong! Aku memang tidak mengenal kamu!"
Billy yang mendengarnya meminta Abimanyu untuk tenang.
"Dasar lelaki aneh! Siapa sih dia itu?" ucap Erlin dengan tatapan kebencian melihat Abimanyu.
Abimanyu tertegun mendengar kata-kata tajam dari mulut istrinya sendiri.
Wajahnya memucat, matanya bergetar menahan luka.
“Lin, ini aku, Abi. Suamimu. Bagaimana mungkin kamu bilang aku orang aneh?” suaranya bergetar, hampir pecah.
Erlin menoleh ke arah lain, menolak menatap Abimanyu.
Tatapannya tajam, penuh penolakan, seakan sosok yang dihadapinya adalah orang asing yang mengganggunya.
Kyai Abdullah maju selangkah, berdiri di samping ranjang Erlin.
“Anakku, tenangkan hatimu. Jangan terburu-buru menolak. Ingatanmu mungkin belum sepenuhnya kembali setelah kejang. Itu bisa membuatmu merasa asing dengan orang-orang terdekatmu."
Erlin meminta Abi Husein untuk mengusir Abimanyu dari ruang perawatan.
Abi Husein tersentak mendengar permintaan putrinya.
Ia menatap Abimanyu yang berdiri kaku, wajahnya pucat pasi, lalu kembali menoleh ke arah Erlin.
“Lin, kenapa kamu bicara begitu? Abimanyu itu suamimu, Nak. Dia yang selama ini menjaga kamu, yang paling khawatir saat kamu sakit.” ucap Abi Husein dengan suara bergetar.
Namun Erlin justru menutup telinganya dengan kedua tangan, air mata menetes dari sudut matanya.
“Tidak! Aku tidak mengenalnya! Aku merasa tertekan kalau dia ada di sini! Abi, tolong usir dia…”
Abimanyu melangkah mundur, dadanya naik turun, seolah udara yang ia hirup terlalu berat.
Ia menggenggam kedua tangannya erat, berusaha menahan sakit yang seperti menyesakkan jantungnya.
“Ya Allah, istriku sendiri menolakku,” lirihnya hampir tak terdengar.
“Bi, tenang dulu. Jangan dipaksa. Kalau memang ini efek trauma, butuh waktu buat Erlin bisa menerima kenyataan lagi.”
Kyai Abdullah menghela napas panjang, lalu menatap putranya dalam-dalam.
“Abimanyu, sementara waktu ikuti saja keinginannya. Kalau Erlin merasa tertekan, kondisinya bisa semakin parah. Keluar dulu, Nak. Bukan berarti kamu menyerah, tapi beri dia ruang agar hatinya tidak semakin terguncang.”
Abimanyu menoleh ke arah ranjang, menatap Erlin yang kini membenamkan wajahnya di bantal, tubuhnya gemetar menolak keberadaannya.
Hatinya remuk, tapi ia tahu memaksa hanya akan melukai lebih dalam.
Dengan langkah berat, ia bergerak menuju pintu keluar.
Sebelum keluar, ia berhenti sejenak, menatap sosok istrinya dari kejauhan.
“Lin, meskipun kamu bilang tidak kenal aku, meskipun kamu menganggap aku orang asing. Abi tetap akan menunggu kamu dan aku tidak akan pergi. Sampai kapanpun, kamu tetap istriku, dan aku tetap suamimu.”
Air mata Abimanyu jatuh saat ia melangkah keluar.
Erlin menutup matanya rapat-rapat, berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup kencang.
Ia tampak ketakutan, namun di balik ketakutannya ada sekilas perasaan asing yang sulit ia pahami seakan hatinya mengenal suara tangis lelaki itu, meski kepalanya menolak.
Di luar ruang perawatan, Abimanyu bersandar pada dinding, menutup wajah dengan kedua tangannya.
Kyai Abdullah dan Abi Husein berdiri di sampingnya, menatap dengan iba.
“Bersabarlah, Nak. Ini ujian besar. InsyaAllah kebenaran dan cinta tidak akan kalah oleh tipu daya setan,” ucap Kyai Abdullah pelan.
Abimanyu hanya mengangguk, tapi air matanya terus jatuh tanpa bisa ia tahan.
Sementara itu di ruang perawatan, Abi Husein mengambil ponselnya dan menunjukkan bahwa Erlin sudah menikah dengan Abimanyu.
"Menikah? Dengan lelaki itu? Abi, kenapa aku bisa menikah dengan lelaki seperti itu?"
Abi Husein tercekat, hatinya terasa tertusuk oleh kalimat putrinya.
Namun ia berusaha tetap sabar, menatap Erlin dengan mata berkaca-kaca.
“Lin, jangan bicara seperti itu. Abimanyu bukan lelaki sembarangan. Dia orang yang Allah titipkan untuk menjaga kamu. Ingat, Lin, dia yang selalu di sampingmu di saat kamu sakit. Dan sekarang kamu sedang mengandung anaknya." ucap Abi Husein.
Abi Husein menggenggam tangan putrinya erat, mencoba menyalurkan kekuatan lewat sentuhannya.
“Anakku, dengarkan baik-baik. Kamu mungkin lupa wajahnya, lupa ceritanya. Tapi hati kecilmu tidak akan bisa berbohong. Abimanyu itu suamimu, lelaki yang paling mencintaimu, bahkan lebih dari dirinya sendiri.”
Erlin menatap Abi Husein dengan mata berkaca-kaca, masih ada kebingungan, masih ada penolakan.
“Tapi Abi, kenapa aku tidak merasa mengenalnya? Kenapa setiap aku melihat dia, hatiku malah terasa sakit. Aku sangat membencinya, Abi."
Abi Husein menarik napas panjang, menatap putrinya dengan tatapan penuh kasih meski hatinya ikut perih.
“Lin, itu bukan kebencianmu, Nak. Itu luka yang membuat hatimu bingung antara ingatan dan perasaan. Ingat, fitnah bisa membuat hati berbalik arah, membuatmu melihat suamimu sendiri seakan musuh.”
Abi Husein bangkit dari duduknya dan ia mengajak Ibu Mina untuk pulang.
"Abi, Ibu. Kalian mau kemana?" tanya Erlin.
"Abi sama Ibu mau pulang. Biar kamu dijaga sama suami kamu." jawab Abi Husein.
Erlin menggelengkan kepalanya dan meminta mereka untuk tidak pulang.
Abi Husein membuka pintu dan memanggil Abimanyu.
"Bi, sekarang tugas kamu untuk menjaga Erlin. Abi sama Ibu mau pulang dulu." pamit mereka berdua.
Kyai Abdullah dan Billy juga berpamitan dengan Abimanyu dan Erlin.
"Bil, jangan pulang. Temani aku disini." pinta Erlin.
"Waduh, jangan Lin. Nanti ada fitnah lagi dan suami kamu menghajar aku lagi." ucap Billy sambil tersenyum tipis.
Mereka berempat keluar dari ruang perawatan dan meninggalkan mereka berdua.
Erlin melihat Abimanyu yang mengambil kursi dan duduk di samping tempat tidurnya.
"Mau apa lagi kamu? Jangan lihat aku seperti itu!" ucap Erlin yang kemudian membalikkan tubuhnya menghadap kearah tembok.
Abimanyu menghela nafas panjang saat mendengar perkataan dari istrinya.
"Lin, aku tahu kamu masih marah karena aku menuduhmu berbuat seperti itu bersama Billy. Maafkan aku, Lin."
Erlin menutup matanya dan berpura-pura tidur, agar Abimanyu tidak berbicara dengannya.
Abimanyu menatap wajah istrinya yang berpaling ke arah tembok.
Ia tahu Erlin hanya berpura-pura tidur, napasnya masih terlalu cepat untuk disebut lelap. Namun ia tidak tega memaksanya bicara.
Dengan perlahan, Abimanyu menggenggam ujung selimut yang menutupi tubuh Erlin, merapikannya agar lebih hangat.
“Lin, meskipun kamu bilang tidak kenal aku, meskipun kamu membenciku sekarang, aku akan tetap di sini. Aku akan jadi orang pertama yang kamu lihat ketika membuka mata, dan orang terakhir yang menjaga kamu sampai tertidur lagi.” suaranya lirih, nyaris bergetar.
Air mata jatuh di pipinya, namun ia cepat menyekanya agar Erlin tidak melihat. Ia tak ingin menambah beban perasaan istrinya yang sedang terluka.
Di sisi lain, Erlin memejamkan mata lebih erat. Hatinya bergejolak hebat.
Ada bagian dalam dirinya yang ingin menolak, tapi ada pula bisikan halus yang membuat jantungnya berdebar setiap kali mendengar suara Abimanyu.
Abimanyu menundukkan kepala di samping ranjang, kedua tangannya terlipat, kepalanya bersandar di tepi kasur.
“Aku nggak akan kemana-mana, Lin. Tidurlah, aku akan tetap di sini. InsyaAllah, sampai kamu kembali mengenaliku.”