Mulia adalah seorang wanita sukses dalam karir bekerja di sebuah perusahaan swasta milik sahabatnya, Satria. Mulia diam-diam menaruh hati pada Satria namun sayang ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Tiba-tiba Mulia mengetahui bahwa ia sudah dijodohkan dengan Ikhsan, pria yang juga teman saat SMA-nya dulu. Kartika, ibu dari Ikhsan sudah membantu membiayai biaya pengobatan Dewi, ibu dari Mulia hingga Mulia merasa berutang budi dan setuju untuk menerima perjodohan ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebenaran yang Sesungguhnya
Suasana di aula konferensi pers Rumah Sakit Medika Sejahtera terasa tegang. Puluhan wartawan, kamera, dan mikrofon sudah siap, menunggu pernyataan dari Ikhsan. Mulia Anggraeni, yang kini mendampingi Ikhsan, duduk di barisan paling depan, hatinya berdebar. Ia tahu, hari ini adalah hari yang penting. Hari di mana Ikhsan akan membongkar kebenaran.
Ikhsan melangkah maju, berdiri di podium. Di belakangnya, tim legal rumah sakit sudah siap dengan tumpukan berkas. Ikhsan menatap para wartawan, tatapannya tegas dan penuh keyakinan.
"Selamat siang, rekan-rekan media," ujar Ikhsan, suaranya lantang. "Saya, Ikhsan Wiryawan, Direktur Rumah Sakit Medika Sejahtera, hari ini hadir di hadapan kalian untuk meluruskan fitnah keji yang beredar. Fitnah yang menuduh rumah sakit kami melakukan malpraktik dan menerima suap."
Para wartawan mulai berbisik-bisik. Ikhsan menghela napas, lalu melanjutkan.
"Semua tuduhan itu tidak benar. Kami sudah melakukan investigasi mendalam, dan kami menemukan bukti bahwa semua fitnah ini adalah rekayasa," kata Ikhsan. Ia mengambil sebuah map, menyerahkannya kepada tim legal. "Ini adalah berkas-berkas yang membuktikan bahwa rumah sakit kami tidak bersalah. Ini adalah bukti bahwa semua fitnah ini adalah bagian dari konspirasi."
Ikhsan berhenti sejenak. Ia menatap kamera, lalu menoleh ke arah Mulia. Mulia mengangguk, memberinya dukungan.
"Dan saya ingin mengungkapkan satu hal lagi," kata Ikhsan, suaranya kini lebih berat. "Fitnah ini tidak hanya menyerang rumah sakit kami. Fitnah ini juga menyerang seorang wanita yang tidak bersalah. Mulia Anggraeni."
Sontak, seluruh ruangan menjadi riuh. Nama Mulia kini disebut di hadapan publik. Mulia merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia tahu, Ikhsan akan mengungkapkan kebenaran.
"Mulia Anggraeni adalah korban," kata Ikhsan. "Dia difitnah, dihina, bahkan diserang secara brutal oleh dua orang wanita. Dua orang yang menyebarkan fitnah ini."
"Siapa mereka, Direktur?" tanya salah seorang wartawan.
"Saya tidak akan menyebut nama mereka. Tapi, saya akan menunjukkan bukti," jawab Ikhsan. Ia mengambil sebuah video dari tim legal, lalu memutarnya di layar proyektor.
Video itu menunjukkan Bu Hanim dan Dinda yang melemparkan makanan ke arah Mulia di kantin rumah sakit. Video itu juga menunjukkan Bu Hanim yang menyiram Mulia dengan air di restoran. Video itu juga menunjukkan Dinda yang menjambak rambut Mulia. Video itu, bagai bom waktu, meledak di ruangan itu. Semua wartawan terkejut. Mereka tidak menyangka, di balik fitnah itu, ada kekerasan yang brutal.
****
"Ini adalah bukti bahwa mereka tidak hanya menyebarkan fitnah," kata Ikhsan, suaranya dipenuhi amarah. "Mereka juga melakukan kekerasan. Mereka mencoba menghancurkan hidup seorang wanita yang tidak bersalah."
"Dan saya ingin mengatakan satu hal lagi," lanjut Ikhsan. "Fitnah ini adalah bagian dari rencana mereka untuk menghancurkan saya dan Mulia. Mereka mencoba memisahkan kami. Mereka mencoba menghancurkan karier saya, dan juga karier Mulia."
"Apakah Anda punya hubungan khusus dengan Mulia, Direktur?" tanya salah seorang wartawan.
Ikhsan tersenyum. Ia menatap Mulia, lalu kembali menatap wartawan. "Ya," jawabnya tegas. "Kami akan segera menikah. Mulia Anggraeni adalah calon istri saya."
Sontak, seluruh ruangan kembali riuh. Para wartawan terkejut. Berita ini, bagai petir di siang bolong. Mulia terkejut. Ia tidak menyangka Ikhsan akan mengatakannya. Ia menatap Ikhsan, matanya berkaca-kaca.
"Dan saya ingin memastikan satu hal," kata Ikhsan. "Saya akan pastikan mereka yang sudah menyakitinya, akan mendapatkan balasan yang setimpal. Saya akan pastikan mereka mendapatkan keadilan."
****
Sementara itu, di sebuah rumah mewah, Bu Hanim dan Dinda menonton konferensi pers itu dari televisi. Mereka terkejut. Wajah mereka pucat pasi.
"Tidak mungkin," Dinda berbisik. "Ikhsan... dia akan menikah dengan wanita itu?"
"Dia memfitnahku! Dia memutarbalikkan fakta!" Bu Hanim berteriak, amarahnya meluap-luap. "Dia akan menikah dengan wanita itu?! Aku tidak akan membiarkan itu terjadi!"
Bu Hanim mengambil remote, mematikan televisi. Ia menoleh ke arah Dinda, matanya penuh dendam. "Dinda, kita harus melakukan sesuatu. Kita tidak bisa membiarkan Ikhsan menang. Kita tidak bisa membiarkan wanita itu menikah dengan Ikhsan. Kita harus hancurkan mereka!"
Dinda mengangguk. Ia tahu, ibunya tidak akan pernah menyerah. Mereka akan terus berjuang, mereka akan terus melawan, mereka akan pastikan, Ikhsan dan Mulia tidak akan pernah bahagia.
****
Di balik pintu kaca ruangannya, Satria menatap layar ponselnya. Video konferensi pers yang diadakan Ikhsan memenuhi layar. Setiap kata yang keluar dari mulut Ikhsan bagai palu yang menghantam hatinya. Mulia adalah korban. Mulia difitnah. Mulia diserang. Dan yang paling menyakitkan, Mulia akan menikah dengan Ikhsan.
Jantung Satria berdegup kencang. Tangannya gemetar. Ia tidak bisa percaya. Ia merasa, ia sudah terlambat. Mulia, wanita yang ia cintai, kini akan menjadi milik pria lain. Satria merasa bodoh. Ia merasa, ia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Tidak mungkin," ia berbisik. Ia mematikan ponselnya, meletakkannya di atas meja. Pikirannya dipenuhi oleh Mulia dan Ikhsan. Ia merasa, ia telah kehilangan Mulia selamanya.
Di tengah kebimbangan itu, pintu ruangannya terbuka. Dinda muncul, mengenakan gaun yang anggun. Ia tersenyum. Senyum yang penuh arti.
"Aku sudah tahu semuanya, Satria," kata Dinda, suaranya lembut. "Aku tahu, kamu sedih karena Mulia."
Satria menatap Dinda. Ia tidak menjawab.
Dinda berjalan mendekat, duduk di kursi di hadapan Satria. "Aku tidak menyangka, Mulia akan bermain sejauh ini. Dia bahkan rela memfitnah Mama dan aku, hanya untuk mendapatkan Ikhsan," Dinda berbohong.
Satria menatap Dinda dengan curiga. "Mulia tidak memfitnah siapa pun. Dia korban di sini."
Dinda tertawa sinis. "Satria, kamu itu bodoh. Kamu tidak melihat, Mulia itu hanya memanfaatkanmu. Dia memanfaatkanmu untuk mendapatkan simpati, dan kemudian dia meninggalkanmu begitu saja. Dia tidak pernah mencintaimu."
Kata-kata Dinda menusuk hati Satria. Ia tidak bisa membantah. Ia tahu, Mulia tidak pernah mengatakan ia mencintainya. Tapi, ia juga tidak bisa percaya bahwa Mulia sejahat itu.
"Aku tahu, kamu itu orang yang baik, Satria," Dinda melanjutkan. "Kamu hanya terlalu naif. Tapi, aku di sini. Aku akan selalu ada untukmu." Dinda bangkit dari kursinya, berjalan mendekati Satria. Ia memeluk Satria dari belakang. "Kamu tidak perlu sedih lagi, Satria. Kamu punya aku."
Satria terdiam. Ia merasakan kehangatan dari pelukan Dinda. Tapi, hatinya terasa dingin.
"Aku akan membuatmu bahagia," Dinda berbisik. "Aku akan pastikan, kamu akan melupakan Mulia. Kita akan menikah, kita akan punya anak, kita akan punya hidup yang bahagia."
Satria tidak menjawab. Ia hanya bisa memikirkan Mulia. Ia memikirkan senyum Mulia, ia memikirkan tawanya, ia memikirkan semua kenangan yang mereka miliki.
"Ayo, Satria," Dinda memutar tubuh Satria, lalu mencium bibirnya. Satria terkejut. Ia tidak membalas. Ia hanya bisa diam, membiarkan Dinda melakukan apa pun yang ia mau.
"Kamu suka?" tanya Dinda, tersenyum licik.
Satria menggelengkan kepalanya. "Maaf, Dinda. Aku tidak bisa."
Dinda terkejut. "Kenapa? Kenapa tidak?"