Ia dulu adalah Hunter Rank-S terkuat Korea, pemimpin guild legendaris yang menaklukkan raid paling berbahaya, Ter Chaos. Mereka berhasil membantai seluruh Demon Lord, tapi gate keluar tak pernah muncul—ditutup oleh pengkhianatan dari luar.
Terkurung di neraka asing ribuan tahun, satu per satu rekannya gugur. Kini, hanya dia yang kembali… membawa kekuatan yang lahir dari kegelapan dan cahaya.
Dunia mengira ia sudah mati. Namun kembalinya Sang Hunter hanya berarti satu hal: bangkitnya kekuatan absolut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Udara di dalam Chaos Gate terasa begitu berat. Seolah langit neraka itu sendiri menekan mereka dengan beban ribuan gunung. Tanah retak, langit hitam bergemuruh, dan hanya ada dua manusia yang berdiri menghadapi enam Demon King yang menggila.
Jinwoo dan Takeshi.
Tubuh mereka penuh luka, napas berat, tapi mata mereka masih menyala. Sementara itu, keenam Demon King berdiri dalam formasi yang membuat bulu kuduk siapa pun meremang.
Di depan, ada satu Demon King raksasa berkulit obsidian, membawa tameng hitam raksasa—tank mereka.
Di belakangnya, berdiri sosok berjubah kelam dengan mata bercahaya ungu, tangannya penuh rune neraka—mage mereka.
Di sisi kanan, iblis bersayap hitam dengan busur panjang, anak panahnya terbuat dari api neraka—marksman.
Di kiri, dua iblis bertubuh kekar, masing-masing dengan senjata berbeda: kapak neraka dan tombak berdarah—fighter.
Dan di tengah, sedikit di belakang, ada iblis berpedang besar berwarna abyss, aura kekuatannya lebih menekan dari yang lain. Dialah commander sekaligus leader mereka.
Keenamnya bergerak, bukan sekadar liar, tapi dengan pola yang teratur, rapi, bahkan disiplin layaknya pasukan elit.
BOOM!!!
Takeshi dan Jinwoo baru saja menyelesaikan kombo tebasan mereka, menghantam langsung Demon King tank itu. Tamengnya retak, tubuhnya terdorong mundur puluhan meter, menimbulkan kawah besar.
Namun, bahkan sebelum mereka bisa bernapas, mage Demon King mengangkat tangannya. Rune ungu bersinar, mantra dilepaskan.
ZRRRNNGGG!!!
Seketika, Jinwoo dan Takeshi merasa tubuh mereka memberat. Kaki mereka seperti tertanam ke tanah, gerakan mereka melambat drastis.
“Shit! Skill slow!” desis Takeshi, mencoba mengayunkan pedangnya. Gerakannya kaku, seolah ada rantai tak kasat mata melilitnya.
Belum sempat mereka memulihkan diri, dua fighter Demon King sudah menerjang. Tombak dan kapak mereka beradu dengan pedang Jinwoo.
CLANG! CLANG!
Benturan logam menggelegar. Jinwoo menahan dua serangan sekaligus, tapi tubuhnya terdorong ke belakang. Kaki Jinwoo menyeret tanah, meninggalkan garis panjang di lantai dungeon.
Dari atas, anak panah berapi ditembakkan oleh marksman Demon King. Panah itu bukan sekadar api, tapi ledakan lava yang meledak saat menyentuh tanah.
BOOOOMMM!!!
Takeshi melompat menghindar, tapi tetap terluka di bahu. Darah segar menetes, wajahnya meringis.
“Mereka bekerjasama dengan baik… sialan!” seru Takeshi.
Matanya menatap tajam formasi musuh, napasnya memburu. “Tank di depan, mage support di belakang, marksman cover dari jauh, dua fighter jadi eksekutor… dan satu lagi itu… commander. Pola serangan mereka sempurna, seakan tidak ada celah!”
Jinwoo menangkis tombak yang menusuk ke arahnya, lalu menendang fighter itu mundur. “Untung kita sudah menebas Demon King pemanggil sebelumnya. Kalau tidak, kita sudah tenggelam oleh lautan monster.”
Takeshi hanya mendengus. “Iya, tapi tetap saja… mereka ini hampir seperti kita. Tim yang lengkap. Tank, mage, marksman, fighter, dan commander…”
Jinwoo menatap tajam ke arah Demon King yang memegang Abyss Blade. Aura kegelapan di sekitarnya berputar seperti pusaran neraka. Tatapannya dingin, penuh kebencian.
“Mereka sudah lelah kecolongan. Mereka tidak akan melakukan kesalahan lagi.” ujar Jinwoo pelan.
Demon King commander itu hanya menyeringai, seakan tahu apa yang dipikirkan Jinwoo.
Namun, bahkan sebelum mereka bisa mengambil napas, kedua fighter Demon King menyerang lagi. Serangan mereka datang bersamaan, tombak menusuk lurus, kapak melayang dari samping.
CLAAANGG!!!
Jinwoo menahan keduanya, tapi mage di belakang kembali mengeluarkan mantra.
SHRAAKK!
Rantai bayangan membelit kaki Jinwoo dan Takeshi, membuat gerakan mereka semakin terkekang.
“Takeshi!” Jinwoo menahan teriakan sambil menangkis tebasan bertubi-tubi.
“Skill ultimate-ku masih cooldown! Dua menit lagi!” balas Takeshi, frustrasi. Keringat bercucuran di wajahnya, tangan kirinya berdarah karena dipaksa menahan anak panah neraka.
Jinwoo menggertakkan gigi. Situasi ini tidak bisa dibiarkan lebih lama.
Tiba-tiba, cahaya kosmik meledak dari tubuh Jinwoo. Matanya bersinar terang, pupil galaksinya berputar lebih cepat dari sebelumnya.
“Override Mode…” bisiknya.
Aura kosmik meledak, membungkus tubuh Jinwoo. Setiap langkahnya membuat tanah retak, udara bergetar, dan kegelapan di sekitarnya terdorong mundur.
Takeshi menoleh kaget. “Senpai! Itu…!”
Jinwoo tersenyum tipis, meski wajahnya menegang. “Aku tidak punya pilihan lain.”
“Berapa lama kau bisa bertahan?” tanya Takeshi dengan nada cemas.
“Sepuluh menit.” Jinwoo mengangkat pedangnya, cahaya galaksi berputar di sekitarnya. “Tapi dalam sepuluh menit ini, aku tidak terkalahkan.”
Takeshi terdiam sejenak, napasnya tercekat. Lalu, ia menunduk dalam, menahan emosi yang bercampur antara kagum dan khawatir.
“Lalu aku?” tanyanya pelan.
“Mundurlah. Pergi ke Selene. Minta dia berikan debuff cooldown padamu. Begitu cooldown skill ultimatemu habis, incar mage itu dulu. Dia adalah kunci formasi mereka.”
Takeshi tertegun, wajahnya penuh keraguan. “Tapi Anda… melawan enam Demon King sendirian—”
Jinwoo memotong dengan suara tenang, namun penuh wibawa.
“Kuingatkan sekali lagi, dalam mode ini… aku tidak terkalahkan.”
Kata-kata itu membuat Takeshi membeku. Bukan karena keraguan, tapi karena keyakinan. Itu bukan sekadar pernyataan kosong—itu adalah janji.
Jinwoo melangkah maju. Aura kosmiknya meledak, membelah kegelapan. Keenam Demon King yang tadi terlihat menakutkan kini justru tampak menahan diri, bahkan sedikit mundur, seolah naluri mereka memberi peringatan.
Jinwoo menatap mereka satu per satu, pupil galaksinya berputar semakin cepat. “Sekarang giliran kita yang menekan.”
BOOOMM!!!
Dalam sekejap, tubuh Jinwoo lenyap. Sebuah cahaya kosmik membelah arena.
Suara logam beradu bergema keras, percikan energi kosmik berloncatan dari setiap tebasan Jinwoo. Kedua Fighter Demon King yang berdiri menghadang di depannya bergerak bagaikan bayangan kembar, serangan mereka begitu cepat dan berat hingga tanah di bawah retak setiap kali langkah mereka mendarat.
Namun Jinwoo, meski hanya satu orang, tidak pernah goyah. Tatapannya dingin, penuh fokus. Nafasnya teratur meski tubuhnya sudah ditutupi goresan luka dan darah.
Tebasan pertamanya menghantam kapak salah satu demon king. Dentumannya mengguncang udara. Demon king lain langsung menusukkan tombak gelapnya dari samping, tapi Jinwoo memutar pedangnya dan memblokir dengan presisi yang nyaris mustahil.
"Beraninya kau—!" raung demon king bertombak, tapi suaranya terputus saat Jinwoo menekannya mundur.
Langkah Jinwoo semakin cepat, setiap gerakan penuh ketegasan. Irama pertarungan mulai terguncang, bukan dari pihaknya, melainkan dari musuhnya. Sang demon king bertombak, yang awalnya agresif, mulai kehilangan tempo. Tebasannya jadi tidak sinkron dengan rekannya.
Momen itu tidak luput dari mata Jinwoo.
Tepat sekarang!
Dalam sekejap, pedang kosmiknya berkilau terang. Jinwoo berputar, gerakan cepat bagai kilatan bulan sabit. Slash! Darah hitam pekat menyembur ke udara. Demon king bertombak terhuyung, matanya membelalak tak percaya, lalu tubuhnya terbelah oleh cahaya yang menelan segalanya.
"ARRRGHHH!" jerit terakhirnya mengguncang langit.
Kejadian itu membuat demon king lain mengamuk. Aura mereka semakin menggila, udara bergetar, medan perang seakan runtuh oleh tekanan mereka.
"KAU MANUSIA RENDAHAN!!!" bentak salah satu demon king. Mereka serempak mengaktifkan skill terkuat mereka. Pilar energi, sayap bayangan, dan kabut neraka menyerbu Jinwoo dari segala arah.
Namun di saat mereka mengira sudah memojokkan Jinwoo, sosok itu... menghilang.
“M-Mana dia?!” salah satu dari mereka panik.
Tiba-tiba, suara dingin terdengar di atas mereka.
“Waktunya mati… pemanah sialan.”
Mata sang Archer Demon King membelalak. Ia melayang tinggi, yakin dirinya aman dengan barisan demon king lain yang melindungi. Tapi Jinwoo muncul tepat di depannya, seolah menembus jarak dan ruang.
Tebasan pedangnya melesat. Tidak cepat, tapi begitu presisi. Pemanah itu berteriak kesakitan, cahaya kosmik menelan tubuhnya. Panah yang tak pernah meleset kini hancur bersama pemiliknya, terhapus dari dunia.
"Sisa dua tebasan..." gumam Jinwoo pelan, napasnya berat tapi matanya tetap tajam.
Namun kemenangan singkat itu segera sirna.
Sekelilingnya mendadak berdiri puluhan pilar raksasa dengan ukiran sihir kuno. Suara retakan dimensi terdengar saat si Mage Demon King mengangkat tangannya tinggi.
"Terkurunglah, manusia congkak."
Dari pilar-pilar itu, ratusan tombak belenggu bercahaya merah pekat muncul dan menembakkan diri ke arah Jinwoo.
"Apa—!" Jinwoo menyilangkan pedangnya, mencoba menahan, tapi serangan datang dari segala arah. Tombak-tombak itu menusuk bahunya, kakinya, dan akhirnya satu menembus perutnya.
“KUAGHHH!” darah segar memancar dari mulutnya. Tubuhnya terpental, membentur tanah keras.
Belum sempat ia bangkit, demon king bertombak melesat ke arahnya. "MATILAH!" Tombaknya menusuk tepat ke perut Jinwoo yang sudah terluka.
Pedang kosmiknya terguncang dari genggaman. Dunia berputar. Napasnya terhenti sesaat. Sial... aku masih harus bertahan..
Lalu Demon King yang memegang kapak bersiap menghancurkan Jinwoo.
Namun sebelum serangan berikutnya jatuh, sesuatu terjadi.
Suara ledakan api yang menggelegar memecah udara.
"ARRRRGHHH!" teriak demon king kapak ketika lengan kirinya terbakar api berwarna emas kemerahan. Api itu berbeda—ia bukan api biasa, melainkan Api Nirvana, api yang tidak pernah padam.
“Tidak! Aku… harus—” Dengan wajah terdistorsi oleh rasa sakit, demon king itu terpaksa menebas lengannya sendiri untuk menghentikan api yang melahap tubuhnya.
Jinwoo mendongak, terengah, dan melihat cahaya api yang begitu familiar.
Di atas langit, tubuh naga raksasa bersisik keemasan melayang megah, matanya menyala seperti dua bintang neraka. Leonard.
“Biarkan aku membantumu, Pemimpin!” suara Leonard mengguncang medan perang.
Di punggung naga itu, sosok samurai berdiri dengan tenang. Mata hitamnya berkilat dingin, pedang di tangannya siap dihunus. Takeshi.
“Senpai… aku sudah pulih dan akan menutup celah. menyisakan yang terakhir untukmu,” ucap Takeshi datar, tapi tatapannya penuh hormat.
Jinwoo terdiam sesaat, dadanya terasa sesak, bukan hanya karena luka, tapi juga karena rasa lega.
Lalu dari kejauhan, sinar lembut menembus tubuhnya. Luka-lukanya mulai menutup, rasa sakit perlahan mereda. Ia menoleh, dan melihat Selene berdiri dengan tangan terangkat, cahaya ilahi memancar dari tubuhnya. Matanya penuh keyakinan.
“Kau tidak sendiri, Jinwoo. Jangan keras kepala, aku tidak ingin kehilangan dirimu.”