“Tolong cabut paku di kepala kami! Tolong! Argh sakit!”
“Tolong aku! Paku ini menusuk otak hingga menembus batang tenggorokan ku! Tolong!”
Laila baru saja dimutasi ke wilayah pelosok. Dia menempati rumah dinas bekas bidan Juleha.
Belum ada dua puluh empat jam, hal aneh sudah menghampiri – membuat bulu kuduk merinding, dan dirinya kesulitan tidur.
Rintihan kesakitan menghantuinya, meminta tolong. Bukan cuma satu suara, tetapi beriringan.
Laila ketakutan, namun rasa penasarannya membumbung tinggi, dan suara itu mengoyak jiwa sosialnya.
Apa yang akan dilakukan oleh Laila? Memilih mengabaikan, atau maju mengungkap tabir misterius?
Siapa sebenarnya sosok bidan Laila?
Tanpa Laila tahu, sesungguhnya sesuatu mengerikan – menantinya di ujung jalan.
***
Instagram Author ~ Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolong : 26
"Tolong bantu aku mempersiapkan alat menyelam! Secepatnya!" Laila meradang, hatinya ikut sakit, tersayat, saat menyaksikan pembantaian sadis itu.
Kini dirinya sudah memutuskan untuk tidak lagi ragu-ragu, setengah hati, tapi terjun langsung. Apapun rintangan, bahayanya, akan dia hadang serta lalui.
Pramudya memimpin jalan keluar dari gua, tapi tidak lewat depan – melainkan bagian belakang, yang berhasil membuat seorang Laila berdecak.
“Mengapa tak ada yang bilang kalau ada susunan tangga disini. Tahu gitu, tak payah aku turun seperti seekor Monyet bergelantungan di akar kuat,” cebiknya.
“Hati-hati!” Ida menahan tangan Laila saat hampir kehilangan keseimbangan, dikarenakan kakinya terpeleset.
“Tak apa Kak Ida, kakiku masih berkenalan dengan tangga tak ramah lingkungan ini,” gerutunya.
Seraya menuruni anak tangga, Laila melontarkan kata-kata bernada lembut. “Juragan Pram, Anda kan kaya raya, masa mengecor tangga seperti ini saja enggan. Lagian situ kan seorang duda tanpa memiliki ahli waris, mau buat apa coba uangnya? Masa ikut di pendam. Seharusnya disedekahkan biar kuburannya nanti tak sempit.”
Pramudya menganggap suara Laila bagaikan nyanyian burung Kutilang, jelek tak bernada.
‘Kukira di dunia ini cuma ada si buta dari gua hantu, ternyata ada kembarannya – si bisu dari gua batu,’ sungutnya dalam hati.
‘Saya kira di muka bumi ini yang paling cerewet cuma kawanan Kera – tak tahunya ada sama persis, cuma wujudnya manusia,’ balas Pramudya.
Laila senyum-senyum sendiri. Jenis senyuman mengandung rencana licik.
.
.
“Karsa, apa rencanamu ingin mengadakan sunatan massal, berjalan lancar?” tanya pria berkemeja polos abu-abu, bahu kekar, tubuh tegap, seolah usia 65 tahun hanya angka saja.
Karsa memandang sungkan ayah mertuanya. “Sedang diusahakan, Pak. Kemungkinan kali ini juga akan mendapatkan kesulitan – Pramudya kembali menyiarkan kabar burung lewat orang kepercayaannya, Santo. Belum apa-apa sudah santer dibahas kalau dia ingin memberikan hadiah kepada pemilik weton Jumat Kliwon.”
Suryo mendengus muak. Kalau di luar wilayah pemujaan, dia dikenal sebagai Mbah Suryo. Dukun sakti nan dermawan, suka mengobati orang tanpa mau dibayar.
Oleh sebab itu, sosoknya sangat disegani – jarang ada orang yang secara terang-terangan membahas tentangnya. Seolah keberadaan Mbah Suryo itu suci, wajib dijaga kemurniannya. Tak boleh sembarangan disebut apalagi gunjingkan.
“Anak bodoh itu semakin menantang diriku. Ha ha ha,” tawanya amatlah keras, sampai bulu kumisnya bergetar.
“Masihkah kau belum menemukan di mana dia menyembunyikan para remaja calon tumbal kita?” tanyanya kemudian sembari menatap barisan pohon Merbau dari teras belakang hunian gubuk.
“Belum, Pak. Kemungkinan besar bukan di kota provinsi, tapi luar provinsi,” imbuh Karsa.
Brak!
Alas gelas kopi sampai terpelanting saat meja terbuat dari anyaman bambu di tinju. “Menyesal aku mengapa dulu tak sekalian melenyapkan nyawanya, biar sama-sama mati bersama wanita sok suci itu!”
Yang Suryo maksud adalah almarhumah istrinya sendiri, ibunya Pramudya.
“Damini apa masih belum ada menunjukkan tanda-tanda kesembuhan?” tanyanya geram.
“Sudah banyak perkembangannya, Pak. Mulai bisa berjalan, walaupun masih dibantu perawat,” ujar Karsa.
“Menyusahkan dan menghabiskan uang saja! Andai aku tak terikat janji dengan almarhum Kakeknya yang menurunkan ilmu Rawa Rontek ini, sudah ku kubur hidup-hidup dia!” amarah masih menguasai Suryo. Dia terikat janji jiwa dengan orang yang sudah meninggal.
Almarhumah kakeknya Damini, melakukan perjanjian gaib dengan Karsa. Mengikat kedua jiwa dengan pertukaran darah.
Suryo dipantangkan membunuh Damini dengan cara apapun itu – bila melanggar, maka ilmu Rawa Rontek nya luntur sudah.
Maka dari itu anak tiri Suryo, titipan mendiang sang istri – selalu diperlakukan istimewa. Bukan karena kasih sayang, melainkan paksaan atas lungsuran ilmu sakti sehingga membuatnya kebal, sulit mati, sekalipun dicincang anggota tubuhnya.
“Seandainya saja Joyo tidak menurunkan semua ilmunya kepada Pramudya, sangat mudah bagiku membunuh si Tolol itu! Agar kita bisa mencuri jasad Nilam.” Tangannya menggenggam erat cangkir kopi, matanya memerah penuh kebencian.
Karsa mengangguk. Hal paling dia benci yakni, harus berpura-pura baik dihadapan Pramudya. Aslinya hatinya membenci, dan berambisi ingin menghabisi – agar dirinya menjadi si paling kaya di kelurahan Sumberejo.
“Patmi si tua bangka itu kapan matinya? Bukan berteman dengan para Cacing pemakan bangkai di dalam kubur, malah sibuk memperbanyak susuk agar terlihat tetap perkasa kendatipun sudah bau tanah,” cibir Suryo.
Ada beberapa hal yang sulit ditembus oleh Suryo – membunuh darah dagingnya sendiri. Melenyapkan anak tiri. Menembus perlindungan hunian Pramudya – duda ditinggal mati itu, mengerahkan seluruh kemampuannya, memasang perisai tebal agar tidak ada satupun kekuatan magis dapat menyelinap ke wilayah kekuasaannya.
Makanya, jin Kampret milik Laila – tidak bereaksi saat memasuki wilayah hunian jauh dari pemukiman warga.
“Mbah, sepertinya saya kembali ingin memiliki seseorang. Dia sangat menarik, bukan cuma fisik, tetapi aura manis melekat pada dirinya. Membuat darah panas saya kian menggebu-gebu berambisi memilikinya,” tiba-tiba Abdul menyeletuk setelah sedari tadi cuma menjadi pendengar.
“Siapa, Le? Kalau modelan si Juleha yang sama sekali tak ada keistimewaannya, cuma cantik rupa – mending kau perkosa, nikmati tubuhnya, bila sudah bosan, langsung lenyapkan! Supaya tak menyusahkan dikemudian hari,” ucapnya ringan. Seakan nyawa manusia disamakan dengan seekor Lalat.
"Laila namanya, Mbah. Dia mirip Juleha, tapi ini lebih menarik dikarenakan mulutnya ceplas-ceplos kalau berbicara. Auranya tegas, sosoknya berani menantang Gundik ku si Sujar," wajah Abdul terlihat sumringah kala menceritakan wanita yang dia sukai.
"Namun, statusnya seorang janda ditinggal mati, Pak. Apa tak mengapa?" Karsa ikut bertanya.
"Kalau janda kaya, memiliki kedudukan tinggi. Orang tuanya disegani, serta berharta. Dia pantas menjadi cucu menantuku. Akan tetapi jika cuma janda miskin, lemah, mengharap belas kasih – dia hanya layak dijadikan alat pemuas nafsu." Seringainya terlihat keji.
"Kau selidiki dulu latar belakangnya. Jangan gegabah macam tempo dulu! Menyukai gadis miskin, tapi kesombongannya menyentuh lapisan awan. Berani sekali dia menolak cucu dukun sakti Suryo, setelah matipun masih tak tahu diri! Arwahnya sulit dikendalikan," Suryo selalu dibuat kesal oleh ruh Juleha.
Arwah bidan Juleha, sering dimanfaatkan untuk menakuti pengikut dukun Suryo – agar tetap tunduk. Namun, sosok baik hati semasa hidup itu, tak begitu saja menurut. Harus disiksa dulu baru mau menjalankan perintah dengan benar.
"Baik, Mbah. Mulai sekarang saya akan mencari tahu semua hal tentang Laila," Abdul berkata yakin.
Ada yang luput dari pandangan mata mereka yakni, Laila masih perawan, weton aslinya belum terendus. Para tenaga medis puskesmas dan perangkat kelurahan, hanya tahu kalau janda kembang itu memiliki weton pahing. Sesuai tertera pada tanggal lahir di kartu identitasnya, yang sebenarnya palsu demi melindungi cicitnya Mbah Ngatemi.
***
Tiga hari sudah Laila kembali beraktivitas seperti biasa. Sekarang dia mulai berhati-hati dalam bertutur kata, bersikap dihadapan suster Sujar dan juga Ranti.
'Menyebalkan sekali harus beramah tamah dengan manusia durjana itu! Huh ... Rasanya tanganku gatal, ingin menyuntikkan racun ke dalam aliran darah mereka,' batinnya terus menggerutu, mengeluh. Sebuah pelampiasan kala dia merasa tidak berdaya disaat hatinya dipenuhi kebencian.
Pram sedikit membanting kardus besar di atas meja etalase kayu warungnya. "Periksalah, sudah lengkap belum."
"Apa ini? Gaun pengantin kah? Apa sekarang Anda ingin menikahi saya? Cuma karena tak lama lagi raga ini berbagi dengan jiwa Nilam, betulkah ...?"
.
.
Bersambung.
iya kah?
tapi kalau g dibaca malah penasaran
Smoga Fram dan Laila jodoh ya. 😆
di tunggu kelanjutan intan paok ya ka