NovelToon NovelToon
LUCIANA ALEXANDER

LUCIANA ALEXANDER

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Vampir
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: prel

"... selama aku masih berada didunia ini aku akan terus berusaha menjaga Luciana."

Perkataannya mengejutkanku. Selama dia masih berada didunia ini? Dia adalah seorang vampire yang hidup abadi, apakah itu berarti dia akan menjagaku selamanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon prel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 33: Luciana

Seseorang mengetuk pintu saat aku sedang bersantai di dalam kamar. Aku membukanya dan ternyata itu adalah Lizi, dia sedikit ter-engah.

"Miss, master Stefan terluka",

Sedikit terkejut dengan perkataan Lizi tapi aku masih menunggunya untuk melanjutkan.

"Tolong anda segera mengobati master Stefan miss", pinta Lizi

Dua hari yang lalu Stefan pergi ke perbatasan bersama William. Eve yang sudah berangkat terlebih dulu sempat mengirim surat, dia berkata bahwa ada beberapa prajurit manusia yang mencoba menyusup.

Kemungkinan besar, mereka menyusup ingin mencari kebenaran tentang kematian nenek. Meskipun mereka tidak memiliki bukti bahwa kamilah penyebabnya, tapi mereka sangat yakin.

Tapi memang benar kamilah penyebabnya.

"Tenanglah Lizi", aku memegang pundaknya, "Sekarang bantu aku menyiapkan perlengkapan lalu bawa ke kamar Stefan",

Lizi segera mengangguk lalu berlari pergi. Aku melangkah menuju kamar Stefan setelah menutup pintu kamarku.

Aku merenung sesaat, sedikit ragu memasuki kamarnya. Sudah lama aku tinggal disini tapi belum pernah sekalipun aku memasuki kamarnya.

Apakah pantas aku yang seorang gadis memasuki kamar seorang pria? Tapi ini adalah keadaan genting.

Langkah kaki Lizi menyadarkan ku yang masih diam terpaku di depan kamar Stefan. Aku meraih nampan berisi air hangat, kain dan perlengkapan lain yang telah Lizi siapkan.

Menghela nafas sesaat aku mulai mengetuk pintu kamarnya. Tidak ada jawaban.

Aku memberanikan diri untuk masuk.

Saat aku membuka pintunya, seketika hidungku diserbu aroma maskulin khas seorang pria, kamarnya sangat rapi-tidak seperti kamar pria pada umumnya-di dalam kulihat Stefan terbaring diatas ranjang dengan salah satu lengan menutupi matanya.

Aku melangkah masuk lalu menutup pintu kembali.

"Lizi berkata bahwa kau terluka",

Dia tidak menjawab, apakah dia tertidur?

"Stefan", aku mencoba memanggilnya.

"Hm",

Dia hanya berguman menanggapi panggilanku. Kuberanikan diri untuk mendekat lalu ku letakkan nampan yang kubawa di nakas samping ranjangnya.

Kulihat kemeja yang ia pakai dipenuhi bercak darah yang sudah mengering dibagikan bahu kirinya.

"Bangunlah, aku akan obati lukamu",

Perlahan dia menyingkirkan lengan dari wajahnya. Dia hanya diam melihatku dengan tenang, membuatku semakin gugup.

Kira-kira apa yang dia pikirkan?

Sesaat dia masih bergeming. Lalu dia perlahan mulai bangkit duduk-sedikit kesulitan karena lengannya yang terluka- aku ikut duduk disisi ranjangnya.

Menghela nafas sesaat, dia mencoba membuka kancing kemejanya. Jemarinya terus bergetar yang kuyakini akibat menahan sakit.

"Biar kubantu"

Perlahan tanganku terulur menyentuh kemejanya yang dingin. Entah aku mendapat keberanian dari mana, namun instingku bekerja dengan baik jika sudah berurusan dengan pasien seperti ini. Anggap saja dia adalah pasienku sekarang.

Kubuka satu per satu kancing kemejanya, bau darahnya sedikit menggangguku.

Ada luka yang cukup parah akibat sayatan pedang pada bahu kirinya. Tidak, luka ini sangat parah. Meskipun tidak terlalu panjang tapi luka ini cukup dalam.Darah kering memenuhi tubuhnya hingga ke bagian depan, dan aku harus membersihkannya.

Kucelupkan kain yang kubawa kedalam air hangat lalu memerasnya. Kubersihkan darah pada lukanya dengan hati-hati, dia sedikit terkejut saat kain ini menyentuh kulitnya.

"Airnya terlalu dingin?", Aku bertanya

"Tidak", dia menjawab pelan

Jujur saja ini adalah pekerjaan yang sulit. Mengobati luka Stefan, melihatnya tanpa pakaian seperti ini membuat ku sedikit kesulitan untuk tidak menghiraukan betapa indah tubuhnya.

Kulitnya yang putih sepucat kertas, gumpalan ototnya yang tidak berlebihan, ditambah lagi aroma tubuhnya yang begitu menenangkan membuatku sedikit kehilangan fokus.

Hening, tidak ada pembicaraan diantara kami. Hati-hati aku mengangkat wajahku untuk melihatnya, dan yang kudapati adalah dia yang terus menatapku seperti hewan buas yang sedang mengawasi mangsanya.

Buru-buru kualihkan pandanganku.

"Kau kembali seorang diri?",

Aku mencoba mencari bahan pembicaraan untuk menghilangkan kesunyian diantara kita berdua. Juga agar suasana tidak semakin canggung.

"Ya"

"Dengan luka ini?"

"Ya"

Baiklah, sepertinya suasana hatinya sedang tidak bagus.

"Apa yang terjadi?", Aku masih berusaha mencarikan suasana

"Ada penyusup, dan terjadi sedikit perkelahian" jawabnya singkat

Aku hanya mengangguk menanggapinya. Selesai membersihkan lukanya aku mulai berfikir. Luka ini sangat dalam, sepertinya harus dijahit untuk mempercepat proses penyembuhannya.

"Lukamu cukup dalam, aku harus menjahitnya"

"Lakukan saja", dia menjawab tenang

Jujur saja aku sedikit bingung. Sebenarnya apa yang terjadi diperbatasan, kenapa dia menjadi seperti ini. Haruskah aku bertanya? Tapi aku tidak ingin suasananya hatinya semakin tidak enak.

Melihatnya sekilas, aku mulai menyiapkan jarum dan benang, memintanya bergeser sedikit agar memudahkanku saat menjahit lukanya.

Dia sedikit berjengkit saat aku mulai menusukkan jarum kekulitnya, namun setelahnya dia bergeming seolah tidak merasakan sakit lagi.

"Maaf jika menyakitkan, ini pengalaman pertamaku menjahit luka",

Aku berbicara sambil meniup-niup lukanya bertujuan untuk meringankan rasa sakit.

Dia tidak menjawab, tapi tiba-tiba tangan kanannya terulur menyelipkan helaian rambutku yang menutupi wajah kebelakang telinganku.

Aku menatapnya, dan dia juga menatapku dalam diam.

"Tidak apa", lirihnya

Dia tersenyum samar ke arahku. Tingkahnya yang seperti ini benar-benar membuatku semakin bingung. Haruskah aku melewati batasanku dan menanyai apa yang sebenarnya terjadi?

"Sebenarnya apa yang mengganggumu Stefan?",

Akhirnya aku kalah dengan rasa penasaran ku.

"Dirimu" , jawanya singkat

Aku mengerutkan kening, tidak mengerti dengan apa yang Stefan maksud. Apakah aku penyebab dia terluka? Tapi bagaimana bisa, aku bahkan tidak ada disana saat perkelahian itu terjadi.

Aku tak menghiraukannya, dan terus melakukan pekerjaanku.

Setelah menyelesaikan jahitanku dan menutupi lukanya menggunakan perban, aku mulai merapikan kembali barang-barang yang kubawa. Aku juga membereskan kemejanya yang dipenuhi bercak darah.

Berjalan menuju lemari, membukanya lalu mengambil asal kemeja baru untuk dia pakai. Tidak baik jika melihatnya tanpa baju seperti ini terus menerus-setidaknya tidak untukku.

Aku menyerahkan kemeja itu lalu duduk kembali diatas ranjang.

"Kau mau obat pereda nyeri? Kapan terakhir kali kau minum?", Aku berkata seraya membantunya berpakaian karena tangan kirinya masih sulit untuk digerakkan.

"Tadi", dia menjawab

"Bagus", aku menimpali

Aku lega, dia sudah meminum darah dengan begitu lukanya akan segera sembuh. Darah adalah obat paling mujarab untuk tubuh seorang vampire.

"Aku minum darah manusia", dia berkata lagi

Tanganku seketika berhenti saat mendengar kalimatnya. Setahuku, keluarga ini sangat jarang minum darah manusia. Sehaus apapun, mereka pasti akan menahan sekuat tenaga agar tidak membunuh manusia. Itulah mengapa mereka sering berburu ke hutan dan memiliki para pelayan yang memiliki tugas berburu hewan untuk diambil darahnya.

Mereka tidak akan semata-mata membunuh manusia, akan berpikir ratusan kali hanya untuk meminum darahnya. Entahlah, itu sudah menjadi prinsip hidup yang telah mereka jalani selama ini.

Bagi mereka, memuaskan dahaga dengan darah manusia itu sama saja seperti membenarkan anggapan para manusia bahwa vampire adalah monster buas penghisap darah, setidaknya begitulah kata William.

Aku memandangnya, jadi inilah yang Stefan pikiran sejak tadi. Dia telah melanggar prinsipnya sendiri.

"Manusia terakhir yang kugigit adalah dirimu, itupun masih menyisakan rasa penyesalan dalam diriku meskipun aku melakukannya untuk menyelamatkan nyawamu",

Tatapannya beralih dariku menuju jendela raksasa yang kini sedang diterangi cahaya bulan purnama.

Jadi, dia menyesal telah menyelamatkan aku?

"Se-haus apapun aku, aku sangat jarang meminum darah manusia", katanya lagi

Aku meraih tangannya, meremasnya sesaat, berusaha untuk menenangkannya.

"Yang kau bunuh adalah seorang penyusup yang memiliki niat jahat, itu bukan kesalahan", kataku lirih

"Tapi apakah aku pantas meminum darahnya?",

Stefan balik bertanya, ada sedikit emosi dalam setiap kata yang dia ucapkan.

"Setelah aku menyelamatkan mu, meminum darahmu", dia kembali menatapku, "Tubuhku menjadi sedikit tak terkendali"

Aku terdiam,

"Aku sering merasa haus, mulai kesulitan menahan diri saat hendak melakukan sesuatu, dan aku selalu memikirkan mu. Setiap saat, setiap waktu",

Stefan menghela nafas kasar, terlihat jelas bahwa dia sedang frustasi.

Jadi inilah penyebabnya, mengapa dia selalu menatapku dalam diam, jadi inilah yang dia pikirkan setiap kali dia melihatku. Dia menyesali perbuatannya.

"M-maafkan aku", kataku sedikit terbata, sembari menundukkan kepala tak berani melihatnya, "Maaf jika gara-gara menyelamatkan ku membuatmu merasa seperti ini"

Hatiku rasanya sakit mendengar dia seolah menyesal telah menyelamatkan nyawaku.

"Tidak"

Jawabnya cepat, membuatku mau tak mau mengangkat kembali kepalaku memandang dirinya.

"Aku senang bertemu denganmu dikehidupanku yang berkepanjangan ini, aku beruntung bertemu denganmu dikehidupanku yang seperti tak memiliki ujung ini, kau merubah pandanganku terhadap kehidupan"

Semburnya yang membuat jantungku berdentang bagaikan lonceng. Lidahku kelu tak dapat mengucapkan sepatah katapun. Apakah dia baru saja menyatakan perasaannya?

Inikah apa yang sebenarnya Stefan rasakan ketika bersamaku?

Wajahku memanas melihatnya mengangkat tangan lalu mengelus pipiku dengan lembut, sangat lembut seolah aku adalah kaca yang mudah pecah jika dia memegangku terlalu erat.

"Aku tidak menyesali pertemuan ini, aku hanya tidak tau apa yang sedang kurasakan", lirihnya

Stefan tersenyum, senyum yang sangat manis, dan tanpa sadar akupun ikut tersenyum bersamanya.

Aku tidak tau harus berkata apa saat ini, aku hanya bisa terdiam seperti orang bodoh yang kehabisan kata-kata.

Tapi sungguh, aku memang kehabisan kata-kata

Stefan masih memandangku, dalam keadaan seperti ini membuatku teringat kejadian diruang senjata waktu itu. Dan benar, pandangan nya beralih dari mataku turun ke arah bibirku.

Astaga, apa dia akan menciumku lagi?

Aku segera menutup mataku, tapi yang terjadi selanjutnya berbeda dari dugaanku. Kudengar Stefan tertawa, melepas tangannya dari pipiku lalu mencubit kecil daguku.

"Tenanglah aku tidak akan melakukannya, tidak tanpa seizin darimu", katanya seraya menjauhkan diri.

Aku hanya tersenyum kikuk memandang ke segala arah, bodohnya dirimu Luciana, batinku.

Kini Stefan duduk bersandar pada kepala ranjang, sesekali dia menggerakkan lengannya yang terluka.

Aku memutuskan untuk kembali, setelah berpamitan dan berkata semoga lukanya segera sembuh, aku berjalan cepat menuju kamar.

Berdiri bersandar pada pintu kamar, aku tak hentinya tersenyum mengetahui fakta baru ini.

Aku sadar, bahwa aku memiliki perasaan padanya sejak lama. Bukan hanya sekedar perasaan kagum karena dia telah menyelamatkan hidupku. Ini perasaan yang lain dan sepertinya dia juga merasakan hal yang sama.

Mengetahui apa yang dia rasakan langsung dari mulutnya membuatku sangat bahagia.

Aku berharap, ini menjadi awal baik bagi kami.

...~...

1
Roxy-chan gacha club uwu
Bener-bener hidup!
Hebe
Berasa kayak lagi nonton film seru deh! Kapan launching filmnya thor? 😁
prel: haduuuh minta doanya aja deeh😁😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!