Devina adalah seorang mahasiswi miskin yang harus bekerja sampingan untuk membiayai kuliahnya dan biaya hidupnya sendiri. Suatu ketika dia di tawari dosennya untuk menjadi guru privat seorang anak yang duduk di bangku SMP kelas 3 untuk persiapan masuk ke SMA. Ternyata anak lelaki yang dia ajar adalah seorang model dan aktor yang terkenal. Dan ternyata anak lelaki itu jatuh cinta pada Devina dan terang-terangan menyatakan rasa sukanya.
Apakah yang akan Devina lakukan? apakah dia akan menerima cinta bocah ingusan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tami chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salting brutal part 2.
Devan mengenakan jaket bomber, dengan dalaman kaos warna hitam dan celana jeans hitam, serta sepatu sneakers putih -sungguh terlihat sempurna! Sempurna membuat jantung Devi jumpalitan.
Dan yang paling bikin Devi salah tingkah adalah potongan rambut Devan yang baru. Itu persis dengan gaya rambut aktor Korea favoritnya, yang pernah Devi ceritakan pada Devan beberapa waktu lalu melalui telpon.
Apakah Devan memotong rambutnya demi Devi? agar Devi menyukainya? karena sekarang dia sedikit mirip dengan aktor favoritnya? Aahh! Devi, jangan baper. Bisa saja itu tuntutan sutradara untuk syuting drama terbaru Devan.
Devi merasa malu karena penampilannya sekarang sangat berantakan, sungguh seperti gembel jika di bandingan penampilan keren Devan saat ini. Jika tau akan bertemu Devan, Devi pasti bakal menyapukan liptint di bibirnya agar terlihat lembab dan seksi.
"Eh, kamu baru pulang?" basa basi yang sangat basi, Devi!
Devan mengangguk sambil memperhatikan penampilan Devi.
"Kamu lagi bantuin Mamah? sampe belepotan semua! ada tanah di pipi, tuh!" ketus Devan.
"Eh? masa? mana?" Devi langsung menyapukan punggung tangannya ke pipi, mencari noda tanah yang di maksud Devan. Namun bukannya jadi bersih, muka Devi malah makin belepotan.
Devan mendengus, kesal dan gemas. Dia meletakkan tas ranselnya, lalu mendekati Devi. Mengambil tisu yang tersedia di atas meja, lalu menyapukan noda di pipi Devi dengan tisu tadi.
"Ck! sudah kering jadi susah!" kesalnya.
Demi apa! jantung Devi serasa mau meledak, wajahnya sekarang pasti merah merona karena jantungnya memompa darahnya dengan begitu cepat.
Devan berdiri sangat dekat di depannya, dan mengusap pipinya dengan tisu. Memang Devan baru berusia 15 tahun, tapi tinggi badannya yang menjulang, dan tindakannya ini, membuat Devi lupa dengan umur murid lesnya ini. Mana ada bocah bersikap se-gentle ini!!!
Karena sepertinya, Devi sudah hampir pingsan karena gugup, dia memalingkan wajahnya dan mundur beberapa langkah mencoba menghindari Devan, "na-nanti aku bersihkan di kamar mandi, te-terima kasih," ucap Devi sambil menundukkan kepala, berharap Devan tak melihat rona di pipinya.
"Dev! ngapain Lu masih di luar?!" seorang lelaki yang terlihat seumuran dengan Devan, mendekat. Dia melihat Devi dan bersiul, "eh, ada kakak cantik. Siapa Dev? kenalin dong?" tanyanya sambil meletakkan tangannya di bahu Devan.
"Ck! guru les gua! jangan macem-macem, Lu!" Devan mengambil tas ranselnya lalu berjalan masuk ke rumahnya meninggalkan Devi yang masih gugup di tempatnya.
"Guru les? kalau gitu gue ikut les sama Lu, ya?" ucap teman Devan sambil mengekori Devan masuk ke dalam rumah.
"Nggak!" suara ketus Devan terdengar hingga telinga Devi.
Setelah, Devan dan temannya menghilang dari pandangan Devi, barulah Devi bisa bernapas lega.
"Astaga, jantungku mau copot rasanya..." gumam Devi sambil memukul-mukul dadanya dengan pelan.
Devi melirik jendela kaca yang memantulkan bayangan dirinya, dan menatap dirinya dengan lekat.
Rambut messy bun dengan beberapa anak rambut menjuntai di sisi pipi kiri dan kanannya, lalu beberapa noda lumpur di pipi dan tangannya, penampilan Devi benar-benar berantakan, tapi kenapa Teman Devan bilang dirinya cantik? sudah rabun kali ya, matanya?!
Devi menggeleng pelan, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya yang tinggal sedikit lagi beres.
"Loh, Dev? sudah selesai?" kaget Luci saat kembali ke taman dan melihat semua bunganya sudah tertata rapih dan cantik dalam pot.
"Sudah dong, gampang ini mah!" ucap Devi sambil tersenyum puas dengan hasil karyanya.
"Duh, makasih banget ya, Dev! untung ada kamu, kerjaan Tante jadi cepet selesai. Yuk, kita ngeteh sambil makan cemilan dulu di dapur."
"Iya, Tante. Devi bersih-bersih sebentar, ya," ucap Devi sambil melepaskan sarung tangannya yang penuh tanah, lalu berjalan ke pintu belakang yang terhubung dengan dapur. Devi malu mau lewat pintu depan, malu jika bertemu Devan dan teman-temannya.
Setelah selesai membersihkan diri, Devi langsung mendekati Luci yang sudah menunggunya di dekat meja bar yang ada di dapur. Devi segera duduk di depan Luci dan mencomot sepotong kue bolu yang masih hangat.
"Enak, nggak?" tanya Luci sambil menaikan alisnya.
Devi tersenyum sambil menggeleng-geleng keenakan, dia mengacungkan dua jempolnya sambil merem melek.
"Enak banget! kapan-kapan kalau ada waktu, ajarin Devi, dong Tan. Siapa tau Devi bisa bikin trus jualan, hehehe..."
"Gampang, atur aja waktunya," ucap Luci sambil meletakkan secangkir teh hangat di depan Devi.
"Oh, iya. Tante sudah transfer barusan, sudah masuk, kan?"
"Oh, sebentar, coba Devi cek," Devi merogoh tas ranselnya. Mengambil ponselnya dan terkejut, karena selain notifikasi dari mobile banking, ada juga pesan dari Devan.
Namun Devi tak membuka pesan itu, dia menekan notifikasi dari bank dulu, uang lebih utama, kan? hehehe.
"Loh, Tan? kok banyak sekali?" kaget Devi karena melihat angka satu dengan enam biji angka nol.
"Nggak apa, itu kan sama lemburan!" ucap Luci sambil melambaikan tangan.
"Tapi.. ini terlalu banyak..." Devi merasa tak enak hati menerima upah sebesar ini, apalagi dia baru bekerja beberapa hari tak sampai satu minggu, tapi sudah menerima uang yang setara dengan sebulan gaji part-time di toko Dimas.
"Itu sogokan, biar kamu betah kerja di sini, jadi guru les Devan! harus bertahan loh, sampai Devan berhasil lulus nanti!" ancam Luci, tapi dengan nada bercanda.
Devi tersenyum, "Saya akan bekerja sebaik mungkin, Tan!"
Luci tersenyum, lalu meraih ponselnya yang berdering, "Papahnya Devan telpon, sebentar ya, Dev," Luci pamit keluar dari dapur untuk mengangkat telpon dari suaminya.
Devi mengangguk lalu menggoyangkan kaki sambil menikmati teh dan kue bolu yang super enak ini, huft.. rasanya nyaman sekali, semua lelahnya hilang sudah. Ternyata weekend nya lumayan menyenangkan, berkat Tante Luci.
Apalagi ada saldo satu juta di rekeningnya, aahh, uang kos bulan ini terselamatkan...
Devi bersenandung sambil melahap Kue bolu buatan Luci, saking asyiknya dia sampai tak menyadari jika Devan sudah berdiri di belakangnya.
"Kenapa pesanku belum di baca?!" ucapnya tiba-tiba dan sukses membuat Devi terkejut dan hampir terjatuh dari kursi bulat yang di dudukinya.
Dengan cepat, Devan memegangi bahu Devi agar dia tak terjatuh. Kursi bulat yang suka berputar itu memang bisa membuat orang jatuh jika tak seimbang.
Jantung Devi kembali berdebar kencang, saat punggungnya menempel di dada Devan dan wajahnya hanya berjarak beberapa centi dengan artis tampan itu.
Ya, Devan menopang punggung Devi dengan dadanya, dan kedua tangannya memegangi lengan Devi, menahanya agar tak terjatuh.
Devan menatap wajah Devi yang merona, lalu tersenyum. Dengan jahil dia berjalan mundur, membuat Devi hampir terjungkal ke belakang.
"De-Devan! jangan macam-macam! aku bisa jatuh!" Devi meraih Devan dengan panik, dan berusaha memegang tubuh Devan yang bisa di raihnya.
Devan terkekeh, lalu melingkarkan tangan kanannya di perut Devi, sedang tangan kirinya mendorong punggung Devi agar bisa duduk dengan tegap di kursi bundar sialan itu.
Dada Devi naik turun karena gugup. Jantungnya pun berdebar kencang. Kejadian dirinya yang hampir jatuh memang membuat Devi deg-degan, tapi keadaannya saat inilah yang membuat Devi hampir mati berdiri.
Tentu saja itu karena Devan! karena tangan kanan Devan masih melingkari perutnya.
Beberapa kali Devi menelan salivanya, rasanya jantungnya berdentum kencang hingga seluruh ruangan ini di penuhi suara dentuman jantung Devi.
Devi serasa melayang di langit dan sudah meninggalkan bumi, semua gara-gara ulah usil Devan.
"Kenapa nggak balas pesanku?" bisik Devan tepat di telinga Devi dengan tangannya yang masih melingkari perut Devi.
Pelecehan bukan sih ini? tapi kok Devi suka dan nggak mau tangan ini lepas dari perutnya.
"A-aku.. aku belum sempat baca..." susah payah Devi mengeluarkan suara, karena kerongkongan nya terasa tercekik. Dia terlalu gugup.
Devan tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, lalu dia menarik tangan yang tadi melingkari perut Devi, membuat Devi merasakan kehilangan di hatinya, karena tangan Devan pergi dari tempatnya.
Aah, dasar perawan jablay!
Kini tangan nakal itu, berpindah nangkring di bahu Devi, lalu menepuk lembut beberapa kali.
"Baca pesanku, lalu balas ya," ucapnya lalu pergi begitu saja, meninggalkan Devi yang masih belum bisa menata jantungnya yang jumpalitan di dalam dadanya.
.
.
#Pernah nggak sih, kalian salting brutal kayak Devi? kalau aku, jaman putih abu2 dong... 😆 kapan itu? berjuta-juta tahun yang lalu.. 🤣🤣 tapi kenangannya masih terasa manis sampai sekarang... aciaa curcol... 🤭🤭