Entah kesalahan apa yang Malea lakukan, sehingga dia harus menerima konsekuensi dari ibunya. Sebuah pernikahan paksa, jodoh yang sang ayah wariskan, justru membawanya masuk dalam takdir yang belum pernah ia bayangkan.
Dia, di paksa menikah dengan seorang pengemis terminal. Tapi tak di sangka, suatu malam Malea mendapati sebuah fakta bahwa suaminya ternyata??
Tak sampai di situ, dalam pernikahannya, Malea harus menghadapi sekelumit permasalahan yang benar-benar menguras kesabaran serta emosionalnya.
Akankah dia bisa bertahan atau memilih berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33
Satu malam menginap di rumah ibu, hatiku sudah merasa lebih tenang sekarang. Meski belum mengorek informasi apapun dari ibu, yang pasti rumah masa kecilku ini memang selalu membuatku betah.
Memori tentang ayah pun mendadak terlintas dalam ingatanku.
Ayah yang sangat bijaksana, selalu mengajarkanku dan Dimas untuk menghargai dan menghormati satu sama lain. Sekalipun orang itu dari kelas ekonomi bawah, beliau selalu memperingatkanku untuk tidak menyepelekan mereka.
Dan didikan ayah itu pasti akan aku terapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama saat aku mendidik anak-anakku kelak.
Menghirup napas dalam-dalam, suasana pagi ini terasa begitu sejuk, apalagi di tambah adanya tanaman bunga dan pohon yang ada di sekeliling rumah. Udara tampak lebih bersih sekaligus menenangkan. Rasanya aku ingin tetap berada di sini.
"Malea!" Tiba-tiba ibu menepuk punggungku dari arah belakang. Akupun sontak berbalik dan langsung mendapati ibu tengah tersenyum padaku.
"Ibu"
"Gimana badanmu, sudah enakan?" Tanyanya. Tadi malam aku memang merasa kalau badanku agak meriang. Rasanya seluruh badan sakit.
"Sudah, bu. Sudah lebih baik"
"Kita sarapan yuk, ibu sudah masak sayur bening, sambal cumi dan udang rebus"
"Aku belum lapar bu"
"Ini sudah jam delapan Lea, sudah waktunya sarapan. Ayo jangan nanti-nanti. Tambah sakit nanti"
"Tadi kan sudah makan kue klepon sama minum teh bu, masih kenyang"
"Nggak bisa, Lea. Nurut sama ibu"
Aku menghela napas, kemudian berjalan memasuki rumah. Padahal aku lagi nggak nafsu makan, tapi karena ibu memaksa aku akhirnya mengangguk menuruti perintahnya.
"Maaf ya bu, aku nggak bantuin ibu masak, aku benar-benar enek bau bawang" Kataku di sela-sela langkah kami menuju meja makan.
"Sudah sejak kapan Lea?"
"Sudah tiga hari ini bu"
Ibu tersenyum, lalu menarik kursi makan dan menyuruhku duduk setelah kami sampai di ruang makan.
"Belum ke dokter?"
"Ngapain ke dokter, masih punya tenaga dan masih enak makan, nanti juga sembuh sendiri"
Ibu menyidukkan nasi ke piringku. Padahal aku yang seharusnya melayani ibu, tapi entah kenapa semenjak tiba di rumah orang tuaku, sisi manjaku seolah meronta-ronta.
"Sudah bu, jangan banyak-banyak!"
"Segini cukup?"
"Cukup!"
Mungkin inilah waktunya aku mencari tahu tentang Arga. Ibu pasti mengetahui segalanya. Siapa Arga, orang tuanya, juga di mana mereka tinggal.
"Ibu senang melihat kamu dan Arga sudah bisa menerima satu sama lain. Ibu harap kalian selalu bahagia" Pungkas ibu tiba-tiba.
"Bagaimana aku bisa bahagia kalau hubungan ini di awali dengan kebohongan, bu" Ujarku, reflek. Kalimat itu seakan meluncur begitu saja tanpa aku pertimbangkan lebih dulu.
"Apa maksudmu, Malea?" Ibu tak jadi menyuapkan sendok ke mulutnya, dia malah menatapku sangat tajam.
"Ibu tahu kan, kalau Arga sebenarnya orang kaya"
"Panggil dia mas, dia lebih tua darimu. Hormati dia"
Aku mendesih lirih. "Ibu tahu apa yang aku tanyakan tadi kan?"
"Jadi suamimu sudah mengatakan semuanya?"
"Tidak" Sahutku. "Aku tahu sendiri tanpa dia kasih tahu"
"Sekarang apa yang ingin kamu tahu dari ibu?"
"Banyak bu, ibu ceritakan saja apa yang harus aku tahu. Aku istrinya Arga, aku harus tahu segalanya tentang dia"
"Mas Arga, Lea. Biasakan panggil dia mas"
"Iya bu" Pelan tapi penuh penekanan.
"Arga adalah anak dari om Galih"
Aku terkejut, sangat terkejut. Aku ingat betul kalau ayah pernah mendonorkan satu ginjalnya pada sahabat baiknya itu.
"Anaknya om Galih, bu?"
"Iya, Malea"
Aku dan ibu sama-sama berhenti makan.
"Dulu, ibu lama sekali tidak kunjung hamil, istrinya om Galih, tante Siwi, dia yang menyarankan ibu supaya ibu adopsi anak, tapi karena kebetulan ada Arga yang saat itu berusia dua tahun, jadi ibu bawa Arga tinggal di rumah ini, om Galih sendiri yang menyuruhnya"
"Apa? Arga pernah tinggal di rumah ini?" Aku kaget, sungguh tak menyangka.
"Iya Malea, waktu itu ketiga kakaknya Arga juga masih kecil-kecil, mereka kerepotan jadi ibu bantu mereka urus Arga. Suamimu itu sudah ibu anggap anak ibu sendiri. Dan pas usia Arga tiga tahun, ibu akhirnya hamil kamu. Karena ibu sering pingsan saat ngidam, om Galih pun membawa Arga pulang kembali"
Ibu menarik napas panjang, lalu bersuara lagi. "Ibu harap kamu tidak marah saat mengetahui latar belakang Arga yang sebenarnya"
"Tapi kenapa harus bohong hampir setengah tahun lamanya, bu?"
"Arga tidak bermaksud begitu, hargai dia Malea, dia melakukan semua itu karena ingin memiliki istri yang mau menemaninya dalam kondisi apapun"
"Selain membohongiku, dia juga sudah membohongi Belinda. Ibu masih ingat Belinda teman aku saat di SMA kan?"
"Belinda? Apa hubungannya dengan Belinda?" Tanya ibu tak paham.
"Belinda mantan pacarnya Arga_"
"Mas, Lea. Mas. Biasakan dong!"
"Iya iya, mas Arga" Balasku sinis. "Mas Arga sudah pura-pura miskin di depan Belinda"
"Loh kenapa?"
"Katanya kalau si Belindanya mau menerima mas Arga di saat miskin, mas Arga mau menolak menikahiku dan tetap mempertahankan Belinda. Tapi yang terjadi Belinda malah memutuskan pergi darinya"
"Bagus dong, itu tandanya kamu dan Arga memang berjodoh"
"Bu, aku serius"
"Hmm.. Apa lagi yang ingin kamu tahu dari suamimu?"
"Entah lah bu, ada banyak hal, aku bingung sendiri jadinya"
"Kamu tahu, Lea?" Salah satu tangan ibu tahu-tahu menggenggam erat tangan kananku. "Saat ayahmu meninggal, dia yang mengangkat keranda ayahmu?"
"Oh ya? Aku nggak tahu"
"Bagaimana kamu tahu, kamu sibuk dengan dukamu, menangisi kepergian ayah tanpa memperhatikan siapa saja yang ada di sekelilingmu termasuk siapa yang mengangkat ayah"
"Aku pikir Dimas, om Fahmi dan tetangga"
"Salah satunya ya Arga"
"Oh" Jawabku singkat.
"Malea!" Panggil ibu.
Ketika aku menatapnya, aku melihat kali ini sorot matanya sangat serius, wajahnya memancarkan sesuatu yang lebih dari pembicaraan penting. Ada kekhawatiran yang jelas nampak di raut ayunya.
"Apa bu?" Balasku membalas manik pekat ibu.
Ibu mengatupkan bibirnya sejenak, sebelum mengeluarkan kalimatnya.
"Malea!" Suara ibu terdengar berat.
"Ada sesuatu yang harus kamu tahu"
Tatapanku pada wanita yang melahirkanku semakin bingung.
"Ibu tahu kamu mungkin merasa terkejut, tapi ada alasan mengapa ibu menyetujui pernikahan kalian dan kenapa ibu mendukung kebohongan Arga"
Aku terdiam, makin bingung tak karuan.
"Kenapa bu?"
"Arga bukan sekedar pemilik perusahaan besar, dia adalah anak dari sahabat ayahmu yang sudah ibu katakan sebelumnya, Ayahmu dan papahnya Arga saling menyayangi satu sama lain, mereka tidak ingin hubungan ini putus begitu saja. Sampai ketika mereka memiliki perjanjian_"
"P-perjanjian?" Potongku cepat.
Ibuku mengangguk. "Iya, Malea. Jauh sebelum ayahmu meninggal, papahnya Arga memberi tanggung jawab besar pada Arga untuk menjagamu, bukan hanya karena om Galih dan ayahmu saling menyayangi, tapi sebuah ucapan terimakasih karena ayah sudah mengorbankan separuh hidupnya untuk om Galih"
"Dengan mendonorkan satu ginjal ayah?"
"Iya, dan perjanjian itu akhirnya menjadi sebuah warisan keluarga, sebuah wasiat yang harus di laksanakan"
"Arga tahu cara inilah yang harus Arga lakukan untuk melanjutkan apa yang sudah di mulai oleh ayah kalian" Tambah ibu setelah tadi sempat mencuri udara.
Aku terdiam, tidak bisa mencerna semua kata-kata ibu.
Ternyata ada banyak lapisan yang tidak aku ketahui. Mulai dari persahabatan yang begitu erat, Arga yang pernah tinggal di rumah ini selama satu tahun lebih, juga soal perjanjian itu.
Mendadak perutku terasa mual, aku pun sontak bangkit dari dudukku dan langsung berlari ke arah kamar mandi.
"Malea!" Ibu memanggilku dengan nada cemas sambil mengetuk pintu kamar mandi. "Kamu tidak apa-apa, nak?" Lanjut ibu.
Aku tak menyahut, sibuk memuntahkan apa yang baru saja ku makan.
"Apa kamu sedang hamil, Lea? Ibu perhatikan dari semalam kamu sering muntah"
Pertanyaan ibu otomatis membuatku termangu.
Aku baru sadar kalau ini sudah akhir bulan, padahal tamu bulananku di awal bulan.
Astaga!!
"A-ku hamil? B-bagaimana bisa? Kami hanya melakukan sekali" Gumamku lirih.
"Lea, buka pintu sayang, kita ke dokter ya, siapa tahu kamu hamil"
Menelan ludah aku terduduk lesu di closet toilet.
Padahal aku berencana mundur karena gengsi di anggap wanita yang tiba-tiba menerima suami di saat aku baru mengetahui latar belakangnya yang seorang sultan.
"Bagaimana ini" Lirihku bingung. "Apa Arga akan percaya bahwa ini anaknya? Kami tidak pernah melakukannya lagi setelah dari Kanada"
"Lea!" Pekik ibu. Kemungkinan beliau semakin panik karena baik suaraku maupun suara air tak lagi terdengar.
...
typonya di maklum dulu ya, nanti kalai ada waktu di betulin.
Makasih masih ngikutin.
masih pengen di peyuk2 kan sama Arga
hormon bumil tuh Dede utunya masih pengen di manja2 sama ayah nya,,
kebat kebit ga tuh hati kmau
Ayo thor lanjut lagi yg byk ya...penanasaran bgt kelanjutannya...
kenapa ga jujur aja seh.
tapi Lea takut ngomongnya,takut ga di akui sama mas arga
ayo Lea jujur aja aaah bikin gemes deeh