NovelToon NovelToon
Belenggu Cinta Kakak Ipar Tampan

Belenggu Cinta Kakak Ipar Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:BTS / Selingkuh / Cinta Terlarang / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Adrina salsabila Alkhadafi

Katanya, cinta tak pernah datang pada waktu yang tepat.
Aku percaya itu — sejak hari pertama aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada suami kakakku sendiri.
Raka bukan tipe pria yang mudah ditebak. Tatapannya tenang, suaranya dalam, tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tahu itu berbahaya.
Di rumah yang sama, kami berpura-pura tak saling peduli. Tapi setiap kebetulan kecil terasa seperti takdir yang mempermainkan kami.
Ketika jarak semakin dekat, dan rahasia semakin sulit disembunyikan, aku mulai bertanya-tanya — apakah cinta ini kutukan, atau justru satu-satunya hal yang membuatku hidup?
Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah menahan diri…
Tapi menahan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.menahan ahhhh oh yang itu,berdenyut ketika berada didekatnya.rasanya gejolak didada tak terbendung lagi,ingin mencurah segala keinginan dihati.....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27: Aroma Mawar dan Ancaman Kehidupan Baru

​Minggu Pagi.

​Luna terbangun dengan perasaan resah yang aneh. Sudah empat hari sejak pertemuan terakhirnya di Unit 903, dan penahanan hasrat itu membuat sarafnya tegang. Kehadiran Raka di rumah terasa seperti penyiksaan—ia ada, dekat, namun terikat oleh sumpah setia pada Naira dan tuntutan strategi mereka.

​Ia turun untuk sarapan. Di meja makan, suasananya terasa lebih lembut dari biasanya. Mawar putih besar yang dibawa Raka masih menghiasi ruang makan, memancarkan aroma manis yang memuakkan bagi Luna.

​Naira sudah duduk, memegang cangkir teh hangat. Pagi itu, Naira mengenakan piyama sutra yang Luna tahu adalah salah satu hadiah ulang tahun dari Raka.

​"Pagi, Luna. Tumben sudah bangun?" sapa Naira, suaranya sedikit lebih pelan dari biasanya.

​"Pagi, Kak. Aku mau coba cat air pagi ini, katanya mood pagi hari itu bagus untuk warna," Luna berbohong dengan cepat.

​Raka masuk, mengenakan kaus olahraga—ia bersiap untuk lari pagi, rutinitas yang ia pertahankan agar tubuhnya tetap prima (untuk Naira, dan juga untuk Luna).

​"Pagi, Sayang. Mau sarapan apa?" tanya Raka pada Naira, lalu sekilas menatap Luna—tatapan 'kakak ipar yang perhatian' yang sangat ia benci.

​"Aku nggak tahu, Mas. Nggak enak makan, agak mual," jawab Naira, memegang perutnya dengan gerakan lembut.

​Raka segera mendekat, menyentuh kening Naira dengan punggung tangannya. "Sakit? Kamu nggak masuk angin, kan?"

​"Nggak, cuma mual biasa. Mungkin kebanyakan minum kopi kemarin," ujar Naira, tersenyum kecil.

​Luna berhenti mengoleskan selai pada rotinya. Mual. Kata itu terasa dingin dan berat, seperti batu yang dilemparkan ke kolam renangnya yang tenang. Ia menatap Naira. Naira memang terlihat sedikit lebih pucat, tapi juga memancarkan kelembutan yang baru.

​"Aku akan buatkan air hangat dengan lemon. Jangan minum kopi dulu," putus Raka, nadanya terdengar sangat protektif, bergegas ke dapur.

​Mual? Kenapa harus mual? Itu bukan gejala biasa. Itu adalah... ancaman. Kehidupan baru. Aku tidak bisa membayangkan Naira hamil, membawa anak Raka. Itu akan mengunci Raka di rumah ini selamanya. Itu akan membuat Unit 903 menjadi sekadar kenangan gila.

​Luna merasakan gelombang kecemburuan yang tajam, lebih tajam daripada hasrat apa pun yang pernah ia rasakan. Kecemburuan ini murni, tidak dimanipulasi oleh Raka, dan itu membuatnya merasa sangat marah.

​"Kamu yakin nggak apa-apa, Kak?" tanya Luna, suaranya berusaha terdengar khawatir, padahal ia sedang memaki-maki di dalam hati.

​"Nggak apa-apa, Lun. Cuma agak aneh aja. Perutku sensitif akhir-akhir ini," Naira mencoba meyakinkan, namun matanya memancarkan sedikit harapan.

​Raka kembali dari dapur dengan segelas air lemon hangat, menyerahkannya pada Naira. Raka duduk di sebelah istrinya, memperhatikan Naira minum. Seluruh fokus Raka tertuju pada Naira, pada potensi kehidupan baru di perut Naira.

​Luna merasa dirinya terhapus, menjadi sekadar bayangan di sudut meja. Ia bukan lagi wanita gila yang diciptakan Raka; ia hanyalah Luna, adik ipar yang menganggur.

​"naira, kayaknya aku skip dulu deh lari paginya. Aku mau temani kamu sebentar," kata Raka, penuh perhatian.

​"Nggak usah, Mas. Aku baik-baik saja. Kamu lari saja. Aku ditemani Luna," Naira menahan Raka.

​Raka menoleh ke Luna. Tatapannya kini bukan kode rahasia, melainkan sebuah permintaan untuk menjaga Naira. Jaga alibiku, jaga rumah ini.

​Luna mengangguk kaku. Raka bangkit, memberinya senyum perpisahan yang profesional, dan beranjak keluar.

​Begitu Raka pergi, keheningan kembali. Luna berusaha menelan kecemburuan dan kemarahannya.

​"Kak, kamu belum periksa ke dokter?" tanya Luna.

​Naira tersenyum, senyum yang Luna benci karena terasa begitu polos dan penuh harapan. "Belum, Lun. Tapi Mas Raka bilang, kalau mualnya berlanjut sampai besok, dia akan ajak aku periksa."

​"Oh," Luna hanya bisa berujar. Kata-kata tersangkut di tenggorokannya. Raka berencana membawa Naira periksa. Raka serius dengan potensi ini.

​Luna segera mengirim pesan darurat ke Raka.

​Luna: Ada masalah. Kak Naira mual. Dia mungkin hamil. Jangan pura-pura tidak tahu.

​Raka membaca pesan itu saat ia sedang melakukan peregangan di taman komplek. Ia tidak panik, tetapi ia menghentikan peregangan. Kehamilan Naira adalah variabel yang paling sulit untuk dikontrol, sebuah entitas yang tidak bisa dimanipulasi dengan mawar atau tanah liat.

​Raka: Aku tahu. Itu sebabnya aku tidak lari. Aku mengontrol situasinya.

​Luna: Mengontrol? Kalau dia hamil, semua strategi kita selesai! Kamu akan sibuk dengannya, aku akan terasing lagi.

​Raka: Tidak ada yang selesai. Semua ini hanyalah penyesuaian. Anak adalah penutup yang paling kuat. Itu akan memberikan kita cover yang tidak bisa ditembus. Aku akan menjadi ayah yang sempurna, dan tidak ada yang akan mencurigaiku.

​Raka: Dan kamu, kamu akan menjadi 'tante' yang bersemangat. Fokusmu pada lukisan akan semakin dimaklumi sebagai cara mengelola kegembiraan.

​Raka: Tetapi, ini aturan baru. Hari ini kamu harus menemaninya ke apotek. Belikan alat tes kehamilan. Itu akan membuatmu terlihat suportif dan mengalihkan fokus dari dirimu.

​Luna: Membeli alat tes kehamilan? Bersama dia?

​Raka: Ya. Itu adalah ujian terberatmu, Luna. Tunjukkan bahwa kecemburuanmu hanyalah fiksi, dan persahabatanmu dengan Naira adalah kebenaran.

​Raka: Lakukan. Aku akan melihat hasilnya saat aku kembali dari lari.

​Sore Hari. Apotek Terdekat.

​Luna dan Naira berjalan bersama. Naira memegang lengan Luna, bersandar padanya. Rasa mual itu membuatnya lemah, dan kelemahan Naira justru membuat Luna merasa semakin kuat dan semakin jijik pada dirinya sendiri.

​"Aku takut, Lun," bisik Naira.

​"Takut kenapa, Kak?"

​"Takut kalau nggak... Takut kalau iya..." Naira tertawa canggung. "Aku sudah lama berharap, Mas Raka juga. Tapi aku takut kecewa."

​Luna harus menelan setiap kata-kata itu. Harapan mereka adalah kehancuran Luna.

​Di lorong apotek yang dingin, Naira memilih alat tes kehamilan. Luna berdiri di sampingnya, melihat kotak-kotak kecil yang menentukan nasib kehidupannya yang rahasia.

​Luna merasakan kecemburuannya merayap, menjerat lehernya. Ia ingin membuang semua kotak itu, berteriak pada Naira bahwa ia tidak layak mendapatkan kebahagiaan ini. Tapi ia harus mempertahankan topengnya.

​"Aku doakan yang terbaik, Kak," ujar Luna, suaranya tulus dan dingin.

​Ketika mereka kembali, Raka sudah menanti. Wajahnya tenang, tapi matanya mencari Luna.

​Naira langsung berlari ke kamar mandi. Keheningan yang tegang memenuhi ruang tengah.

​Raka mendekati Luna, mencondongkan tubuhnya hingga bibirnya nyaris menyentuh telinga Luna.

​"Hasilnya, Luna?" Raka bertanya, suaranya rendah, nyaris tidak terdengar.

​Luna menatap Raka, mata mereka terkunci. Luna melihat ketegasan, bukan cinta, di mata Raka.

​"Belum," balas Luna. "Aku hanya tahu, aku benci ini, Mas."

​"Bagus. Bawa kebencian itu kembali ke Unit 903. Aku ingin kebencianmu," Raka berbisik, lalu menarik diri, kembali menjadi suami yang tegang menunggu di depan kamar mandi.

​Saat Naira keluar, wajahnya pucat, namun matanya memancarkan keajaiban yang tidak terbantahkan.

​Di tangannya, alat tes itu menunjukkan dua garis merah yang tegas.

​"Mas Raka... Luna..." Suara Naira bergetar. "Aku hamil."

​Raka langsung memeluk Naira, mengangkatnya, berputar. Tawa Raka menggema di seluruh rumah, tawa yang penuh kelegaan dan kegembiraan. Itu adalah tawa seorang suami yang bahagia.

​Luna menyaksikan pemandangan itu. Raka tidak memandang Luna lagi. Ia telah kembali ke perannya yang paling utama—suami yang ideal.

​Luna telah melihat kebenaran yang paling menyakitkan: ia hanyalah selingan yang memungkinkan Raka menjadi lebih baik dalam perannya sebagai suami Naira. Anak ini adalah kemenangan Naira, dan kekalahan telak Luna.

​Di sudut ruangan, mawar putih itu terlihat semakin manis, semakin menjijikkan.

1
kalea rizuky
benci perselingkuhan apapun alesannya sumpah eneg bgg
putri lindung bulan: iya kk, aku juga benci,tapi mau apalagi,nasi sudah jadi bubur
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!