Wulan masih tidak percaya bahwa dia telah reinkarnasi ke dalam tubuh seorang perempuan yang cantik namun tidak bahagia. Dia adalah istri dari kapten yang tampan dan berkuasa, namun dingin dan tidak peduli dengan istrinya.
Wulan mempunyai janji dengan jiwa aslinya, yaitu mengubah takdir hidup sang kapten agar jatuh cinta dengan tubuh istrinya yang bermana Livia. Tapi bagaimana caranya? Kapten tersebut sangat dingin dan tidak peduli dengan istri.
.
Namun, semakin Wulan mencoba untuk mendekati sang kapten, semakin dia menyadari bahwa kapten tersebut memiliki luka yang dalam dan tidak mudah untuk diobati.
Wulan harus mencari cara untuk menyembuhkan luka tersebut agar sang kapten dapat membuka hatinya dan jatuh cinta dengan Livia.
Bagaimana kelanjutan cerita Wulan? Apakah dia berhasil mengubah takdir hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aira azahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 33
"Ka-kamu ...." Livia mengepalkan tangannya dengan kuat. "Tidak ada gunanya aku berdebat dengan pria sialan ini," batinnya. "Terima kasih atas perhatiannya, Pak Juan. Sepertinya kamu jauh lebih cocok jadi suamiku, dibandingkan Alex. Kamu sangat peduli denganku saat ini, seperti seorang kekasih cemburu melihat kekasihnya bersama pria lain. Iyakan? Sedangkan suamiku ..... dia sangat jauh, benarkan?"
Livia mendorong tubuh Juan dan sampai jatuh ke kursi.Tangannya yang lentik itu, menarik kerah baju Juan dan tersenyum kecil.
Juan langsung terdiam seketika, jantungnya berdegup kencang diperlakukan wanita seperti ini. Apa lagi, ini adalah pengalaman pertamanya. Tentu yang lain melihat secara langsung, ada kamera tersembunyi dan langsung terhubung ke Alex langsung.
Livia menekan bahu Juan dengan kasar, saat Juan mau pergi dari kursi itu. "Mau pergi ke mana calon suamiku?"
Juan menatap Livia dengan tatapan canggung. Tenggorokannya terasa kering, sulit untuk menelan air liur, saat Livia membuka mantelnya perlahan, memamerkan postur tubuhnya yang dibalut pakaian seksi.
Detak jantung Juan semakin cepat, perasaan tak nyaman mulai menguasainya. "Kenakan mantelmu, Nona. Apa kamu tidak khawatir kalau suamimu marah?" ucapnya dengan nada tertahan, mencoba mempertahankan sisa-sisa rasionalitas yang dipunya.
Namun, Livia sama sekali tidak terpengaruh oleh kata-kata Juan. Jarinya yang lentik menyentuh wajah pria itu, menelusuri lekuknya dengan penuh keberanian. "Kenapa kamu tegang, Pak? Suamiku tidak ada di sini, kan? Kita bisa menjalin hubungan diam-diam di belakangnya. Kamu tahu sendiri, mereka pasti tidak berani macam-macam denganmu. Kamu itu atasan mereka. Benar, kan?"
Kata-kata Livia menusuk Juan seperti sembilu. Juan tidak bisa menyembunyikan rasa jijik pada sikap istri temannya sendiri, yang tampaknya tak memiliki batas moral sedikitpun.
Juan akhirnya tidak tahan lagi. Dengan spontan, ia mendorong bahunya, mencoba menjaga jarak. Namun, gerakannya yang tergesa-gesa justru membuat tubuh Livia hampir terjatuh ke lantai.
Sejenak Juan merasa panik, dan reflek menangkap pinggangnya untuk menahan agar Livia tidak benar-benar terjatuh. Perasaan yang sudah kacau balau menjadi semakin rumit.
Livia tersenyum samar, senyum yang penuh arti, membuat Juan semakin merasa terperangkap dalam situasi yang buruk. Juan mencoba mengalihkan pandangan, tapi matanya tertarik oleh kecantikan Livia, membekas tanpa henti dalam pikiran.
Rasanya Juan seperti terjebak dalam dilema. Di tengah kekacauan itu, akhirnya ia membuka suara, mencoba mengklarifikasi gerakan, meski sadar alasan ini terdengar rapuh. "Ak-aku minta maaf, tadi hanya berniat menolongmu agar tidak jatuh, Nona," ucapnya dengan gugup, suara yang terdengar lebih seperti pembelaan daripada kejelasan.
Di dalam benak Juan, satu nama bergema keras—Alex. "Jika dia tahu tentang hal ini, bagaimana reaksi dia?" pikirnya. Rasa takut, rasa bersalah, dan rasa frustrasi bercampur jadi satu. Ia bahkan tidak tahu harus bersikap seperti apa. Ia hanya berharap ada jalan keluar dari situasi yang semakin mempermainkan keteguhan ini.
Livia terkekeh mendengarnya. "Mau membantuku, atau ada maksud lain? Jangan berpura-pura begitu, Pak. Selagi suamiku jauh, kita bisa melakukan apa pun."
"Aku harus jauh-jauh dengan istrinya, Alex. Dia sedikit aneh tadi, pasti Alex marah besar kepadaku. Alex mengira aku mengambil kesempatan menggoda istrinya," batin Juan mengusap keringat di keningnya. "Aku tidak macam-macam denganmu, Nona. Aku pria terhormat dan setia kawan!"
"Setia kawan? Baru seperti ini, kamu sudah berkeringat seperti itu. Apa aku kurang seksi?" kedip mata Livia menggoda Juan di depan temannya.
"Kalian balik badan!" perintah Juan, menatap tajam ke arah Livia yang sudah membuatnya panas-dingin.
"Aaahh .... Pak Juan! Hentikan tangan nakalmu!" Livia berpura-pura mendesah, sontak membuat Juan kelabakan jadinya. Ia tahu, di tubuh mereka dipasang penyadap suara.
Juan segera mendekati Livia dan membungkam mulut dengan tangannya. Adegan itu, langsung Livia menarik leher Juan dan jatuh ke pelukannya.
Seketika pandangan mereka semua tertuju ke arah mereka. Mata-mata yang penasaran berubah menjadi keterkejutan, terpaku pada pemandangan yang tak terduga.
Juan meronta di tangan Livia, tepat di lehernya memegangnya erat, memastikan Juan tak bisa mengelak dari situasi ini.
Wajah Juan memerah, nadanya penuh frustrasi saat mencoba membela diri, "Alex, kamu salah paham! Aku dan istrimu tidak melakukan apa pun!"
Livia hanya terkekeh kecil mendengar itu. "Tidak melakukan apa pun, Juan?" balas salah satu dari mereka dengan sinis.
"Kami melihat semuanya dengan mata kepala sendiri! Pelukanmu dengan istri teman? Apa itu bukan bukti yang jelas?"
Juan menggertakkan giginya, jelas tersulut. Matanya memicing tajam ke arah Livia, lalu ia berseru kasar, "Sialan! Kita pergi dari sini! Lihat saja nanti, Livia!" Nadanya penuh amarah, mungkin lebih karena harga dirinya yang diinjak-injak di depan banyak orang daripada rasa bersalah.
Namun, Livia tak peduli. Tawa meluncur begitu saja dari bibirnya, tajam dan penuh kemenangan. Juan, pria sombong yang selalu merasa bisa mendikte orang, akhirnya terusir tanpa bisa membalas.
"Makanya, Pak Juan," ucap Livia seraya menatapnya, "jangan macam-macam denganku. Aku bukan tipe yang bisa kau permainkan."
Kemudian, ingatannya beralih ke Alex. "Dan kamu, suami tidak waras yang tega mengirim teman seperti dia? Serius, apa yang sebenarnya kamu pikirkan?" Livia menggeleng pelan, mencibir situasi absurd yang baru saja terjadi.
*********
Buughh
Buughh
Juan baru saja menerima pukulan keras dari Alex begitu menginjakkan kaki di kapal pesiar ini. Rasa sakit di pipi menyengat, tapi kemarahan Alex jauh lebih menyesakkan dibandingkan rasa fisik itu.
Juan berusaha mempertahankan sikap santai, meski dalam hati ia tahu situasinya jauh lebih rumit dari apa yang tampak. “Alex, kamu menyalahkan aku? Istrimu sendiri yang datang kepadaku! Dia yang mulai duluan, menggodaku seperti aku ini pria terakhir di dunia!"
Juan membalas dengan nada menantang. Tapi di balik kata-kata itu, ada sekelebat ingatan tentang Livia—senyumannya, matanya yang berbinar. Ada sesuatu di sana yang sulit disingkirkan. Ia tahu ini salah, tapi kenapa Livia terus muncul di pikirannya?
Alex menatap Juan dengan api di matanya, kepalan tangannya kembali mengancam. "Aku sudah memberimu perintah kemarin, Juan! Jangan dekat-dekat dengan istriku, paham?! Tapi apa yang terjadi, hah? Kamu malah menikmati dipelukan istriku, bahkan aku mendengar suara desahan dari mulutnya sendiri! Jangan coba-coba berbohong lagi! Kamu sengaja memanfaatkan situasi untuk menyentuh dia, kan? Apa kamu tak punya harga diri sedikit pun?!" Suara Alex menggema keras, dan Juan tahu bahwa kemarahan itu tulus.
Tapi Juan tak bisa menahan senyum sinisnya. "Bukankah kamu pernah bilang kalau kamu membenci istrimu sendiri, Lex? Kamu bahkan terlihat ingin mengakhiri semuanya dengannya. Jadi kenapa kamu marah besar seperti ini sekarang? Atau mungkin ada yang berubah, dan kamu sebenarnya tidak rela melihat pria lain mendekatinya? Jangan-jangan kamu malah menyesali ucapanmu sendiri."
Juan melontarkan kata-kata itu tanpa ragu, memancing lebih banyak emosi dari Alex. Entah kenapa, dalam situasi kacau ini, bayangan Livia terus menguasai pikirannya. Ia benci mengakuinya, tapi ada magnet aneh yang Livia miliki, seolah ingin menguasai seluruh akalnya.
"Brengsekk ...!"