Demi melunasi utang ayahnya yang menumpuk, Rumi rela menikah kontrak dengan Radit, duda kaya raya yang kehilangan istrinya tiga tahun silam karena perceraian.
Bagi mereka, pernikahan ini tak lebih dari sekadar kesepatakan. Rumi demi menyelamatkan keluarganya, Radit demi menenangkan ibunya yang terus mendesak soal pernikahan ulang. Tak ada cinta, hanya kewajiban.
Namun seiring waktu, Rumi mulai bisa melihat sisi lain dari Radit. Pria yang terluka, masih dibayang-bayangi masa lalu, tapi perlahan mulai membuka hati.
Saat benih cinta tumbuh di antara keterpaksaan, keduanya dihadapkan pada kenyataan pahit, semua ini hanyalah kontrak. Dan saat hati mulai memiliki rumah, mereka harus memilih. Tetap pada janji atau pergi sebelum rasa itu tumbuh semakin dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurAzizah504, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Pelukan yang Terlambat
Ketika dua garis merah muncul jelas, air matanya mulai mengalir tanpa bisa dibendung. Ia merasakan campuran bahagia, takut, dan haru yang begitu dalam. Tangannya menggenggam testpack itu erat-erat, seperti memegang sebuah keajaiban kecil yang selama ini ia impikan.
Rumi berjalan pelan menuju ruang kerja Radit. Beberapa hari ini, Radit mengurangi jam kerjanya ke kantor. Ia ingin menghabiskan banyak waktu bersama Rumi, menemaninya sampai benar-benar tenang.
Rumi membuka pintu perlahan, memperlihatkan Radit yang sedang serius menatap layar laptop.
Melihat Rumi berdiri di ambang pintu dengan mata berkaca-kaca, Radit segera menghampirinya. "Ada apa, Sayang? Kenapa kamu terlihat seperti itu?"
Rumi menelan ludah, suaranya bergetar saat berkata, "Mas, aku ... aku hamil." Suara itu pelan tapi penuh harap.
Wajah Radit langsung berubah. Ia terdiam beberapa saat, matanya mulai berkaca-kaca, kemudian ia menarik Rumi ke dalam pelukan hangat. Tangannya gemetar memegang pinggang Rumi, seolah takut keajaiban ini cuma mimpi.
"Benarkah, Rumi? Ini ... ini yang selama ini kita tunggu?" bisik Radit dengan suara serak, seolah menyadari betapa berharganya momen ini.
Rumi mengangguk, air matanya semakin mengalir. "Iya, Mas. Aku takut, tapi aku juga sangat bahagia."
Radit menatap wajah Rumi penuh cinta dan janji. "Kita akan melewati semuanya bersama, Rumi. Aku janji tidak akan pernah membiarkan kamu dan bayi kita terluka."
Mereka berdua terdiam dalam pelukan itu, menikmati kehangatan dan kebahagiaan yang muncul setelah masa-masa sulit. Sebuah awal baru untuk keluarga kecil mereka yang akan segera bertambah.
Radit dan Rumi duduk berdua di ruang pemeriksaan rumah sakit, suasananya hening penuh harap. Dokter mulai memeriksa Rumi dengan hati-hati sambil memantau layar USG.
"Alhamdulillah, janin sehat dan tumbuh dengan baik," kata dokter sambil tersenyum menenangkan.
Rumi dan Radit saling bertukar senyum lega.
"Tapi saya perlu jelaskan ada sedikit kendala pada kondisi rahim Rumi," lanjut dokter. "Hal ini mungkin akan membuat proses kehamilan memerlukan perhatian ekstra dan perawatan khusus agar tetap berjalan lancar."
Rumi mengangguk pelan, meskipun sedikit khawatir, tapi lebih merasa lega karena janinnya sehat.
Radit menggenggam tangan Rumi erat-erat, "Kita akan jalani ini bersama, aku selalu ada untuk kamu."
Rumi menatap mata Radit penuh rasa terima kasih, air mata haru mulai menggenang.
Dokter pun memberikan beberapa saran tentang perawatan dan jadwal kontrol rutin agar kondisi Rumi dan janin selalu terpantau dengan baik.
Setelah pemeriksaan selesai, Radit dan Rumi berjalan keluar menuju mobil. Hati mereka bahagia dan penuh harap.
Sesampainya di rumah, mereka terkejut melihat sosok pria berdiri di depan pintu—Anwar. Wajahnya tampak lelah dan penuh penyesalan.
Rumi sempat terdiam sejenak, hatinya campur aduk antara haru dan cemas.
Anwar menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara serak, "Rumi, Bapak sudah banyak berpikir selama ini. Bapak salah karena telah memperlakukanmu seperti itu."
Rumi menunduk, air mata mulai menggenang.
Radit menatap pria itu dengan waspada tapi memberi kesempatan.
"Bapak ingin minta maaf, Rumi. Bapak ingin mencoba memperbaiki semuanya. Bukan untuk Bapak, tapi untukmu dan kebahagianmu di masa depan."
Rumi menatap Radit lalu kembali ke ayahnya. Suasana hening, penuh haru dan harapan baru.
Kedua mata Anwar terlihat merah, menandakan banyak air mata yang sudah ia tahan lama.
"Rumi, Bapak tahu, Bapak sudah membuatmu sakit hati," suaranya berat dan penuh penyesalan. "Bapak, Bapak salah. Semua amarah dan kata-kata kasar itu, Bapak menyesal. Bapak bodoh karena tidak mengerti betapa berartinya kamu buat Bapak. Kamu adalah hadiah terindah yang ibumu tinggalkan buat Bapak."
Rumi menunduk, bibirnya bergetar. "Kenapa baru sekarang, Pak? Setelah sekian lama Bapak buat Rumi merasa seperti beban?"
Anwar mengusap wajahnya. "Karena Bapak tahu, kamu sedang membawa harapan. Bukan hanya untukmu tapi untuk keluarga kita. Bapak ingin berubah, Rumi. Bapak ingin jadi ayah yang kamu butuhkan. Meski ini sangatlah terlambat. Karena sekarang, kamu sudah mempunyai suami yang siap melindungimu dalam segala hal."
Radit yang berdiri di samping Rumi, mengangguk pelan. Ia menggenggam tangan Rumi, seolah mengatakan apa pun keputusan Rumi, Radit akan selalu bersamanya.
Rumi menatap ayahnya, air mata mengalir deras sekarang. "Rumi juga ingin percaya, Pak. Tapi tolong, jangan pernah membuat Rumi merasa seperti anak pembawa sial lagi."
Ayahnya mengangguk, menahan tangis. "Tidak, Rumi. Bapak berjanji akan memperbaiki semuanya."
Suasana sunyi tapi penuh haru, membuka lembaran baru di antara mereka.
...****************...
Cahaya pagi menyelinap lembut lewat celah-celah dinding papan rumah tua itu.
Dedaunan di luar bergoyang pelan, bayangannya menari samar di lantai kayu yang mulai lapuk dimakan usia. Di teras, Rumi duduk membisu. Tubuhnya bersandar lesu di kursi reyot yang sejak kecil setia menemani tiap kali ia butuh diam.
Hening. Hanya suara ayam tetangga dan gemericik air dari dapur yang sesekali memecah sunyi.
Tak lama, ayahnya muncul. Wajah yang biasanya kaku dan dingin itu tampak berbeda pagi ini—ada gelisah yang tak biasa. Di tangannya, semangkuk bubur beras merah, hangat, seadanya.
"Ini Bapak masak sendiri. Nggak enak, pasti. Tapi makanlah. Kamu butuh tenaga."
Rumi menatap mangkuk itu. Matanya berkaca-kaca. Bahkan saat demam tinggi atau sakit keras dulu, tak pernah ada perlakuan semacam ini darinya.
Ia menelan gumpalan haru yang nyaris menyumbat tenggorokan.
"Terima kasih, Pak," ucapnya pelan, suara nyaris tak terdengar.
Ayahnya diam. Menarik napas panjang, lalu duduk di sebelah Rumi. Beberapa detik berlalu dalam sunyi. Lalu, suara beratnya kembali terdengar, pelan, seakan takut melukai.
"Bapak dengar dari Radit. Kamu … hamil, ya?"
Rumi mengangguk. Pelan. Ia tak berani menatap. Takut ditolak. Takut dimarahi seperti dulu-dulu.
Tapi yang datang justru tangan kasar itu—yang dulu lebih sering mendorong atau menampar—kini hanya diam di pundaknya. Ragu. Tapi hangat.
"Bapak nggak pernah jadi ayah yang baik buat kamu, Rum. Bahkan sejak kamu lahir, Bapak salah. Terlalu marah sama hidup. Marah karena kehilangan ibumu. Padahal kamu lah satu-satunya peninggalannya yang paling berharga."
Tangis Rumi pecah. Ia meraih tangan ayahnya, tangan yang kini gemetar.
"Ibu pasti pengin lihat kita akur, Pak."
Anwar mengangguk. Air matanya jatuh diam-diam. Suaranya lebih lirih dari biasanya.
"Maafin Bapak, Nak. Kalau kamu masih mau, izinkan Bapak bahagiain kamu. Meski cuma dari jauh. Biar nggak nyusahin.”
Rumi langsung memeluknya. Erat. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun. Tak peduli bubur jadi dingin, atau kursi reyot mereka berdecit tak stabil.
Pagi itu, pelukan yang selalu Rumi rindukan akhirnya datang meski sedikit terlambat.
Dan di balik sunyi yang menyelimuti pagi, ada dua hati yang perlahan saling sembuh.