Istri kedua itu memang penilaiannya akan selalu buruk tapi tidak banyak orang tau kalau derita menjadi yang kedua itu tak kalah menyakitkannya dengan istri pertama yang selalu memasang wajah melas memohon simpati dari banyak orang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ranimukerje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33
Kali ini, nara benar benar merasa diabaikan. Sosok wisnu yang penuh cinta selalu menurut sudah tidak ada lagi. Sejak membawa dirinya pulang kerumah orangtuanya, tak sekalipun wisnu datang bahkan menanyakan kabarnya lewat telpon pun tak pernah. Sudah hilang baru terasa, begitulah yang nara alami sekarang. Sejak awal, cinta wisnu itu besar sampai membuat nara besar kepala. Yang ada dalam benak nara adalah wisnu itu cinta mati pada diririnya jadi saat wisnu begini nara baru kelimpungan.
"Kenapa?" Tanya hermanto saat mendapati putrinya duduk melamun di meja makan.
Nara diam tak menyahuti pertanyaan sang ayah.
"Sekarang baru mikir? Sudah tau wisnu itu ladang basah, kamu malah buat ulah yang bikin hidup kita diambang kehancuran."
Nara melirik sinis kearah ayahnya.
"Papa bisa ga sih, diem. Diem gitu pa kalau emang ga bisa kasih solusi."
"Kamu memang harus kapok dulu baru otaknya bisa dipakai buat mikir. Sekarang mending kamu cari wisnu ke rumah orangtuanya. Baik baikin dia, kalau perlu kamu menjelma jadi menantu baik hati didepan mertua."
"Buat apa? Yang ada mereka makin ngehina aku."
"Ga ada cara lain, kamu memang harus baik baikin wisnu. Sekarang uangnya memang masih bisa kamu dapetin tapi ga tau nanti kalau anak itu udah lahir."
"Mereka akan cerai setelah anak itu lahir." Suara nara meninggi.
"Apa jaminannya? Sekarang saja wisnu sudah berubah, kamu dipulangkan secara halus. Apa kamu ga ngerti dengan apa yang suami mu lakukan? Tujuannya untuk apa? Nara, kamu jangan jadi bodoh karena merasa wisnu itu cinta mati sama kamu."
Deg
Nara diam terpaku. Semua apa yang ayahnya katakan, benar. Wisnu berubah, ketakutan ketakutan mulai muncul dan nara langsung membara amarahnya.
Brak
Nara menggebrak meja.
Hermanto yang masih berdiri disana sampai berlonjak karena kaget.
"Kamu gila, hah. Mau bikin papa jantungan dan mati mendadak!"
Nara tak perduli dengan umpatan ayahnya, ia memilih pergi. Naik kelantai dua dimana kamarnya berada.
Didalam kamar. Nara langsung meraih ponsel diatas meja rias yang tadi sengaja ia tinggal karena sedang diisi daya nya.
Satu nama diurutan pertama. Mas wisnu❤
Nara langsung menekan tanda panggil. Tak langsung diangkat diulang sampai lima kali dan tetap wisnu tak menerima panggilan itu. Emosi dalam diri nara sudah siap meledak. Akhirnya dengan tangan gemetar nara menuliskan satu pesan.
"Mas, kamu dimana? Kenapa telpon ku ga diangkat?"
Send
Centang dua tapi belum dibaca.
1 jam 2 jam 3 jam bahkan sampai sore menjelang malam wisnu tak kunjung membaca pesan itu. Nara sempat ketiduran dengan ponsel dalam genggaman.
"Sesibuk itukah?" Lihir nara untuk dirinya sendiri.
Kenapa baru sekarang kekosongan itu terasa batin nara perih.
.
.
.
Tawa ringan terdengar dari arah dapur bersih. Disana febri berdiri dengan celemek dan tangan bau tepung juga telur. Sejak sore menjelang langkahnya pelan tapi tetap teratur. Sibuk didapur membuat bolu dan beberapa jajanan pasar yang memang sejak beberapa hari ia idamkan.
"Ma" Bisik wisnu saat ibunya baru datang entah darimana.
"Hmm"
"Itu dari jam berapa didapurnya?"
Dewi mengedikkan bahu.
"Mama aja baru pulang, gimana tau istrimu didapur dari jam berapa."
Dewi melangkah pelan, meletakkan tas jinjingnya diatas meja makan lalu menggulung lengan kemejanya guna membantu menantu kesayangannya menyelesaikan misi mengidam jajanan pasar.
"Mama udah pulang?"
Febri tampak sumringah saat mendapati kehadiran ibu mertuanya. Wajah febri nampak merona tanda bahagia.
"Mama baru sampe, lihat kamu didapur jadi mau bantu."
"Sudah beres bu, tinggal tunggu beberapa kue yanh belum matang." Jawab bibi yang sejak awal membantu febri dalam membuat semua jajanan yang febri inginkan.
"Buat apa aja bi?"
"Bolu jebra, kolak biji salak, talam ketan lambang sari sama lapis tepung beras."
"Beneran jajanan pasar ya?"
Febri nyengir.
Elusan dipucuk kepala febri langsung membuat febri menoleh kearah belakang. Disana wisnu berdiri dengan kemeja kusut dan wajah lelah.
"Mas udah pulang? Aku buatin teh mau?"
Wisnu cepat menggeleng.
"Kita kekamar aja ya, kamu istirahat dulu mandi juga. Yang belum matang biar dilanjut sama yang lain."
Febri mengangguk setuju. Digandeng dengan langkah pelan oleh wisnu. Sekarang ini febri sudah sedikit kesulitan bergerak karena kehamilannya sudah makin besar.
Mandi sudah rebahan sambil kaki dipijat lembut oleh wisnu juga sudah. Sekarang si ibu hamil tengah berjalan pelan menuruni anak tangga menuju ruang makan untuk menikmati jajanan yang tadi sudah dibuat. Harum daun pandan bercampur manisnya gula langsung menguar membuat senyum febri makin merekah.
"Mba febri udah mandi? Saya buatkan teh sekarang ya?" Tanya bibi yang saat itu sedang sibuk menata kue kue yang mereka buat tadi diatas meja makan.
"Iya bi, boleh. Duh ga sabar mau cicip."
Febri duduk tapi sebelumnya sudah mencomot satu kue lapis warna warni. Rasa manis gurih langsung memenuhi mulut membuat hati febri makin senang. Teh siap bersamaan dengan datangnya wisnu dan kedua orangtuanya. Sore menjelang malam, mereka menikmati jajanan pasar itu dengan ditemani teh hangat. Tak perduli jam makan malam akan segera datang yang pasti hati ibu hamil harus dibuat senang.
Disela obrolan sambil menikmati kue kue yang tersaji. Lim kusuma bertanya dengan nada antusias.
"Kapan waktu USGnya lagi? Papa mau temani, siapa tau kalau opa ikut adik bayi mau kasih tunjuk jenis kelaminnya."
Tawa dewi pecah, pasalnya sudah 2 kali di cek si jabang bayi tak mau bekerja sama saat dokter mencari letak kelaminnya. Selalu bersembunyi dan itu sungguh menggemaskan sekali. Membuat semuanya penasaran dan berujung saling tebak.
Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang menyaksikan kebersamaan hangat itu dari balik pintu. Nara berdiri dengan tubuh kaku, tak menyangka kalau ayah mertuanya bisa selembut itu pada febri sementara pada dirinya lim kusuma selalu bersikap dingin dan memasang wajah datar tak tersentuh. Begitu juga dewi, dewi selalu tersenyum setiap kali melihat kearah febri yang terlihat sudah mulai kesulitan bernapas karena perutnya yang kian membesar.
Dan, yang paling menyakitkan adalah suaminya. Wisnu begitu hangat juga perhatian pada istri keduanya itu. Tanpa terasa, air mata nara luruh tak bisa dibendung. Kali ini, nara benar benar merasakan sakit yang teramat sangat. 6 tahun menjadi menantu dan hampir 1 tahun memiliki madu belum pernah sekalipun ia bisa bercengkrama dengan orangtua suaminya. Seperti apa yang febri lakukan, diperlakukan manis penuh sayang. Yang nara ingat adalah, setiap kali bertemu dengan mertuanya ia akan selalu kesal dan perlakuan ayah dan ibu wisnu selalu saja dingin seperti abai pada dirinya.
"Mereka bahagia tanpa aku. Mereka menyukai febri tapi tidak menyukai aku."
#Happyreading
nara dan org tuanya tak benar" menganggpmu sbg bagian dri keluarga.... mereka hnya mnjadiknmu mesin uang.....
miara ular ber bisa kok betah amat wisnu....
jgn nnti bilang nyesel klo febri prgi dri hidupmu krna kmunya menye" g jelas... & msih sja mmberi nara ksempatan brbuat ulah untuk yg ksekian kalinya...
km permpuan egois... punya kekirangan tpi ttp sja g berubah tetap aja miara pola hidup buruk....
jgn salahkn suamimu bila kelak mmbuangmu nara.... suamimu jga makin lama bkalan muak dgn sikapmu yg semakin g karuan... ap lgi madumu perempuan idaman suami dan mertua...