NovelToon NovelToon
Giziania

Giziania

Status: sedang berlangsung
Genre:Sistem
Popularitas:469
Nilai: 5
Nama Author: Juhidin

Ada satu komunitas muda-mudi di mana mereka dapat bersosialisasi selama tidurnya, dapat berinteraksi di alam mimpi. Mereka bercerita tentang alam bawah sadarnya itu pada orangtua, saudara, pasangan, juga ada beberapa yang bercerita pada teman dekat atau orang kepercayaannya.

Namun, hal yang menakjubkan justeru ada pada benda yang mereka tunjukkan, lencana keanggotaan tersebut persis perbekalan milik penjelajah waktu, bukan material ataupun teknologi dari peradaban Bumi. Selain xmatter, ada butir-cahaya di mana objek satu ini begitu penting.

Mereka tidak mempertanyakan tentang mimpi yang didengar, melainkan kesulitan mempercayai dan memahami mekanisme di balik alam bawah sadar mereka semua, kebingungan dengan sistem yang melatari sel dan barang canggih yang ada.

Dan di sini pun, Giziania tak begitu tertarik dengan konflik yang sedang viral di Komunitaz selain menemani ratunya melatih defender.

note: suka dengan bacaan yang berbau konflik? langsung temukan di chapter 20

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juhidin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chap 20 Main Drama

Hen Hen mengajukan les privat, ingin belajar telekinetis pada waktu yang dapat dia tentukan. Jihan sebagai satu-satunya telkin anywhere, yang berskill konstan di manapun dia berada, menolak.

Hen Hen sudah mampu mengendalikan benda di wilayah sendiri. Bahkan tak hanya dia, semua tuan rumah punya kuasa telekinetis di wilayahnya.

Maka, les privat sama juga bohong. Jihan hanya akan melatih atlet dayung untuk sampan yang ada di gurun pasir bila membuka les privat. Bagaimana mungkin perahu gurun akan bergerak 'cerdas' jika atlet hanya dibekali dayung air? Les privat tidak akan nyambung dengan masalah utama jika dijalankan.

Mekanisme itu yang Hen Hen tidak tahu.

Di Komunitaz, paradok mereka adalah sisi unparalisis, doppelganger tak tertandingi, boleh disebut malaikat arena. Mengira dia turun untuk kencan or dinner, latihan di jam privat sama seperti mengundang ajal.

Tujuan mereka mengelar latihan adalah tempat asing, merebut kembali kuasa yang diambil kaum paradok.

Kursus digelar untuk menjadikan peserta sebagai penantang di wilayah sengketa, di tempat final.

Jika target les adalah pegawai Hen Hen, sah-sah saja Jihan mendapat bayaran dari muridnya ini.

Hen Hen datang lagi dan menantang Jihan bertarung.

...Main Drama...

Stadion segi enam alias Enfield sesuai bentuknya, adalah lantai logam yang cukup luas dan keras. Di sini ada enam dinding yang tinggi menjadi bagian dari sisi di tepi lapangan.

Namun.. Pagar tribun tak setinggi dinding tersebut. Di sini tinggi pagar tribun hanya setinggi pinggang.

Uniknya lagi, di sini tempat duduk penonton hanya tiga anak tangga saja, dua lingkar sektor.

Lalu ada trotoar tribun. Ini berjarak dua jajar mobil dump truck dari pagar. Dengan adanya trotoar, situasi-kondisi di lapangan jadi tidak nampak, kecuali penonton duduk pilih mode theater dan kacamata, selanjutnya biarkan kameramen yang kerja.

Tampak di celah tribun Ira duduk sendirian. Dia menatap laptop dan menekan enter. Bip! Angka berhenti di status 360 °C.

Ira biarkan operasi peleburan berjalan otomatis. Dia beranjak dari kursi apung, pergi meninggalkan laptop.

"Udah Kak," lapor Ira di pagar tribun, langsung bicara melalui ponselnya tanpa screen-tap alias mode handy talky.

"Stay di situ Ra. Lo setel di tiga ratus enam puluh khan?"

"Iya Kak."

"Sip. Chup!" kecup Jihan pada cincinnya.

"Muah..!" Ira membalas dengan lebay juga, mencium layar ponsel. "Chpp!"

Di lapangan ini Jihan berhenti jalan, mengamati lemari es yang perlahan mulai tenggelam. Dia beralih pada kakinya sendiri yang memang nyeker.

Lantai masih berwarna perak, tidak ada jejak kaki saat Jihan mengangkat siku lututnya.

"Ati-ati Kak."

Cincin berkedip-kedip kembali layaknya lampu mainan.

"Iya."

Tak hanya kulkas, barang-barang lainnya seperti batu, drum minyak, kursi hajatan, gerobak, perabot rumah dengan berbagai ukuran, semua yang berserakan di lapangan heksa, pulang gaya margarin kotak di ketel roti bakar.

Jihan menyapu pandangan ke sekelilingnya. Arena masih baik-baik saja. Dia sama sekali tidak melihat asap.

Galon kosong yang berjarak 9 meter dari Jihan tenggelam tanpa ada api. Bagi benda-benda yang ada, Endfield tempat yang buruk.

Blizt! Seberkas sinar berpendar. Ini seorang pemuda bersetelan hitam pakai sepatu, muncul ala jin cekrek.

"Hai. Absensi."

"Lama banget lo."

Jihan memberikan plat kaca yang sedari tadi dipegang.

"Dia gak pesan apa-apa, Han. Sori. Semangat terus di masa prihatin kita."

Blitz! Petugas event melenyapkan diri.

Ujung kulkas sudah tinggal rodanya. Barang lain dengan ukuran yang sama sudah tenggelam, lelehannya diserap juga oleh lantai.

Lapangan yang tadinya bertebaran sampah kini terlihat bersih kembali dan rata mendatar persis tanah di Antartika.

"Udah Ra. Puterin balik angkanya ke minus tiga derajat."

"Ng.. Iya!"

Saat Jihan lihat, Ira sudah pergi meninggalkan pagar tribun.

Zrrthh! Sebuah garis vertikal menggurat udara. Namun objek kuning ini tidak terbuka jadi lawang pintu, tetap stabil sebagai sobekan dimensi.

Sttth!! Objek baru melesat keluar dari sobekan dimensi.

Sekeluar dari portal, Hen Hen yang masih mengudara, bersuara. "Wey.. Duel.'

Mendengar ajakan itu, Jihan melirik ke kiri dan kanan. "..?!"

Jihan kebingungan.

"Di belakang, Dungu.."

Jihan memutar badan, menuluskan permintaan. Dia mendapati Hen Hen sedang turun.

Mereka sama-sama mengenakan piyama dan tak beralas kaki.

"Kenapa lo baru dateng, Hen? Ini jam bubar, Bubur."

"Duel. Ntar gue jelasin kenapa jadi nasi. Kenapa gue ngeblok nomer lu, kenapa gue bolos les, kenapa dateng-dateng ngerusuh kek gini. Akan dijelaskan pokoknya, Bu," jawab Hen Hen.

"Kalo gue rabun, gue ke optikal.. beli kacamata. Gak butuh penjelasan."

"Cukup! Ayo! Gue Nia. Lo siapa?"

"Gak tau," jawab Jihan. "Diri!"

"Lu guru dungu."

"Bacot. Ayo!"

Gwwtth!! Garis portal menyusut jadi titik. Lalu..

"Aaarh..!"

"?!!"

Ira ditarik sesuatu dari tribun lapangan ke lokasi Jihan, langsung berhenti dari lajunya. Dttth!!

Melihat Ira terbang dan ngerem di ketinggian kepala, Jihan batal kuda-kuda.

"Aduh.. Hhh, hh, hh.. Aku terbang, Kak.. Hh, hh.."

Ira perlahan turun dengan sisa nafas yang menjelaskan kagetnya. "Hh, hhh.. hh."

Di badan Ira sudah terpasang rompi parasut, ada sayap api di punggungnya namun seiring dirinya mendarat, sayap api itu hilang di saat kaki Ira menyentuh Endfield.

"Hh, hh.. Aduh. Kayak gitu Kak, kalo kita onmind?" tanya Ira, kurang lebih bertanya tentang jaringan.

"Hmm. Iya." jawab Jihan.

"April keren. Kak Nina bagiin trik. Gak pelit."

"Hmm. Kebetulan. Kami butuh saksi sama wasit, Ra. Lo di pihak gue, ya. Si Bonin di pihak Hen Hen."

Tiba-tiba..

"Stop!"

Deph..!!

Ira batal bicara saat mendengar suara. Di tengah mereka narasumber alias fire-girl baru saja jongkok, mendarat alat mutan jaring turun dari ketinggian gedung. Rrrhh!! Objek bergetar dan menjelma jadi manusia biasa, lalu berdiri.

"Dua mempelai, saksi, penghulu. Pembukaan duel sah," ucap gadis Phoenix, aksinya seperti sedang melerai tapi kemudian mengadu domba, setuju dengan civil war.

Nina menunjuk Jihan dan Hen Hen sebagai pasangan mempelai, menunjuk dengan jari pada Ira sebagai saksi, dan menunjuk dirinya sendiri sebagai penghulu. Lalu tiba-tiba Nina menyebut pertengkaran itu sah.

"Tapi.. Ini arena bukan ka-wu-a, Kak," protes Ira pada Nina.

"Ini alam sodara lo, Ra. Dunia kakakmu."

"Tapi.. Aku udah klaim kak Jihan. Beliau pacarku."

"Ooh. Kalo gitu kami pinjem dulu, Ra. Di bengkel tribun tadi khan gue udah bilang. Gue butuh, minta ijin lo. Hanya aja gue sampein pake majas. Toh gue juga lesbay. Mempelai yang gue maksud adalah memperkata petarung lihai. Sebagai komentator ya gue sampein pake majas biar keliat panas."

"Tapi.."

"Gini aja deh. Gue bukan mau nikahin, Ra. Gue wasit. Gue tukang misahin."

"Oh. Ya udah. Kami udah mengajukan damai Kak. Tapi kak Hen Hen sepertinya pengen ngobrol lagi sama pacar aku."

Hen Hen langsung ikut bicara. "Begitulah. Tapi gue Nia, Ir. Meranin paradoknya bokin lu. Gue mau bunuh dia," tunjuk Hen Hen pada Jihan.

Ira diam tak menimpali.

"Oke. Sebagai wasit, gue buka duel kalian. Ira diharap ke perimeter aman. Sentuh ikon payung di sabuk kamu."

"Oh iya. Bentar. Mode balon."

Ira meraba jepit sabuknya dan bluph! Bola gelembung aktif mengurung Ira, sebagian tembus ke lantai. Ira perlahan mengambang dan anehnya lantai arena bagai air dalam serat, tak terangkut.

"Kalian bersiap," pinta Nina, sang wasit.

Jihan melanjutkan pose kuda-kuda. Hen Hen menekan jari, mengepal-ngepal tangan sambil memijati jari.

Melihat Jihan dan Hen Hen telah bersiap, Nina membuka acara. "Ya!!"

Nina melayang mundur usai mengaba dan tetap pasang mata memperhatikan dua mempelai. Dia mendapati Hen Hen langsung melesat mengarahkan pukulannya pada wajah Jihan. Nina menoleh ke sampingnya, lalu bicara pada Ira yang lebih dulu melayang.

"Kamu bisa atur ketinggian. Satu ketuk sama dengan satu meter. Kalo mata sabuk di puter ke arah jam dua artinya perketukan itu dikali dua."

"Iya. Tadi aku kaget. Malah disasar ke jam enam. Aku sentuh pake tiga jari, Kak."

"Kalo kamu mau, jadiin April copilot. Dia bisa adaftasi."

"Iya. Makasih Kak."

Nama April yang Nina sebut adalah rompi yang dikenakan Ira.

"Heah!!"

Hen Hen menyerang Jihan dengan kaki.Takh! Sekali tendang, api langsung terpercik sebab Jihan sigap menangkis dengan hasta.

Tampak kulit tubuh kedua gadis ini memiliki perisai siluman (tak terlihat), sehingga saat kain baju mereka kontak, terpercik api tanda Hen Hen menendang penuh tenaga.

Gagal menyerang kepala, Hen Hen mempercepat gerakannya, meninju wajah Jihan dengan bertubi-tubi. Sat-set! Sat-set..! Sat-set!

Jihan meliuk-liukkan kepala secepat serangan Hen Hen, menghindari pukulan peluru. Wat-wet! Wat-wet! Wat-wet!

"Hia!!" tendang Hen Hen, langsung ambil peluang.

Tang..! Jihan sukses menangkis lagi.

"Hea!!"

Tang!

"Egrh!!"

Teng!

"Hiaa.. aa!!"

Gagal menyerang dari sisi, Hen Hen langsung memutar badan melayangkan kaki. Tang! Gagal. Hen Hen segera mengulang aksinya lebih cepat, badannya berputar-putar.

Tang! Teng!

Tang..! Teng! Tang-teng!

Stth! Hen Hen langsung ambil peluang, bergerak cepat ke belakang lawan hingga menjejakkan bayangan tubuhnya.

Ztthh..! Jihan imbangi aksi Hen Hen hingga tinju untuknya berhasil dielak, langsung condong badan ke samping.

"Aarhh!"

Hen Hen pun jengkel hingga dia menambah kecepatan pukulan dan tendangan. Bahkan langsung berpindah ke kanan, pindah ke belakang, pindah lagi ke kiri, lalu pindah ke depan Jihan dengan kecepatan penuh tanpa jeda menyerang. Bunyi-bunyian yang ada, terdengar memekak telinga.

Stth- ztthh.. Crak-crik!

Sat-sit-sut!!

Tang-ting! Teng..!

Sat-set! Sat-set! Sat-set!

Tang-teng.. Tang-teng.. Tang-teng..!!

Nina menanyai Ira tentang gerakan Hen Hen. "Kamu nonton apa Ra?"

"Ng.. Aduh, kok jadi banyak sih, Kak? Mana yang asli? Pada kembar gini.."

"Yeah. Yang asli, yang kontras padet. Bukan yang transparan, ya. Ra."

"Tetap aja aku gak bisa lihat, Kak. Bingung, gimana nontonnya sih, ini."

"Mereka makin gesit."

Di bawah Ira, objek tontonan kini hanya percikan api dan hentakan logam di mana Jihan sedang menangkis hit Hen Hen berulang-ulang tanpa jeda.

Arena sudah tidak menampakkan patung-patung transparan lagi, melainkan bunyi-bunyian logam beradu dan suara konsleting listrik.

Belum semenit acara berlangsung, Hen Hen mendadak muncul di sisi lapangan.

Dukh!!

Hen Hen mengerang saat tubuhnya menghantam dinding. "Aagh!!"

Brugh!

Ira lihat, percikan yang berlangsung di tengah arena lenyap seketika begitu Hen Hen terpental ke dinding.

Wtthh!! Nina melesat ke tempat korban jatuh dan meraba leher Hen Hen, memeriksa detak kehidupan. "Lo bilang duel, pengen bunuh dia, ehh malah kena towel."

"Ugh.. Cepet banget, anjir," aku Hen Hen, bangkit sambil memegangi perut.

"Pemirsa.. Satu point untuk Gizianiaaa!!"

Nina mengumumkan nilai yang didapat Jihan. Sayangnya arena sepi.

"Hore! Asik! Dapet.. Hehe. Muah!" ungkap Ira yang masih mengambang di udara, meluapkan kegembiraan dengan ciuman di kedua tangan, makin senang melihat Jihan.

"Oke. Bersiap buat ronde dua, Len."

"Ogah. Gue pengen ganti lapak. Gak di sini.." beritahu Hen Hen sambil melangkah pergi.

"Len.. Tunggu!"

Hen Hen berhenti jalan, diam tak menoleh ataupun protes.

"Gambarin latar yang lo mau. Perkotaan, hutan, gurun pasir?"

Hen Hen tak menjawab.

"Kalo elo ngotot pengen gelut di sana, kalian bertengkar gak jelas. Bukan lagi duel. Itu sih nyamain gue sama tukang pel. Lo bakal berdarah.."

"Kak Jihan..?" Sementara di sini, Ira kebingungan mencari. Tinggal dirinya di titik tengah arena sepi ini, orang yang dielukan sudah berubah transparan, patung hologram. "Kak? Kak Jihan di mana, ya Pril? Duh. Aku takut kak Hen Hen serius."

Nina yang masih diabaikan, bicara lagi pada Hen Hen. "Mending lo langsung ceritain ke dia, Len. Jangan mancing-mancing hal sensitifnya. Lo tau dia dan gue tuh semi-parasas. Jangan nekat minta dihajar."

Stth! Ira datang dan masih dalam kurungan bola bening. "Kak Nina.."

"Iya, Ra? Kenapa?"

"Mereka sudah pergi."

"...?!"

Nina kaget. Lalu segera menyentuh kepala Hen Hen. Tangan Nina tembus. Nina langsung berdecak. "Ck! Nekat. Abstrak ketemu abstrak jadi gini."

"Mereka pergi, Kak."

Nina mengiyakan dan segera menyentuh sesuatu di depannya dengan ujung telunjuk. Dtth..!

Zrrth! Segaris sayatan terpancang menyalakan pintasannya ke lokasi lain.

"Pemirsa, duel resmi ditutup. Prit! Ayo Ra. Masuk. Mereka dua gokil."

Jalanan yang hancur, gedung-gedung pencakar langit mengelilingi, lampu neon berkedip-kedip di malam hari.

Hen Hen berdiri di atas puing mobil yang terbalik, napasnya teratur, matanya menyala biru. Di seberangnya, Jihan melayang setinggi 3 meter, tangan bersinar merah, senyum penuh keyakinan.

Jihan mengangkat tangan, kalimat formal menggema. "Kau pikir bisa mengalahkan aku di wilayahmu sendiri?"

Hen Hen mengepal geram hingga serpihan beton bergetar di sekelilingnya. Drrgh..!

"Ggr! Aku tak butuh wilayah! Aku butuh kau tergolek tanpa nyawa."

Jihan menyerang pertama kali, tangan merahnya mencengkeram tiang lampu. Grpph! Jihan langsung melemparkannya seperti tombak raksasa.

Whuung!

Gontrang!! Hen Hen menghentikan lemparan di udara, membelahnya dengan dengan memajukan telapak tangan.

Preekh.. pruulukh! Pecahan logam beterbangan.

Hen Hen melompat ke atas, mengangkat reruntuhan dengan telekinesis. "Cobalah ini!"

Dua ton puing beton melesat ke arah Jihan. Tapi Jihan hanya tertawa. "Haha! Maen drama!"

Jihan berubah serius dan menyeringai "Grr..!". Suara tersebut langsung menghancurkan semua benda yang sedang terbang melesat ke arahnya. Craakh..!!

Ada ledakan energi merah, puing-puing menjadi debu yang beterbangan.

Zttthh! Jihan tiba-tiba muncul di belakang Hen Hen. Begh! Tendangan telekinetiknya menghempaskan Hen Hen ke gedung terdekat. Wwshh!

"Kau terlalu lambat!" komen Jihan.

Depph! Hen Hen menahan tubuhnya sebelum menabrak, kaki menyentuh dinding—lalu mendorong. Gedung itu retak di belakangnya saat ia meluncur seperti peluru.

"!!!"

Melihat aksi itu, Jihan mengangkat tangan, perisai merah terbentuk, tapi Hen Hen mengubah arah di udara, menyerang dari samping! Wtthh!!

Hen Hen meninju udara—gempuran biru menghantam Jihan. Blagh!!

Sssh..! Brugh! Jihan sukses dijatuhkan dan terjungkal ke aspal.

"Kau yang lambat."

Jihan bangkit, darah mengalir di sudut mulutnya, tapi matanya bersinar lebih terang. Tanpa peringatan, seluruh jalanan mulai terangkat, aspal, mobil, bahkan pondasi bangunan.

"Hah..?" Hen Hen bingung, menahan serangan itu, tapi kakinya mulai terbenam.

"Lo gak sopan. Gini akibatnya. Heah!" teriak Jihan sambil mengangkat tangan, seluruh kota seolah berguncang.

"Gggh! Dungu. Dasar tukang ngamuk. Ggh," Hen Hen menyilangkan tangan, menahan luapan energi Jihan. "Eggh..!"

"Bacot gak?"

"Ogah! Ggg..!!"

Satu detik.. dua detik..

Energi biru Hen Hen meledak. GBLUGH..!!

Dua kekuatan bertubrukan, gelombang kejut menghancurkan jendela-jendela gedung di sekitarnya. Lalu…

Hening sejenak.

Kedua telkin terdorong ke belakang, keduanya tergolek di tanah tak kuat lagi untuk berdiri.

Hen Hen tersenyum. "Nih baru seru, Han."

Di sini, cincin Jihan baru saja berkedip-kedip, mentransmisikan suara Hen Hen. "Seru pala lo pecah."

Jihan bangkit dari rebahan. Di sebarang sana, dia dapati Hen Hen sudah sama-sama bangun, sudah berdiri lagi dan bersungut-sungut.

"Ngomong salah, diem salah. Apa maumu, Dungu? Kurang seru?"

"Egh..!"

Kedua telkin meluncur lagi, biru dan merah bertabrakan di langit malam. DAASSH!

Di kejauhan ini, rambut Nina terhempas angin. Di sebelahnya Ira berwajah cemas. Keduanya sedang mengudara, menonton dari jauh.

"Kak Jihan.."

"Iya. Dia jatuh, Ra."

Medan pertarungan semakin hancur, debu beterbangan, sisa-sisa energi telekinetik masih berkilauan di udara.

Hen Hen melayang setinggi 20 meter, tubuhnya memancarkan aura biru elektrik. Di bawah, Jihan berdiri di atas puing-puing gedung, energi merahnya membentuk sayap api yang mengerikan.

Jihan dan Hen Hen mengumpulkan kekuatan penuh. Udara di sekitar mereka berdesis, aspal meleleh karena tekanan energi.

"Aku akan menghancurkanmu sampai tak tersisa!"

Suara Hen Hen bergema, seperti dikali seribu desibel.

Jihan tersenyum liar, darah menetes dari gigi yang terkunci.

"Cobalah Hen Hen! Tunjukkan pada dunia. Siapa yang lebih kuat."

"Aaargh!" kerah Hen Hen aura plasma biru berkobar di seluruh tubuhnya tak sedikitpun membakar kain piyama yang dikenakannya.

"Now!" pinta Jihan.

Jihan dan Hen Hen meluncur seperti meteor, Hen Hen dari langit, Jihan dari bumi.

Biru dan merah bertabrakan di tengah-tengah kota mati!

BOOOOOOOM!!!

Gelombang kejut menghancurkan segala sesuatu dalam radius 500 meter. Gedung-gedung runtuh seperti kartu, mobil-mobil terlempar, jalanan terbelah. Debu dan energi liar menciptakan badai mini yang mengaburkan pandangan.

Kontak energi tersebut membuat dua pengerahnya terpental jauh.

Saat terlempar dan tubuhnya sedang melayang, Hen Hen minta sesuatu pada Nina. "Nin, bukaaa... Buka Enfield! Gue mau ultimaaate..!!"

"..??!"

"Now! Cepaaat..!!"

Nina masih melongo menatap tubuh kecil pemintanya yang masih mental melayang di kejauhan sana.

Jihan jatuh. Brugh!

"Uhuk. Mau ngapain.. lagi.. lo Hen.. Keras kepala."

Dengan sisa tenaga, Jihan bangkit berdiri. Namun saat baru berdiri, detik ini Jihan melihat sebongkah logam melaju ke arahnya. "??!"

Rambut Jihan berubah putih, bereaksi sendiri pada benda yang sebesar rumah. Ini tanda kepekaan Jihan meningkat dan empunya rambut kadang masih santai saat bahaya di depan mata.

Jihan tersadar dari sesuatu. "Hm."

Bongkahan logam tersebut berasal dari luar timeline. Hen Hen ternyata mampu melajukannya hingga tepian materi tersebut berkobar jadi plasma, bergesekan dengan udara.

"Helen. Taunya ini tuh elo."

Dttth!! Bongkah logam berhenti, debu mengepul di titik Jihan berpijak.

Sekali pikir, tanpa melakukan gerak apapun, logam langsung berhenti di jarak 1 meter.

Tanah di situ sudah berubah hingga mampu menahan tumbukan yang berlangsung.

"Bangs*t.. Mode peri. Curang. Nge-force," sadar Hen Hen.

Brugh! Bongkah logam jatuh begitu Jihan sukses menghentikannya. Namun Bumi bergetar.

DRRRRHH..!!

Melihat sekelilingnya berguncang, mendadak gempa, Jihan kebingungan.

"??!"

Pusar Jihan langsung berpendar menghisap tubuhnya sendiri. Blizt!

Jrakkh..! Brugh..!! Gedung-gedung roboh atas gempa hebat yang melanda.

"Waduh...Ada apa ini, Kak? Kok semua tempat jadi melesak ke dalam?"

"Gue juga belum ngerti. Tapi gue udah bilangin dia. Dia nekat."

"Dia siapa, Kak?" tanya Ira lagi pada Nina.

Blizt! Jihan muncul di samping Ira.

"He. Bonin ini gara-gara lo."

"Gue udah warning. Tapi dia nekat, Judes."

"Terus, mana si Bohen?"

"Aduh.. Lihat Kak. Semua daratan.. tenggelam."

Jihan dan Nina turut melihat pemandangan yang Ira sebutkan.

Cincin Jihan mengedip-ngedip. "Sialan.. Kenapa temlen gue jadi gini, Han? Gravitasinya jadi naik seratus persen! Jadi dua ge!"

"Helen. Denger.. Di mana majikan lo?"

"A-aman. Kenapa lo baru ngeh soal diri gue, Han?"

Dhuaar!! Bluarh..!! Gunung-gunung meledak di permukaan tanah yang tenggelam.

"Akhirnya, Pemirsa. Planet ini kiamat. Kita mending cabut dulu dari sini. Gerah. Atmosfernya udah gak ngedukung dialog. Kita cabut dulu."

Wtthh! Nina melesat pergi, disusul Jihan dan Ira. Helen yang baru muncul, turut masuk ke dalam garis portal.

Wajah Helen tampak sedih.

Acara Jihan dan Helen dihentikan sebab panggung mereka dalam kondisi kiamat, semua benua runtuh dilahap magma. Lautan mengepul.. membuat Bumi terkurung gas uap.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!