Rui Haru tidak sengaja jatuh cinta pada 'teman seangkatannya' setelah insiden tabrakan yang penuh kesalahpahaman.
Masalahnya, yang ia tabrak itu bukan cowok biasa. Itu adalah Zara Ai Kalandra yang sedang menyamar sebagai saudara laki-lakinya, Rayyanza Ai Kalandra.
Rui mengira hatinya sedang goyah pada seorang pria... ia terjebak dalam lingkaran perasaan yang tak ia pahami. Antara rasa penasaran, kekaguman, dan kebingungan tentang siapa yang sebenarnya telah menyentuh hatinya.
Dapatkah cinta berkembang saat semuanya berakar pada kebohongan? Atau… justru itulah awal dari lingkaran cinta yang tak bisa diputuskan?
Ikutin kisah serunya ya...
Novel ini gabungan dari Sekuel 'Puzzle Teen Love,' 'Aku akan mencintamu suamiku,' dan 'Ellisa Mentari Salsabila' 🤗
subcribe dulu, supaya tidak ketinggalan kisah baru ini. Terima kasih, semoga Tuhan membalas kebaikan kalian...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persahabatan tanpa Perasaan?
...Isi bab mulai 1000k 🤗...
...Nabihan Rui Haru...
...Rayyanza Ai Kalandra...
..._________________...
"Dalam hal apa elo nggak suka, Asaki?" Haru menahan gejolak amarah. "Gue menghargai persahabatan kita demi bunda, tapi itu bukan berarti segala urusan pribadiku harus kalian tahu."
Tatapan Haru beralih ke Fanya dan Asyifa sejenak, lalu kembali menatap Asaki dengan serius. Tak ada yang bisa ia lakukan selain sabar dalam menghadapi ketiga sahabatnya.
Tiba-tiba, Asaki merebut buku sketsa dari tangan Haru. Jelas saja dia emosi. Dia merasa takut posisinya akan diganti oleh orang lain. "Elo nggak akan bisa menemuinya," katanya tajam.
"Kembalikan, Asaki."
"Enggak." Tolaknya dingin. "Elo harus ingat, Haru. Nggak boleh ada orang luar yang masuk dalam lingkaran kita. Elo tahu sendiri kan gimana bundamu benci orang asing. Apa elo berani bikin dia trauma lagi?"
"Gue lebih paham tentang bundaku."
Asaki memutar bola matanya dan tertawa tipis. "Terserah lo, Haru. Tapi gue udah peringatin. Lingkaran ini bukan cuma tentang kita. Ini juga soal nyokap kita. Mereka punya sejarah. Dan kita... ya, kita bagian dari itu."
Haru menghela napas panjang. Ia lelah. Ia muak. Ia ingin menjauh dari semua tekanan, dari rahasia, dari lingkaran yang semakin menyesakkan.
"Gue nggak ngerti arah bicaramu," ucapnya akhirnya. Ia membalik badan, bersiap pergi.
Tapi langkahnya tertahan.
"Dan Haru!" Asaki mengejar. Mengubah ekspresi judesnya menjadi ramah. "Gue bakal ikut elo ke Swiss."
Haru menoleh cepat. "Apa?"
"Setelah gue pikir-pikir... gue mau nemenin elo ke sana. Biar lo nggak kesepian." Tak ingin berlarut dalam emosi, Asaki hampir menyandarkan kepala di lengan Haru. Haru hanya bisa menghargainya.
Tangan kiri Asaki terangkat, "Bayangin deh... kita di Swiss, negeri dengan sistem pendidikan STEM terbaik, ranking atas dalam matematika dan sains. Gimana? Seru kan?"
Telinga Haru hanya mendengarkan. Matanya menyimpan ribuan kalimat yang tak ingin ia ucapkan untuk saat ini. Karena memang benar, banyak hal perlu dia pertimbangkan. Tidak perlu gegabah dan tidak perlu terburu-buru.
Kedua sahabatnya ikut mengejar sambil tertawa ceria. "Kalau gitu, kita berdua juga ikut!" seru Fanya penuh semangat.
"Aku juga mau sih... tapi aku nggak bisa jauh dari Mamah dan Papah," gerutu Asyifa dengan wajah cemberut.
"Anak manja kayak kamu mending di rumah aja, deh. Main boneka atau mainan pasar-pasaran," goda Fanya sambil tertawa.
"Ih, jahat banget! Nanti aku kesepian dong kalau kalian bertiga ninggalin aku... hiks." Asyifa pura-pura merengek sambil mengusap sudut matanya.
Asaki tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. "Lihatlah, Haru... kita berempat udah klop dari dulu. Apa elo nggak ingin persahabatan kita awet, panjang umur... kayak nyokap kita?"
Haru terdiam sejenak, lalu menatap satu per satu wajah mereka. "Iya, elo benar. Tapi seerat-eratnya persahabatan kita, pada akhirnya... kita semua bakal punya keluarga sendiri."
Kalimat itu menghujam tepat ke dada Asaki.
Ia diam membeku.
Seketika tawa kecil di bibirnya lenyap. Ia pernah membayangkan masa depan yang hanya berisi Haru dan dirinya. Berdua, bukan berempat.
Ia menaruh rasa sejak lama, rasa yang tumbuh bukan dari ketertarikan sesaat, tapi dari kebersamaan, dari rasa memiliki, dari harapan untuk disayangi kembali.
Dan kini... kalimat Haru seperti tamparan bahwa posisi dirinya tidak pernah istimewa di hati pria itu. Bahwa Haru masih melihat mereka sebagai "kita berempat." Bukan hanya "aku dan kamu."
Tapi tidak dengan dua gadis centil itu. Fanya dan Asyifa langsung mengangguk setuju, antusias menanggapi imajinasi masa depan.
"Asik juga ya kalo kita punya keluarga, terus anak-anak kita sahabatan juga," ujar Fanya penuh imajinasi.
"Wah iya! Kita bakal jadi sahabat jariyah. Sahabatan yang pahalanya ngalir ke anak-anak kita," sambung Asyifa sambil tertawa geli.
Keduanya saling tos dengan semangat.
Haru ikut tersenyum kecil. "Kalian berdua emang paling bisa bikin hidup ini terasa ringan dan menyenangkan."
"Terima kasih, Haru~" sahut Fanya dan Asyifa bersamaan, serempak dan manja.
Di balik senyum Haru yang tipis, Asaki masih berdiri diam. Ia tahu, senyum Haru bukan untuknya. Dan itu menyakitkan. "Kenapa harus ada orang lain. Tuhan, apa kamu bermaksud mengujiku." Sedihnya.
Dan seperti menemukan sosok yang telah lama ia cari, Haru tiba-tiba berlari. Tatapannya tajam dan penuh harap, mengarah pada seseorang di ujung koridor. Gadis berambut panjang yang tengah berlari menaiki tangga.
"Kita lanjut obrolannya nanti!" seru Haru sambil setengah berlari meninggalkan mereka bertiga.
"Haru!" Asaki memanggil, tetap berniat mengejar, tapi lengannya segera ditahan oleh kedua sahabatnya.
"Udah, biarin aja dia," kata Fanya tenang.
Fanya mencoba menenangkan sahabatnya. "Dia lagi ngurus urusan pribadi, dan kita nggak harus ikut campur, Asaki. Ingat, Haru itu cowok. Memang nggak seharusnya membuatnya selalu bersama kita. Yang penting, kita berempat tetap klop satu sama lain." Fanya ternyata lebih bijak dari yang kita kira.
"Yup. Jangan baper-baper banget, deh," tambah Asyifa sambil mengernyitkan alis. "Gawat lho kalo di antara kita mulai ada yang naksir Haru. Gue nggak mau, ya, persahabatan kita retak gara-gara perasaan."
Asaki menoleh tajam pada keduanya, matanya berkilat karena emosi.
"Kalian sadar nggak sih?!" desisnya dengan suara tertahan. "Haru udah mulai menjauh. Dia nggak lagi sepenuhnya sama kita kayak dulu. Kalian nggak khawatir?!"
Fanya mengangkat bahu santai. "Ya, manusia berubah, Saki. Dia cowok, kita cewek. Wajar dong kalau dia mulai punya kehidupan sendiri."
"Dan elo juga jangan langsung mikir yang jelek-jelek. Kita sahabatan, bukan pengawas hidup Haru," sahut Asyifa.
Tapi Asaki tak mendengarkan. Wajahnya serius dan penuh tekad. "Aku harus cepat-cepat lapor Mama. Cewek itu nggak boleh menggantikanku. Dia nggak boleh jadi prioritas baru untuk Haru."
Ia berbalik dan melangkah cepat, meninggalkan dua sahabatnya yang hanya bisa saling pandang dengan napas berat.
"Yah... dan di sinilah babak baru drama kita dimulai," gumam Fanya sambil menepuk bahu Asyifa.
"Semoga Haru kuat ya... dikejar bukan cuma cinta, tapi juga warisan tekanan keluarga."
Haru mencari,
[POV Haru]
"Dan saat ku tersadar, aku memikirkan tentang dirimu. Itu terasa begitu memalukan. Begitu tak ingin kurasakan. Itu karena aku tak ada keberanian untuk ungkapkan perasaan ini. Perasaan apa?"
"Aku tak ingin secepatnya menyebutnya, Cinta."
"Meski telah kucoba hapus dalam kepala ini, hatiku tak bisa berbuat apapun. Tak kubiarkan kau sadar akan perasaanku saat kita bertemu. Agar segalanya berjalan lancar untuk berbicara denganmu."
"Tapi, tetap saja. Berlagak tenang sudah membuatku lelah. Ingin berhenti berbohong padamu... tetapi"
"Sedikit lagi, sedikit lagi. Jika aku bisa lebih dekat dengan hatimu. Sedikit lagi, sedikit lagi. Agar saat ini tak cepat berlalu. Tolonglah, Tuhan, berikan aku keberanian. Perasaan apa yang sebenarnya muncul di hatiku?"
../Facepalm/