Remake.
Papa yang selama ini tidak suka dengan abdi negara karena trauma putrinya sungguh menolak keras adanya interaksi apapun karena sebagai seorang pria yang masih berstatus sebagai abdi negara tentu paham jalan pikiran abdi negara.
Perkara semakin meruncing sebab keluarga dari pihak pria tidak bisa menerima gadis yang tidak santun. Kedua belah pihak keluarga telah memiliki pilihannya masing-masing. Hingga badai menerpa dan mempertemukan mereka kembali dalam keadaan yang begitu menyakitkan.
Mampukah pihak keluarga saling menerima pilihan masing-masing.
KONFLIK tinggi. SKIP jika tidak sesuai dengan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bojone_Batman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Pertengkaran karena Dinar stress.
"Kenapa dek? Masih terasa sakitnya ya?" Tanya Bang Rinto tak usainya mencemaskan Dinar.
"Nggak, hanya di perut bagian bawah terasa nyeri."
"Apa IUD nya geser???" Memang seusai persalinan Dinar, Bang Rinto meminta dokter untuk memasang alat kontrasepsi.
Terus terang persalinan Dinar membuat Bang Rinto begitu trauma. Ia tidak ingin Dinar hamil lagi atau paling tidak jika Tuhan memberikan kekuatan pada hatinya, rahim Dinar sudah benar-benar siap.
"Dinar nggak tau Bang. Rasanya nyeri saja."
"Awaaaass.. Papa sakit perut..!!" Papa Herca menerobos masuk ke dalam kamar mandi.
Bang Rinto pun mengajak Dinar untuk menyingkir.
~
"Apa itu??" Papa Herca mengambil sesuatu yang terjatuh di lantai kamar mandi.
Sejenak Papa Herca terus mengamati benda tersebut, agaknya dirinya pernah melihat benda serupa tapi entah dimana melihatnya.
Sambil terus berpikir, Papa Herca mandi karena akan kembali ke rumah sakit untuk menemani Ayu.
...
Bang Rinto mengusap perut Dinar, agaknya darah pada masa nifas masih terus ada.
"Kenapa hilang timbul begitu sih dek. Siang malam Abang nggak tenang." Ucap jujur Bang Rinto.
"Karena belum empat puluh hari. Jadi masih begini. Nanti juga sehat sendiri." Kata Dinar.
Bang Rinto mengecup kening Dinar. Hingga saat ini hatinya seringkali masih terasa nyeri. Luka sobek hingga darah menyembur seakan Tuhan menghantam jantungnya secara telak.
"Jangan telat minum obatnya, Ndhuk. Siang malam serasa badai melihat kamu seperti ini."
Dinar tersenyum mendengarnya. Selama ini dirinya merasakan perhatian yang tidak pernah terlewatkan. "Kalau Dinar nggak ada, Abang bisa menikah dengan wanita lain. Wanita yang baik yang lebih segalanya daripada Dinar."
"Ngomong apa kamu ini, jangan melantur kemana-mana. Saya nggak suka..!!!!" Tegur Bang Rinto. Wajahnya sudah menampakan kemarahan yang tidak bisa di uraikan.
"Luka Dinar memang sudah tertutup, tidak sakit lagi tapi Dinar merasa tubuh ini terlalu lelah. Belum sepenuhnya merasa sehat bahkan sering pusing." Ucap jujur Dinar.
Bang Rinto menatap wajah Dinar dengan lekat. "Abang tau. Luka robekan di tubuhmu nggak main-main, sampai dalam. Mau pingsan saya lihatnya, tapi tidak seharusnya kamu bicara seperti itu. Hidup dan mati adalah urusan Yang di Atas. Terus terang Abang kecewa dengan kata-katamu. Di setiap harinya Abang berusaha membuatmu sembuh, mencari obat terbaik, melewatkan waktu istirahat agak bisa menjagamu. Sekarang kamu ingin menyerah, kamu berharap suatu saat nanti Abang menikah lagi. Apa ucapanmu tidak keterlaluan??????"
Bang Rinto bangkit dan keluar dari kamar. Tak sengaja Bang Rinto berpapasan dengan Opa Danar. Opa melihat kedua mata Bang Rinto memerah, pria itu seakan menahan tangis.
Oma Shila melihat situasi tersebut dan segera menyerahkan baby Pandu pada Sherlyn kemudian Oma menarik tangan Bang Rinto.
"Ayo sini, Oma buatkan kopi."
Opa Danar masuk ke dalam kamar lalu duduk di sisi ranjang dan menatap wajah cucu perempuannya.
"Opa dengar apa yang kalian bicarakan. Kali ini kamu salah, ndhuk..!! Wajar suamimu marah. Suamimu kurang istirahat, siang malam hanya terfokus padamu. Opa tau kemarin suamimu mendapatkan teguran keras karena sempat lambat menyelesaikan tugas, itu semua demi kamu. Kenapa kamu mengatakan hal sesensitif itu??" Tegur Opa Danar.
"Maaf Opa, Dinar salah. Dinar hanya merasa tubuh ini tidak segera sehat, banyak obat yang harus Dinar minum, belum lagi jamu tradisional. Jujur Dinar bosan, sampai sekarang rasanya belum juga nyaman beraktifitas." Jawab Dinar.
Opa Danar menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Sebenarnya bukan tugasnya menasihati sang cucu tapi karena beliau yang mendengarnya maka beliau akan menjelaskan sesuai dengan diri beliau yang seorang pria.
"Wajar ndhuk, kamu baru sekitar sembilan belas hari melahirkan. Tubuhmu masih proses pemulihan. Masa nifas adalah hak bagi seorang wanita untuk memulihkan segala apa yang ada pada tubuhnya. Itulah sebabnya wanita adalah makhluk istimewa. Opa paham kamu takut tapi Opa juga paham perasaan suamimu. Andaikan saat itu kamu tidak bisa selamat, mungkin suamimu juga akan mati bunuh diri." Kata Opa menasihati cucunya.
Dengan lembut Opa membelai rambut hitam bersemu coklat itu. "Opa juga akan stress kalau istri berkata seperti itu. Jangankan untuk memikirkan nikah lagi. Lihat istri tidak bisa tidur saja rasanya tidak karuan. Banyak pertanyaan dalam hati. Apa yang salah? Apa masih sakit? Kenapa belum sembuh juga? Aku harus bagaimana?? Rasa gelisah, takut, sakit bercampur aduk menjadi satu. Dalam hati dan pikiran hanya ada istri tercinta. Opa tidak bisa bilang apapun kalau suamimu sangat marah."
Dinar mulai paham. Memang sejak dirinya sakit, ia melihat Sherlyn sudah banyak membantunya. Sempat terbersit dalam benaknya untuk mendekatkan Sherlyn dengan suaminya. Sungguh dirinya takut jika tiba-tiba saja Tuhan mengambil nyawanya sedangkan putra putrinya masih sangat kecil.
"Sherlyn sekalipun tidak akan bisa menggantikanmu." Celetuk Opa.
Hati Dinar terkejut, bagaimana bisa Opa mengerti perasaannya padahal dirinya sama sekali tidak berucap apapun.
"Sherlyn adalah hal kedua yang membuat suamimu marah. Dia tau kamu berusaha mendekatkannya dengan Sherlyn."
~
"Letakan disitu..!!" Sikap dingin Bang Rinto saat Sherlyn mengantar kopi untuknya.
"Ii_ya Mas."
Tangannya gemetar. Sejak kejadian itu dirinya tidak berani lagi bertingkah. Bahkan untuk banyak bicara pun tidak berani. Ia tau Dinar sempat mendekatkan dirinya dengan Bang Rinto tapi kini dirinya tidak seperti dulu. Tidak ada laki-laki manapun di dalam hatinya. Semua sudah cukup. Seperti sehelai pashmina di kepalanya, ia pun ingin berserah pada Tuhan tanpa menoleh pada masa lalunya yang kelam.
"Mas, obat Dinar ada dimana???" Tanya Sherlyn hati-hati.
"Nggak usah urusi Dinar. Biar saya saja..!! Pergilah..!!!" Jawab Bang Rinto ketus.
Saat itu Bang Satria tiba dan melihat Bang Rinto sedikit keras pada Sherlyn.
"Kau ini kenapa?? Kasar sekali." Tegur Bang Satria. Adiknya itu menghisap batang rokok dan menguarkannya dengan kasar.
"Apa saya harus berbaik hati dengan perempuan lain sedangkan istri saya tersakiti???" Bentak Bang Rinto berapi-api. Harus di akui pikirannya benar-benar buntu. "Pergilah kau dari sini..!!! Saya tidak mau melihat wajahmu lagi..!!"
"Rintooo..!!!" Bang Satria sampai meninggikan nada suaranya.
Sherlyn menunduk menahan tangisnya dan berusaha tegar, inilah hukuman yang pantas bagi perusak rumah tangga orang. Ia melangkah pergi.
Dinar yang hendak menghampiri melihat kejadian itu. Perasaannya juga sangat bersalah.
Bersamaan dengan itu Papa Herca datang, beliau melihat keributan di depan matanya.
"Jangan di usir, Bang..!!!!!" Pinta Dinar saat itu
"Setinggi apapun kedudukanmu, saya tetap suamimu..!!!!! Jangan langkahi posisimu sebagai istri saya..!!!!" Bentak Bang Rinto.
"Ono opo iki??? Kenapa ribut begini????" Papa Herca menarik tangan menantunya sembari menerka keadaan.
Papa Herca melihat menantunya sangat marah dan terus menatap Dinar.
"Anakmu meminta Rinto menikah lagi, dengan Sherlyn." Akhirnya Opa Danar jujur mengatakan keadaan yang sebenarnya.
"Heeehh.. ngawur kamu, ndhuk..!!" Papa Herca pun ikut terpancing emosi, beliau refleks memeluk menantunya.
"Suruh dia pergi dari sini..!!" Ucap Bang Rinto mulai melemah.
"Dia tidak akan kemana-mana..!! Saya sudah melamarnya." Sambar Bang Satria kemudian.
Sherlyn kaget tapi tidak bisa berbuat apapun.
.
.
.
.