Istriku menganut childfree sehingga dia tidak mau jika kami punya anak. Namun tubuhnya tidak cocok dengan kb jenis apapun sehingga akulah yang harus berkorban.
Tidak apa, karena begitu mencintainya aku rela menjalani vasektomi. Tapi setelah pengorbananku yang begitu besar, ternyata dia selingkuh sampai hamil. Lalu dia meninggalkanku dalam keterpurukan. Lantas, wanita mana lagi yang harus aku percaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fitTri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Sejoli 2
🌸
🌸
Sosok pak Pardi lah yang berdiri di depan pintu gerbang villa, bersama mobil milik keluarga Sukma Wijaya yang memang diberi kepercayaan padanya. Dan Asyla melihat ke arah kendaraan roda empat itu sekedar untuk mencari tahu, apakah pria itu datang bersama yang lain atau hanya sendiri.
“Saya lagi mudik, sekalian disuruh ibu untuk lihat mas Ale.” Pria itu kembali ke dalam mobil untuk membawa nya masuk ke pekarangan. Dan disaat yang bersamaan muncul pula sang tuan rumah yang berjalan dengan sebelah tangan dimasukkan ke dalam saku celana.
“Disuruh mama ya?” belum apa-apa dia langsung bertanya ketika pak Pardi turun dari mobil.
“Salah sendiri nggak pulang waktu taun baru, ya begini jadinya.” Pria itu menjawab.
“Saya ini bukan remaja lho, Pak. Bahkan sudah pernah menikah.”
“Dan gagal, hahaha.” Pak Pardi tertawa, yang membuat anak majikannya itu berdecak kesal.
“Sudah tau, nggak usah diperjelas gitu dong!” Sedangkan Alendra melirik ke arah Asyla yang bergegas kembali ke dapur setelah yakin pintu gerbang tertutup rapat. Walaupun sebenarnya, tanpa diperiksa pun benda itu memang sudah tertutup seperti seharusnya berkat remot kontrol di tangan Alendra. Tetapi si asisten rumah tangga memang menjalankan perannya dengan begitu baik sehingga tak ada satu hal pun di tempat itu yang luput dari perhatiannya.
“Orang tua itu hanya mau memastikan kalau anaknya baik-baik saja lho, Mas. Bukannya menganggap kalau Mas Ale ini masih remaja.” Pak Pardi mengeluarkan sebuah tas besar dari kursi belakang.
“Apa itu?” Dan Alendra segera merebutnya.
“Makanan.”
“Repot-repot bawa makanan, di sini juga banyak.”
“Itu spesial, Mas.”
“Kenapa spesial?”
“Dari calon.”
“Hah? Calon apa?”
Pak Pardi tertawa lebih dulu.
“Pak!!”
“Kemarin ada keluarganya non Resta, tahun baruan di rumah. Dan mamanya bawa ini. Katanya buat Mas.”
“Resta? Resta yang mana?”
“Itu, yang papanya punya pabrik gula di Kertosari juga.”
“Oh, yang itu. Tapi kok saya lupa?”
“Lupa lah, jarang ketemu.” Dua pria itu duduk di sofa.
“Kenapa makanannya malah dibawa ke sini? Padahal makan saja di Jakarta.”
“Sudah saya bilang ‘kan itu buat Mas, dari calon mertua!” Pak Pardi menggerak-gerakkan kedua alisnya ke atas dan ke bawah untuk menggoda anak majikannya tersebut. Sementara orang yang dimaksud malah menatap ke arah lain di mana Asyla tengah berada di dapur yang ruangannya tak bersekat, sehingga percakapan apapun akan terdengar karena ruangannya memang menyatu.
“Mertua apanya? Bapak ini sembarangan!!” Alendra sedikit salah tingkah. Bukan karena godaan pak Pardi, melainkan keberadaan Asyla di sana yang sudah pasti bisa mendengar percakapan mereka.
Entahlah, ini rasanya seperti kamu sedang membicarakan perempuan lain di depan kekasihmu. Yang jika itu terjadi, maka dirimu berada dalam ancaman. Dia merasa takut Asyla akan salah paham, entah karena alasan apa.
Pak Pardi hanya tertawa, “bercanda, Mas yaelah. Gitu aja serius, pantesan masih jomblo. Padahal mantannya hampir lahiran.”
“Hum? Bapak sudah ketemu Silvia?” Lagi-lagi dia melirik ke arah Asyla yang tengah membuatkan kopi, sepertinya untuk pak Pardi. Wanita itu memang sangat pengertian, dirinya bahkan belum menyuruhnya tetapi dia sudah memiliki inisiatif sendiri untuk menyambut tamu.
“Sudah, dua hari yang lalu. Waktu antar Bapak check up kesehatan.”
“Di rumah sakit?”
“Yaiyalah, masa di rumah duka? hahahah.”
“Bapak bercanda terus?” Alendra menepuk lutut pria itu karena merasa gemas. Sejak dulu dia memang seperti itu, tidak segan untuk bercanda kepadanya. Mungkin karena sudah begitu lama ikut keluarganya, dan pak Pardi bahkan merupakan orang yang ikut mengasuhnya sejak kecil.
“Biar banyak ketawa, Mas. Bikin awet muda, daripada serius terus, malah stress!” Pak Pardi te tawa lagi.
“Memangnya Silvia sedang apa di rumah sakit? Melahirkan?” Kali ini Alendra bertanya.
“Cieeee, penasaran sama mantan. Cieee, tanya soal mantan. Mas ini mau tau atau mau tau banget?” godanya lagi pada anak majikannya itu.
“Ishh!!” Sementara Alendra merasa semakin kesal.
“Diminum kopinya, Pak Pardi.” Lalu percakapan itu terjeda saat Asyla datang menyodorkan secangkir kopi untuk pak Pardi.
“Wuih, kebetulan lagi mau ngopi. Makasih, Asyla kamu memang pengertian!!” Dan segera saja pria itu mencicipinya.
“Cuma bikin satu, Syl?” Alendra bertanya karena wanita itu hanya mememberikan kopi untuk pak Pardi saja.
“Iya. Kenapa, Pak?”
“Saya nggak kamu bikinin?” tanya nya lagi.
“Bukannya tadi udah, ya? Jangan banyak-banyak, Pak. Nggak baik buat lambung.” Asyla mengingatkan.
“Hum?”
“Tadi pagi siang udah, barusan sudah, terus nanti sore sama malam juga pasti minum. Jadi, sekarang nggak usah dulu, ya? Biar lambung Bapak ada jeda gitu, istirahat dari kafein berlebihan.”
“Hah?” Dua pria yang semula berbincang itu sama-sama terdiam.
Alendra merasa kagum dengan perhatian Asyla, sedangkan pak Pardi merasa heran. Kenapa interaksi antara majikan dan pembantunya ini terlihat manis sekali? Ucapan Asyla lebih seperti seorang istri yang sedang mengingatkan suaminya soal kesehatan, sedangkan Alendra yang menurut saja seperti suami pada umumnya.
“Umm ….”
“Pak Pardi mau makan nggak? Kalau mau saya siapkan.” Wanita itu menawarkan.
“Ah, tidak usah. Sebentar lagi juga saya pulang ke rumah. Jadi mau makannya di sana saja, istri saya sudah bikin liwet.” Pak Pardi pun menolak. Ya, selain dapat tugas dari Bu Andin, dirinya juga memang sengaja pulang kampung untuk menikmati liburan tahun baru yang diberikan sang majikan kepadanya.
“Huh, sombong! Cuma bikin nasi liwet saja Asyla juga bisa. Iya kan, Syl?” Alendra mencibir.
“Ya bikin saja sana, sekalian nanti makanya sambil nyobain kue ini nih, dari calon mertua.” Pak Pardi menunjuk bungkusan yang dibawanya dari rekan sang majikan itu.
“Ishh, calon mertua lagi. Mereka itu cuma teman papa saja, Pak.”
“Ya ‘kan dari teman bisa jadi besan.” Lagi-lagi pak Pardi tertawa.
“Ogah!”
“Kenapa? Non Resta ‘kan cantik.”
“Bukan tipe saya.”
“Bukan tipe Mas?”
“Ya.”
“Memangnya selera Mas Ale sudah berubah, ya? Dulu ‘kan sukanya wanita karir yang aktif di luar rumah? Kayak Mbak Silvia, kan?”
Alendra tampak bergidik mendengar kalimat yang terlontar dari mulut sopir kedua orang tuanya itu.
“Kenapa?”
“Terlalu sibuk di luar itu nggak baik juga, Pak.”
“Kan bagus karirnya, banyak koneksi juga untuk memajukan perusahaan.”
“Ya, untuk sebagian orang. Tapi untuk sebagian lainnya, sepertinya ….”
“Maunya ibu rumah tangga saja ya? Biar ada yang ngurus gitu?” Pak Pardi menepuk pundaknya.
“Umm ….”
“Ada, banyak.”
Alendra kembali melirik Asyla yang kembali ke dekat counter untuk mengambil anaknya, lalu dia memutuskan untuk keluar dari area itu.
“Pak, jangan bahas itu lah. Kok jadi ngelantur ke mana -mana? Tadi ‘kan nggak bahas soal ini.”
“Eh, iya. Mas sih tanya terus.”
“Bapak sendiri yang bicara terus?”
“Saya ‘kan cuma menyampaikan yang ibu suruh.”
“Apa?”
“Bilangin, Ale dapat kiriman dari calon mertua.”
“CK!”Alendra memutar bola matanya, kesal. Apalagi ketika pak Pardi kembali tertawa, seolah merasa puas dengan candaannya itu.
“Itulah kenapa saya nggak pulang. Saya males!!”
“Kenapa sih Mas? Cuma pulang plus ketemu orang doang, apa susahnya sih?”
“Buat saya susah karena Mama selalu mencarikan jodoh, padahal saya masih mau begini saja. Cerai pun belum ada setahun.”
“Iya, tau. Tapi yang namanya orang tua kan beda lagi, Mas. Mereka mikirnya udah jauh ke depan.”
“Iya, iya. Sudah jangan dibahas lagi ah, lagu lama!!”
Lagi-lagi pak Pardi tertawa.
“Ceria sekali ya, Bapak ini? Mentang-mentang mau pulang ke istri?”
“Oh iya, dong. Itu sudah pasti.” Pak Pardi pun bangkit setelah menghabiskan kopinya. “Pamit dulu, Mas. Mungkin besok sore sebelum pulang ke Jakarta saya mampir lagi.”
“Memangnya cuma dikasih libur sehari sama mama?” Dua pria itu berjalan ke arah pintu.
“Iyalah. Lusa mau ke Kertosari mengantar bapak.”
“Ngapain? Sudah pensiun masih saja bolak-balik ke sana.”
“Ngga tau, mungkin mau ketemu calon besan.” Pak Pardi segera berlari untuk menghindari kalau-kalau anak majikannya itu akan bertindak karena ucapannya.
“Pak Pardi!!”
Dan pria itu hanya tertawa.
***
“Bungkusannya dibuka, Syl. Malah dianggurin?” Alendra yang baru saja turun dari ruang kerjanya setelah membereskan keperluan untuk bekerja besok segera menuju ke ruang makan, seperti biasa. Wangi aroma masakan membuat perutnya yang sejak kepergian pak Pardi belum diisi semakin keroncongan. Dan disaat yang tepat Asyla pun baru saja selesai membuatkannya makanan.
“Kan itu punya Bapak.”
“Kalau nggak saya simpan di kamar, artinya kamu boleh buka. Kalau makanan yan boleh makan.” Dia mendekati meja.
“Kalau Bapak nggak nyuruh ya nggak berani.” Asyla pun mendekat kemudian membuka tote bag yang dibawa oleh pak Pardi tadi siang. Isinya ada satu kotak cake coklat yang dilihat dari gambar dan tulisannya seperti berasal dari toko kue terkenal.
“Kue, Pak?” katanya seraya membuka kotak tersebut.
“Alah, kue seperti ini di Bandung juga banyak. Malah, dijual di jalan-jalan.” Alendra duduk di kursinya seperti biasa.
“Tapi ini beda sama yang suka dijual di jalan itu.”
“Bedanya di mana? Saya kok lihatnya sama saja.”
“Merk nya.”
“Cuma nama yang terkenal. Soal rasa, saya yakin nggak jauh beda.”
“Masa sih?”
“Coba saja.”
“Boleh?”
“Boleh. Makan lah. Kalau mau bawa saja ke kamarmu.”
“Serius? Memangnya Bapak nggak mau?” Asyla memotong pinggiran kue tersebut.
“Nggak.”
“Kenapa?” Wanita itu mencicipi bagian yang sudah dipotongnya. “Mmm … enak. Ini ada keju-kejunya gitu ‘kan ya? Coklatnya juga … enak banget!!” Ekspresinya seperti orang yang baru pertama kali menemukan makanan seperti itu. Kedua matanya terpejam erat namun senyum penuh kegembiraan tersungging di wajahnya. Dan itu membuatnya terlihat begitu cantik.
Cantik?
“Ah, Alendra. Kau benar-benar sudah gila ternyata!!” Dia membatin.
Tetapi memang itu yang terlihat. Asyla begitu gembira bahkan sampai semua potongan yang dikunyahnya habis ditelan, baru dia berhenti.
“Bapak beneran nggak mau?” Lalu dia menyodorkan potongan kecil ke dekat Alendra, yang membuat pria itu terdiam.
“Ini enak lho.”
“Tidak ah ….” Namun Alendra menggelengkan kepala, kemudian menarik gelas yang sudah berisi air untuk diminum. Rasanya tenggorokkannya kok mengering?
“Kenapa? Padahal ini ‘kan dari calon mertua.”
“Ppfffftthhhh!” Celetukan itu membuat Alendra tersedak dan menyemburkan air yang tengah diminumnya.
“Duh? Bapak kenapa sih?” Dan secara refleks Asyla meraih beberapa lembar tisu, kemudian membersihkan mulut dan dagu Alendra dengan benda itu.
Leher dan dadanya yang berbalut kaos tidak luput dari perhatiannya sehingga Asyla hampir menunduk agar bisa membersihkannya dengan benar, dan itu membuat jarak di antara mereka hanya tersisa sedikit.
Wajah wanita itu hanya sekitar lima sentian saja dari wajahnya dan itu membuat debar-debar di dada kembali berpacu lebih cepat dari sebelumnya.
Hidung bangir, mata bulat dengan bulunya yang lentik, juga bibirnya yang merah alami namun tanpa polesan lipstik atau yang lainnya. Dan Asyla memang jarang sekali terlihat menggunakan produk kecantikan karena sehari-hari dia berada di rumah dan mengurus pekerjaan domestik. Tetapi entah mengapa itu yang malah membuat hatinya tergoda. Si wanita sederhana dari kampung yang hanya tau urusan rumah tangga.
Tergoda katanya?
Apakah sekarang perasaannya sudah meningkat ke level itu? Lalu dirinya harus bagaimana? Karena rasanya ini menjadi semakin sulit saja.
“Asyla, bagaimana kalau kita menikah?”
“Asyla, maukan kamu menikah denganku?”
“Asyla, ayo kita menikah?”
Kalimat-kalimat itu berlarian di kepala sementara kedua matanya mengikuti pergerakan Asyla, seolah dia tengah bersiap untuk mengatakannya. Tapi sepertinya itu akan menjadi hal yang aneh karena segalanya pasti akan berubah.
“Selain suka sembarangan, sebenarnya Bapak ceroboh juga.” Asyla kembali berbicara.
“Ceroboh sebelah mananya?”
“Minum saja sering tersedak, apa itu bukan ceroboh namanya?” Asyla bermaksud menjauh karena urusan mengeringkan air dari wajah dan pakaian majikannya ini sudah selesai, tetapi Alendra yang tiba-tiba mencengkram tangannya membuat gerakannya terhenti.
“Kamu benar, mungkin karena itu juga saya ketemu orang yang salah.” Katanya, dan dia menatap wajah Asyla lekat-lekat.
“Hum?” Asyla mengerutkan dahi.
“Saya nggak pandai menemukan jodoh, jadi gagal ….” Perlahan dia menarik tangan kecil itu sehingga tubuh Asyla pun bergeser lebih dekat dan jarak di antara mereka kembali hampir menghilang.
Alendra bahkan tidak melepaskan wanita itu meski dia sempat meronta, dan bersamaan dengan itu dia pun menegakkan tubuh dan menengadahkan wajah. Sehingga di detik berikutnya, bibir mereka bertemu juga.
Asyla menahan napas dengan kedua mata membulat. Dia meremat dada Alendra dengan keras untuk menyalurkan keterkejutannya, tetapi hal itu malah membuat sang majikan memperdalam ciumannya.
“Nikmat sekali.”
“Indah sekali.”
“Menyenangkan sekali!!”
Setelah sekian bulan tidak bersentuhan dengan wanita, nyatanya hal inilah yang membangkitkan naluri lain dari dalam dirinya, yang membuat Alendra merasa jiwanya yang sempat menghilang seolah kembali.
Jantungnya berdegup kencang dan darahnya berdesir keras. Napasnya bahkan mulai memburu seiring ciuman yang semakin dalam, dan dia benar-benar menikmatinya. Sebelah tangannya yang lain bahkan mulai merayap di belakang Asyla sehingga jarak di antara mereka benar-benar menghilang, dan kedua tubuh yang sama-sama hampir kehilangan kendali itu pun merapat.
Dan Alendra sempat memejamkan mata untuk lebih menikmati momen itu, dia bahkan mati-matian mengenyahkan pikirannya yang berteriak lantang menyerukan penolakan meski tubuhnya berbuat sebaliknya. Ketika di saat yang bersamaan kedua tangan Asyla mendorong tubuhnya.
Dia membuka mata.
Debaran itu masih terasa dan hembusan napas masih memburu. Keringat bahkan muncul di dahi dan pelipis pertanda udara mulai memanas di antara mereka, tetapi Asyla menggelengkan kepala melayangkan penolakan.
“Maaf, Pak.” Katanya yang menarik diri.
Tangannya dia lepaskan dari Alendra kemudian mundur beberapa langkah, lalu tanpa berbicara lagi Asyla beranjak dari hadapannya.
🌸
🌸
Astojiiiiimmm🙈🙈🙈
Untuk itu siap atau tak siap kamu harus segera bicarakan pernikahanmu dengan, Syla, pada orangtuamu.
Gak masuk nalar...