NovelToon NovelToon
Chaotic Destiny

Chaotic Destiny

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Mengubah Takdir / Epik Petualangan / Perperangan / Light Novel
Popularitas:7.6k
Nilai: 5
Nama Author: Kyukasho

Ratusan tahun lalu, umat manusia hampir punah dalam peperangan dahsyat melawan makhluk asing yang disebut Invader—penghancur dunia yang datang dari langit dengan satu tujuan: merebut Bumi.

Dalam kegelapan itu, lahirlah para High Human, manusia terpilih yang diinkarnasi oleh para dewa, diberikan kekuatan luar biasa untuk melawan ancaman tersebut. Namun kekuatan itu bukan tanpa risiko, dan perang abadi itu terus bergulir di balik bayang-bayang sejarah.

Kini, saat dunia kembali terancam, legenda lama itu mulai terbangun. Para High Human muncul kembali, membawa rahasia dan kekuatan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan segalanya.

Apakah manusia siap menghadapi ancaman yang akan datang kembali?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 32 Remake: Kekhawatiran Seorang Ayah

Di ruang takhta yang megah, keheningan menggantung berat. Langit-langit tinggi yang biasanya memantulkan suara langkah para prajurit kini terasa menekan, seakan ikut menyesakkan dada sang raja.

Noah Vixen duduk di kursinya, satu tangan menopang pelipis. Matanya yang tajam dan berwibawa kini dilingkari kelelahan. Kepala itu sudah berhari-hari dipenuhi keresahan, dan tiada satupun kabar baik yang mampu menenangkannya.

“Sudah berapa lama sejak dia menghilang?” gumamnya pelan, suaranya serak.

“Enam hari, Paduka,” jawab seorang kesatria yang berlutut di bawah tangga takhta. “Tim pencari sudah dikerahkan ke seluruh wilayah Vixen, hingga ke tepian barat hutan Gunvara. Namun... Jejak Putri Heliora masih belum ditemukan.”

Noah terdiam, jemarinya mengetuk sandaran kursi. Wajahnya tegang, penuh bayangan pikiran yang menghantam satu demi satu.

“Heliora... Kau benar-benar seperti ibumu. Sulit dikekang, keras kepala, dan selalu menolak jalan yang sudah kusiapkan.”

Ia menutup mata sejenak, bayangan masa lalu menyeruak. Istrinya—seorang penyihir agung dari pulau Evergreen dengan bakat luar biasa, yang harus pergi lebih cepat dari dunia. Putranya—sang pewaris sejati, yang kehilangan nyawa tepat dihadapan nya.

Kini hanya Heliora yang tersisa. Putri yang menolak sihir seperti ibunya, justru memilih pedang, belati, bahkan pisau sebagai senjatanya.

“Senjata-senjata itu...” Noah menghela napas panjang, getir. “Bukannya melindungi, malah menyeretmu ke jurang berbahaya.”

Baginya, itu kebodohan. Tetapi bagaimana ia bisa membenci anaknya sendiri? Justru keteguhan Heliora itulah yang membuatnya semakin khawatir.

Jangan sampai kau bernasib sama... Aku tidak akan sanggup kehilanganmu juga.

“Paduka,” suara prajurit kembali terdengar, “apakah kami harus memperluas pencarian hingga negeri tetangga?”

Noah membuka mata, tatapannya tajam, namun penuh kelelahan. “Lakukan. Jangan hentikan pencarian. Kerahkan siapa pun yang dibutuhkan. Aku tidak peduli berapa banyak pasukan yang harus kubayar, atau berapa banyak hari yang harus terbuang. Selama Heliora belum kembali, pencarian tidak akan berhenti.”

“Baik, Paduka.”

Prajurit itu memberi hormat lalu pergi, meninggalkan sang raja dalam keheningan kembali.

Noah bersandar, menatap langit-langit yang megah. Di balik wibawanya sebagai penguasa, hatinya hanyalah hati seorang ayah yang dirundung ketakutan.

“Heliora... Di mana kau sekarang? Jangan biarkan aku sendirian. Kau satu-satunya yang tersisa...”

Bagi kerajaan, hilangnya seorang putri hanyalah krisis suksesi. Tapi bagi Noah, itu adalah kehilangan terakhir dari keluarganya

---

Udara lembap Pulau Evergreen menusuk sampai ke tulang. Sejak beberapa hari terakhir, Aria Pixis dipaksa menghadapi rangkaian latihan yang hampir terasa mustahil dilakukan oleh manusia biasa.

Hari itu, ia dipaksa berdiri di atas batang pohon yang licin, puluhan meter di atas tanah. Punggungnya dipaksa memikul tas penuh bebatuan, setiap langkah membuat tubuhnya oleng. Di tangannya, busur perak Apollo berkilau, tapi kilauan itu sama sekali tidak meringankan beban yang ditanggungnya.

“Jangan turunkan tanganmu, Pixis!” teriak instruktur dari bawah. Suaranya tegas, tanpa belas kasihan.

Aria menggertakkan gigi, matanya menajam, mengikuti target kayu yang meluncur di udara, digerakkan dengan tali oleh instruktur lainnya. Ia harus menembak tepat sasaran, sembari menjaga keseimbangannya, dan dikejar bayangan instruktur yang meloncat dari dahan ke dahan, siap menendangnya kapan saja.

Satu anak panah meleset saja, diskualifikasi. Terjatuh, diskualifikasi. Tertangkap, juga diskualifikasi.

Napasnya memburu, keringat menetes dari pelipisnya. “Ini... Gila...” desisnya lirih, tapi tangannya tetap menarik busur. Cahaya keemasan memancar, menembus target bergerak dengan sempurna.

Hari demi hari, latihan seperti ini terus berulang. Latihan ini dikhususkan kepada dirinya karena ia adalah High Human. Bahkan Aria tidak tahu bagaimana ia masih bisa berdiri.

---

Akhirnya, setelah penderitaan tanpa henti, instruktur memberi satu hari libur. Aria terbaring di ranjang kayu kamarnya, tubuhnya seperti mati rasa. Ia bahkan terlalu lelah untuk bergerak. Tetapi perut nya berkata lain.

“Aku lapar...”

Dengan sisa tenaga, ia bangkit dan melangkah keluar. Angin laut Evergreen membawa aroma asin, bercampur bau dedaunan tropis. Tubuhnya masih terasa berat, tapi langkahnya tetap ia paksa.

Saat itu, di ujung pelataran, matanya menangkap sosok asing—seorang gadis. Rambutnya panjang, biru cerah, berkilau bagai lautan yang memantulkan langit. Wajahnya lembut, tapi matanya menyimpan sorot tajam yang sulit diartikan.

Aria tertegun. Ada sesuatu pada gadis itu... Sesuatu yang membuat dadanya bergetar aneh.

“ Kurasa... Aku pernah melihatnya...?” Pikir Aria, matanya menyipit, mencoba mengingat. Tapi semua memori seperti bercampur dengan rasa lelah dari latihan gila yang baru ia jalani.

Gadis itu menoleh sekilas. Tatapannya singkat, lalu ia kembali berjalan santai, seakan angin laut hanya miliknya seorang.

Aria masih terdiam, berpegangan pada perutnya yang lapar. Familiaritas itu menusuk pikirannya, tapi ia tidak bisa mengingat di mana ia pernah melihat rambut biru itu.

Yang ia tahu, entah mengapa, perasaan asing tapi akrab itu terus menghantui.

---

Langit sore memerah ketika lonceng besar di Pulau Evergreen berdentang tiga kali. Semua peserta pelatihan berkumpul di dataran berbatu, wajah mereka menegang menanti pengumuman terakhir.

Di antara kerumunan itu berdiri seorang gadis berambut biru muda panjang, keringat masih menetes dari pelipisnya setelah berjam-jam berlatih pedang. Dulu ia dikenal sebagai Putri Heliora Vixen, pewaris kerajaan. Tapi nama itu sudah lama ia kubur.

Kini ia hanya Liora—seorang gadis biasa yang bertekad memutus rantai masa lalu.

Seorang instruktur berumur paruh baya maju ke depan. Suaranya lantang, menggelegar bersama deru angin laut.

“Ujian kalian dimulai besok fajar!”

Ratusan pasang mata menatap penuh tegang.

“Inilah ujian bertahan hidup. Kalian akan dikirim ke Pulau Isolasi, sebuah pulau liar di seberang Evergreen. Tidak ada desa, tidak ada peradaban, hanya hutan, rawa, gunung, dan binatang buas. Kalian akan bertahan di sana selama seratus hari penuh.”

Riuh rendah suara mulai terdengar.

Instruktur melanjutkan, nadanya tegas bagai palu perang.

“Dengar baik-baik: dilarang membunuh. Siapa pun yang melanggar—baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti memancing hewan buas menyerang—akan segera didiskualifikasi. Ujian ini bukan tentang kekuatan membunuh, melainkan kemampuan bertahan hidup dan bekerja sama.”

Liora mengepalkan tangannya. Seratus hari... Baginya itu bukan ujian, tapi penyiksaan. Ia sadar betul: dirinya bukan High Human. Tidak punya dewa, tidak punya kekuatan khusus. Hanya tangan yang lelah berlatih dan tekad yang belum hancur.

Nama-nama peserta dipanggil satu per satu, membentuk kelompok.

“Aria Pixis.”

“Liora Jazel.”

Kedua nama itu dipasangkan. Liora mengangkat wajah, menatap ke arah gadis berambut biru malam dengan mata emas menyala. Aria—High Human, inkarnasi Apollo. Cahaya sore seakan memantul di matanya.

Aria menghampiri, berdiri di depan Liora. Tatapannya tajam, seperti sedang menilai.

“Kau bukan High Human ya,” katanya datar.

Liora menahan nafas sejenak, lalu tersenyum tipis. “Ya. Jadi kalau aku ingin bertahan, aku harus dua kali lebih keras daripada kalian.”

Untuk sepersekian detik, cahaya aneh berkilat di mata Aria. Bukan meremehkan, melainkan... Kagum.

“Kalau begitu,” ucapnya, “jangan menghalangi langkahku. Kita bekerja sama, atau kita mati bersama.”

Liora mengangguk mantap. “Sepakat.”

---

Keesokan harinya, pulau isolasi itu terbentang di depan mata. Ombak menghantam karang dengan suara menggelegar. Dari kejauhan, hutan tropis menjulang, pohon-pohon raksasa menutup pandangan hingga sinar matahari sulit menembus. Burung-burung asing melintas, mengeluarkan suara keras yang tak pernah mereka dengar sebelumnya.

Kapten kapal menurunkan jangkar, lalu peserta ujian dibawa dengan perahu kecil ke pantai berpasir hitam. Begitu kaki mereka menapak tanah, kabut lembap langsung menyelimuti tubuh. Pulau itu seakan bernapas, menelan setiap orang yang berani menginjaknya.

“Seratus hari...” Bisik Liora, matanya menyapu ke arah hutan. Bayangan pepohonan tampak seperti makhluk yang siap menelan siapa saja.

Aria berdiri di sampingnya, sudah menyiapkan kayu di tangannya. “Tetap tenang. Panik hanya akan membuatmu mati lebih cepat.”

Liora menoleh, menatap Aria yang terlihat begitu tenang—berbeda jauh dengan dirinya yang hanya punya pedang. Tapi entah kenapa, justru ketenangan itu membuatnya sedikit lega.

Dari kejauhan, instruktur berteriak lantang, “Waktu dimulai sekarang! Bertahanlah selama seratus hari!”

Dan begitu suara itu lenyap, dunia seakan berubah. Suara hutan menyeruak, lolongan binatang bergema, dan kabut menebal.

Liora menarik pedangnya, Aria mengangkat busurnya.

Keduanya melangkah bersamaan memasuki hutan yang gelap, tanpa menoleh ke belakang lagi.

Di pulau terisolasi itu, ikatan pertama mereka sebagai rekan mulai ditempa.

Dan perjalanan ini akan mengubah nasib keduanya, lebih dari yang pernah mereka bayangkan.

1
That One Reader
baiklahh udah mulai terbayang wujud dan sifat karakternya
That One Reader
hmmm... "matanya masih merah, bukan karena kekuatannya", "Kekuatan" yang dimaksud gimana yh? tapi awal ketemuan sama Aria lumayan berkesan sii
That One Reader
welp.. prolognya okee
Sandra
simingit kikik:v
Cyno
Semangat author
Cyno
Ceritanya seru
Cyno
kalau sho bisa mengubah bident sesuka hati apa nanti aria bisa mengubah bow dia juga? menarik
J. Elymorz
Huhuu shoo/Cry/
Sandra
anjay pahlawan datang tapi bapaknya Aria... :(
Sandra
aku ga tau mau komen apa tapi mau lanjut!!
Sandra
kereennn!! semangat kak!!!
J. Elymorz
sho.. hikss /Cry//Cry/
J. Elymorz
omaigatt di remake, apakah alur ceritanya lebih ke arah romance? hmmzmz/Applaud//Applaud/
J. Elymorz
lucuuuu
J. Elymorz
lucuuuu, sifat mereka berbanding terbalik
J. Elymorz
yahh hiatus/Cry/

semogaa hp nya author bisa sehat kembali, dan semoga di lancarkan kuliahnya, sehat sehat yaa author kesayangan kuu/Kiss//Kiss/
J. Elymorz
gila... hollow bener' gila
Soul Requiem
Ini Saya, Kyukasho, untuk sementara Chaotic Destiny Akan Hiatus dikaenakan HP saya rusak/Frown/
J. Elymorz: /Cry//Cry//Cry/
total 1 replies
J. Elymorz
ouh oke.. kelakuan bodoh dari krepes ternyata berguna, bagus krepes
J. Elymorz
si krepes dateng tiba-tiba banget plss, krepes jangan jadi beban yh/Grievance//Grievance/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!