NovelToon NovelToon
Anak Bos Yang Kabur

Anak Bos Yang Kabur

Status: tamat
Genre:Tamat / Duda / CEO / Anak Genius / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.5M
Nilai: 4.8
Nama Author: lady vermouth

Seorang bocah ikut masuk dalam mobil online yang di pesan Luna tanpa ia sadari karena mengantuk. Setelah tahu bahwa ada bocah di sampingnya, Luna ingin segera memulangkan bocah itu, tapi karena kalimat bocah itu begitu memilukan, Luna memilih merawat bocah itu beberapa hari.

Namun ternyata pilihannya merawat bocah ini sementara, membawa dampak yang hebat. Termasuk membuatnya berurusan dengan polisi bahkan CEO tempatnya bekerja.

Bagaimana kisah Luna membersihkan namanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lady vermouth, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 22

Keesokan harinya.

 

“Kemarin kemana, Lun?” tanya Karin yang sempat memergoki perempuan ini masuk ke dalam mobil orang kepercayaan atasan mereka. “Mencurigakan banget naik mobil sama Danar.” Petang ini mereka pulang kerja bersama.

 

“Kan sudah aku bilang kalau ada perlu sama Pak Ian. Jangan bikin gosip yang enggak-enggak. Awas ya,” kata Luna sambil mendelik ke Karin. Perempuan ini terkekeh.

 

“Kalau memang ada hubungannya sama Pak Ian, itu artinya penting dong.”

 

“Enggak. Bukan soal pekerjaan.” Luna menunduk mencari kontak sepeda motor di dalam tas kerjanya.

 

“Lho? Kok bukan pekerjaan? Sebenarnya kamu ada main sama Danar apa Pak Ian?” selidik Karin.

 

“Nih, orang. Aku lakban ya mulutnya.” Luna geregetan. Karin terkekeh lagi. Dia bahagia sekali kalau bisa menggoda Luna.

 

“Soalnya aneh kalau Pak Ian mengajak orang dalam perusahaan seperti kamu untuk bicara di luar.” Karin tampak meremehkan Luna. Ini membuat Luna menipiskan bibir dan melengos.

 

“Seperti biasa ... Soal Elio." Luna memberi penjelasan. "Ah, akhirnya ketemu." Kontak sepeda motornya akhirnya ketemu. Langkah mereka pun sampai di pelataran parkir karyawan. Mereka akan menghabiskan malam ini untuk kongkow bareng di cafe langganan. Tidak ada kegiatan penting lainnya selain beli makanan dan minuman sambil lihat jalanan kota. Itu saja. Mereka dua jomlo yang klop.

 

“Oh, itu.” Karin terlihat kecewa. Ternyata memang tidak ada hal penting.

 

Setelah pertemuan kemarin di cafe dengan Pak Ian, pria itu masih belum mencarinya lagi. Mungkin Pak Ian perlu memikirkan lagi. Apakah menyuruh Luna membujuk putranya untuk menerima Naura sebagai istrinya sudah benar?

 

Bahkan saking malasnya mencari tempat tongkrongan, mereka hanya berangkat ke cafe depan perusahaan.

 

“Kalau kita ke sini Lun, semua orang pada tahu kita ini jomlo,” kata Karin saat mereka mencari tempat duduk. Karena ini adalah malam Minggu, mereka ingin suasana lebih beda. Meskipun nyatanya mereka hanya nongkrong di depan tempat kerja saja.

 

Aldo, pemilik cafe ini menyarankan mereka berdua ke lantai 2 guna menikmati pemandangan jalanan yang ramai.

 

“Aldo tahu kita emang jomlo, Rin,” kata Luna menegaskan. Karena mereka_ anggap saja bertetangga dengan cafe ini, Aldo hapal sekali dengan mereka berdua.

 

“Eh, itu di pojokan ada!” tunjuk Karin. Mereka berdua memang suka sekali kalau duduk di balkon terus mojok. Kaki mereka berjalan menuju kursi itu dengan riang gembira. Serasa malam Minggu mereka sempurna karena sudah dapat tempat keramat.

 

Dari tempat mereka duduk, halaman perusahaan terlihat dengan jelas. Terlihat mobil Pak Ian yang baru saja keluar.

 

“Eh, ternyata Pak Ian baru keluar ya ... Aku pikir sudah dari tadi. Kamu enggak di panggil Pak Ian lagi, Lun?” tanya Karin.

 

Luna menelan makanan di mulutnya dulu, baru menjawab pertanyaan Karin.

 

“Enggak.”

 

“Lalu soal Elio?”

 

“Aku enggak tahu. Lagipula memang seharusnya aku enggak ikut campur, Rin. Jadi kalau Pak Ian tidak mencari ku, aku bersyukur. Memangnya aku ini babysitter ...”

 

“Kan enak, Lun ... Dapat kerja sampingan. Kerja sampingannya juga enggak main-main. Kamu mengasuh anak pria tampan dan kaya itu.”

 

“Aku ini perempuan belum siap menikah, Rin. Jadi untuk urusan mengasuh itu, keahlian ku masih level 0.” Luna meneguk minumannya.

 

“Terus kabar bocah itu gimana, kalau kamu enggak peduli?”

 

“Emang aku emaknya? Ya kalau ketemu oke aku akan peduli. Menyapa dan pelukan. Kalau enggak ketemu, ya udah. Gitu aja.”

 

“Kasihan juga kalau anak itu stress gara-gara enggak nyaman sama mama baru. Pak Ian ini cakep, tapi ya kok dapat wanita seperti itu.”

 

“Bukannya kamu bilang karena surat wasiat?”

 

“Iya sih ...”

 

“Lagian Naura kan cantik. Tampan sama cantik, ya cocoklah ...” Luna serasa jadi pendukung mereka berdua.

 

Setelah hampir satu jam, mereka berdua memilih pulang. Sebenarnya mereka sudah sampai di tempat parkir, tapi dompet Luna tertinggal di sana. Terpaksa Luna kembali ke lantai atas buat ambil dompet.

 

“Kamu naik sendiri ya. Aku tunggu di sini,” kata Karin.

 

“Ya, tahu.”

 

Sesampainya di sana, ternyata ada pelayan yang sedang membersihkan meja.

 

“Mas, lihat dompet ku di kursi tadi?” tanya Luna.

 

“Oh, itu punya Mbak?” tanya pria itu.

 

“Iya. Yang warna cokelat kan?” Luna menyebutkan ciri dompetnya karena takut di sangka mengada-ada.

 

“Ya benar, Mbak. Sudah aku titipin sama Mas Aldo di bawah.”

 

“Cepat banget, Mas. Perasaan baru aja aku keluarnya,” kata Luna takjub.

 

“Takut Mbak. Jadi pas lihat ada dompet, langsung aku kasih ke Mas Aldo,” tutur pria itu.

 

“Oke. Makasih Mas.”

 

Luna berjalan turun dari lantai dua menuju ke tempat Mas Aldo yang ada di lantai bawah. Jalannya di percepat. Saat itu muncul seorang pria yang naik ke atas. Bola mata Luna menatap pria itu dengan lekat.

 

Luna mengerjapkan mata. Tidak mungkin. Pria itu kan sedang ada di luar kota. Sesaat Luna tertegun. Dia pun berjalan turun lebih cepat. Tidak di sangka, pria tadi juga menoleh ke bawah. Namun sayang, Luna sudah lenyap dari pandangan. Karena tertegun, orang yang ada di teleponnya menegur.

 

“Iya, halo Na.”

 

“Kamu mengabaikan aku barusan?” sembur Naura di seberang kesal.

 

“Enggak. Aku dengarin kamu kok.” Yudha berjalan naik ke lantai dua.

 

...***...

 

Ponsel Ian berdering. Ian memakai earphone bluetooth di telinga.

 

“Ya.”

 

“Ian! Aku sudah hampir putus asa karena tidak pernah bisa menelepon mu.” Suara Naura terdengar di seberang memekakkan telinga.

 

“Ada apa Naura?” tanya Ian masih dengan menjalankan mobilnya menuju ke rumah.

 

“Ada apa? Aku ini ingin bicara denganmu. Ingin bertemu denganmu. Kenapa nada bicara kamu dingin?”

 

“Entahlah.” Ian menjawab sekenanya saja. Naura tahu pria ini masih dalam kebimbangan. Ia pun menyingkirkan gaya protesnya tadi.

 

“Kamu masih belum beristirahat dengan benar?” tanya Naura menunjukkan kepeduliannya.

 

“Mungkin sudah, tapi aku belum bisa membuat hatiku tenang.”

 

“Soal Elio?” tanya Naura sedikit geram. Namun dia mencoba menyembunyikan kekesalannya pada bocah itu.

 

“Ya.”

 

Oh, dugaanku benar, batin Naura. “Ada apa dengannya? Dia kabur lagi?”

 

“Tidak. Dia tidak kabur.”

 

“Oh, syukurlah. Itu bagus. Lalu apa yang membuatmu resah?” tanya Naura masih ingin tahu kelanjutan bocah tengil itu.

 

“Hubungan kita.”

 

Oh, sial. Bocah itu memang akan merusak rencana pernikahan aku dan Ian.

 

“Ada apa lagi, Ian?” tanya Naura setengah merajuk.

 

“Sudah aku katakan bahwa sepertinya hubungan kita sulit untuk tetap lanjut jika putraku tidak bisa menerima mu.” Ian mempertegas.

 

“Kamu ... Akan langsung membuang ku Ian? Apa kata istrimu di surga nanti?” Naura harus segera mengingatkan lagi pria ini akan surat wasiat itu. “Ini yang terbaik di lakukan untuk istrimu. Agar dia tetap bahagia di atas sana, Ian. Ini harapannya. Aku juga bukan ingin memanfaatkan keadaan, tapi aku ingin membuat sahabatku bahagia.” Naura memainkan suasana haru dalam kalimat-kalimatnya.

 

Ian diam.

 

“Syarat mutlak pernikahan kita adalah putraku, Elio. Kita bisa menikah, jika Elio mau menerima kamu.” Tiba-tiba Ian mengajukan syarat baru.

 

Ewww, sialan! Kenapa sekarang jadi harus ada syarat sih? Bukannya surat wasiat itu seharusnya sudah cukup? Naura menggerutu di dalam hati.

 

“Oke. Demi hubungan kita berhasil sampai ke pelaminan, aku akan berusaha meluluhkan hati Elio. Meskipun tanpa kamu beritahu pun, aku sudah melakukannya dengan baik. Namun aku perlu dukungan mu sekali lagi Ian. Kamu harus membantu dan mendukung aku.”

 

...______...

1
Lies Atikah
semoga kembar thor biar rame hehe
Lies Atikah
Gak Jelas banget Si Lan ini udah luna jangan maksa orng yang plinplan tinggalin dulu beri pelajaran enak aja memperlakukan orang kaya sampah keterlaluan kamu Lan
Lies Atikah
oh jadi Lan itu bertepuk tangan sebelah alama cian banget
Lies Atikah
sat set lan gas keun kalau suka bilang langsung tonk plitat plitut
Lies Atikah
selidiki lan hari gini percaya surat wasiat kecuali langsung dari mulut istri mu sebelum meninggal nah baru tuh yakin
Lies Atikah
lan mah pelit masa gak bawa apa 2 bawa batu ke mana bawa anak lagi
Lies Atikah
semoga segera ketahuan belang nya si manora
Lies Atikah
pintar dikit napa sih Lan kamu kan ceo masa bisa di kadalin bodoh di pelihara
Lies Atikah
mampir thor
Ririn Nursisminingsih
Ian juga bodoh percaya aja sama suray wasiat.. selidiki dulu dong
Nabila Al Adibah
Luar biasa
Mrs.Riozelino Fernandez
bahasa kalbu mereka perlu di acungi jempol...TOP 😂😂😂😂
Mrs.Riozelino Fernandez
😂😂😂😂😂😂😂
Mrs.Riozelino Fernandez
😆😆😆😆😆
Mrs.Riozelino Fernandez
👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
Siti Nurjanah
oh ternyata karin yg dengar kirain danar
Siti Nurjanah
betul itu lan..... dan mulailah untuk menyelidiki
Siti Nurjanah
apa dulu yuda dan lan mencintai orang yg sama trs dia memilih lan. dan sekarang yuda punya dendam dgn lan
Siti Nurjanah
jd geram q ama lanbkatanta CEO yg di takuti kenapa bodoh bgt tidak menyelidiki keakuratan surat wasiat itu. semoga asprinya tau kalau pengacara dan naura punya kesepakatan. dan tau kalau srlain lan naura punya kakasih lain
Siti Nurjanah
jangan " yuda pengacara lan adalah mantan luna
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!