NovelToon NovelToon
Untuk Aldo Dari Tania

Untuk Aldo Dari Tania

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Ketos / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:469
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah A

Berawal dari pertemuan singkat di sebuah mal dan memperebutkan tas berwarna pink membuat Aldo dan Tania akhirnya saling mengenal. Tania yang agresif dan Aldo yang cenderung pendiam membuat sifat yang bertolak belakang. Bagaikan langit dan bumi, mereka saling melengkapi.

Aldo yang tidak suka didekati Tania, dan Tania yang terpaksa harus mendekati Aldo akhirnya timbul perasaan masing-masing. Tapi, apa jadinya dengan Jean yang menyukai Aldo dan Kevin yang menyukai Tania?

Akhirnya, Aldo dan Tania memilih untuk berpisah. Dan hal itu diikuti dengan masalah yang membuat mereka malah semakin merenggang. Tapi bukan Aldo namanya jika kekanak-kanakan, dia memperbaiki semua hubungan yang retak hingga akhirnya pulih kembali.

Tapi sayangnya Aldo dan Tania tidak bisa bersatu, lantaran trauma masing-masing. Jadi nyatanya kisah mereka hanya sekadar cerita, sekadar angin lalu yang menyejukkan hati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Masalah Hati

"Awh!"

Tania refleks menutup mulutnya saat mendengar rintihan seseorang. Orang itu pasti terkena lemparan kerikil. Dia menurunkan helm dari kepalanya dan melihat kanan-kiri, mencari tahu siapa yang melemparkan kerikil ke helmnya.

"Lo yang lempar kerikil sembarangan, ya?" Orang itu maju menghampiri Tania.

"Maaf, gue nggak sengaja."

"Kenapa sih yang berhubungan sama lo selalu buat gue sial?" tanya Aldo. "Kerikil itu hampir kena mata gue kalau gue nggak pake helm."

Tania menghela napas, merasa bersalah atas tindakannya. "Gue minta maaf. Gue lagi kesal, nggak adakah yang mengerti perasaan gue?"

Melihat Tania dengan raut wajah serius membuatnya menghela napas panjang. Bukannya Aldo tidak mengerti, hanya saja Aldo belum mengetahuinya. Tetapi, setelah Tania berucap demikian dengan ekspresi yang meyakinkan, barulah dia bisa tahu dan mengerti Tania.

"Mau makan es krim?"

...******...

Menurut buku yang dia baca, katanya es krim bisa membuat perasaan seseorang bahagia dan melupakan segala keluh kesah. Jika diibaratkan itu seperti obat penenang. Aldo membawa Tania membeli es krim, lalu dia mengajak Tania duduk di pinggir air mancur—melihat percikan air yang jatuh di tempat yang sama dan terus mengulanginya bagaikan siklus.

"Jadi sebetulnya lo suka ya sama kak Kevin?"

"Hm, bisa dibilang gitu."

"Kalau dipikir-pikir sih, lo juga sama kayak gue."

"Sama gimana?"

"Lo juga egois sama perasaan lo sendiri. Lo nggak ada hubungan apa pun tapi seakan-akan lo pacarnya dia." Aldo menyunggingkan senyum.

Tania menghela napas panjang. "Jadi gue jalanin aja gitu apa yang sekarang terjadi?"

"Iya, kalau hubungan lo sama kak Kevin nggak mau renggang."

"Lo tahu nggak sih, Do? Cewek itu sensitif banget soal perasaan, sekalinya lo kasih kata-kata manis ke dia itu tandanya lo kasih harapan ke dia."

"Gue juga udah bilang, 'kan, Tan. Enggak semua cowok mau tanggung jawab perasaan ketika dia kasih perhatian."

"Lo juga suka kasih perhatian ke gue, apa lo juga nggak akan tanggung jawab soal perasaan?"

Mendengar ucapan Tania membuat Aldo bungkam seribu bahasa. Dia menatap bola mata hitam Tania, ada siratan di dalamnya. Aldo mengingat semua kejadian yang selama ini berlalu—tentang dia yang tanpa sengaja melakukan hal-hal manis bersama Tania.

"Mau pulang nggak?" Aldo tergesa-gesa mencari kunci di saku jaketnya.

Tania memegang lengan Aldo. "Lo jawab dulu."

"Tania, enggak perlu dibahas."

"Iya udah, gue pulang sendiri aja. Gue takut lo ketemu sama mama dan akrab sama dia."

Aldo mengangguk mengiyakan. "Gue temenin nyari taksi, ya?"

Tania mengangguk mengiyakan.

...******...

Tidak biasanya Tania menutup bibir rapat-rapat. Biasanya gadis itu terus bercerocos bagaikan kereta melaju. Dia hanya mengaduk-aduk makanannya tanpa berniat ingin memasukannya ke dalam mulut. Semenjak kejadian di mal dan terakhir kali bersama Aldo, Tania lebih banyak diam. Dia punya banyak pikiran. Tetapi ketika ditanya, dia tidak tahu apa yang dipikirkan. Pekerjaannya hanyalah menghela napas sebanyak detik berlalu.

"Hello, Tania! Itu makanan lho, bukan mainan," tegur Nabilla.

Tani menjatuhkan sendok menimbulkan suara dentingan. "Gue capek, serius.

"Capek kenapa? Lo disuruh bersihin rumah?" tanya Nabilla lalu menyuap makanannya.

"Bukan, gue capek gini terus sama diri gue sendiri." Tania menenggelamkan wajahnya.

Amanda menghela napas, mulai paham dengan maksud Tania. "Makanya Tania, sebelum apa pun itu lo harus mikir. Kalau udah kayak gini, lo sendiri 'kan yang capek sama perasaan."

"Dan sebaiknya lo temuin dia deh, modus minta diajarin apa kek," timpal Nabilla.

Tania sigap mendongak. Dia beranjak berdiri tetapi sayangnya tangannya lebih dulu dicekal Amanda.

"Mau ke mana?"

"Menurut lo?"

"Gue 'kan udah bilang, segala sesuatu itu harus dipikir-pikir dulu."

Tania melepas tangan Amanda yang menggelayut. "Kali ini gue yakin, doakan gue." Tania berlalu dari kantin membuat Amanda dan Nabilla hanya bisa pasrah dengan keadaan.

"Lho, bukannya semua anak-anak OSIS ada di auditorium ya mempersiapkan acara debat?"

Amanda menoleh pada Nabilla. Semua anak-anak OSIS? Itu tandanya ada sang kekasih dan juga Bima di sana. Jika seandainya Tania ingat akan dendamnya pada Bima, maka itu akan berakibat sangat fatal. Tanpa berbicara apa pun pada Nabilla, Amanda meletakkan uang dan bergegas keluar kantin.

"Eh, Amanda! Mau ke mana?"

...******...

Suara decitan menggema di auditorium. Anak-anak OSIS menggeser dan mengangkat meja, menyusunnya sebaik mungkin untuk acara debat. Ponsel Aldo bergetar, ada pesan dari sang mama.

Nanti sore setelah selesai debat langsung pulang, ya.

Setelah membacanya Aldo memasukkan ponsel ke dalam saku celana.

"Mau ada acara, ya?"

Dia tersentak kaget dan menemukan Jean berdiri di sampingnya.

"Maaf, gue nggak sengaja baca pesannya."

"Nggak apa-apa. Oh iya, kalau lo capek bisa istirahat dulu."

"Oke." Dia lantas duduk di kursi seraya mengecek beberapa berkas.

"Mau gue bantu?" Tari tahu-tahu mengambil duduk di sebelah Jean.

"Boleh." Dia menyerahkan beberapa berkas kepada Tari untuk dicek.

Tania masuk auditorium, melihat beberapa anak sibuk berseliweran sana-sini. Di antara banyaknya orang yang dia lihat, salah satunya yang paling menyorot adalah Kevin. Menurut teman sekelasnya Kevin ada di auditorium, makanya dia langsung menuju kemari.

Tidak ada yang menyadari keberadaan Tania kecuali Bima dan Nico.

"Nic, menurut lo dia mau balas dendam ke gue?"

"Kayaknya sih gitu. Berlindung aja di belakang kak Kevin."

Tania beranjak mendekat ke arah Kevin. "Kak Kevin."

"Eh, Tania, ada apa?"

"Gue mau bantu-bantu, boleh?"

"Jangan, bukannya kerjaan tambah beres malah tambah kacau." Begitu disayangkan mulut Bima ini. Seharusnya dia terus bungkam sampai Tania keluar, tetapi sayangnya dia tidak bisa melakukan hal itu.

"Mulut lo itu ya, Bim, lemes banget," ujar Tania. "Kemarin lo udah buat gue malu. Dan sekarang, lo mau buat gue malu lagi, iya?" Tania beranjak maju satu langkah—menantang Bima yang bersembunyi di belakang Aldo.

"Gue nggak buat lo malu kok, lo-nya aja yang mau dimalu-maluin."

"Apa lo bilang? Lo mau gue tampol lagi? Sini!"

"Emang lo berani?"

"Nantangin lo." Tania melipat lengannya ke atas lalu merangsek maju menarik rambut Bima dari balik tubuh Aldo.

Melihat aksi Tania yang mulai beringas memukul Bima, menjadi hal lucu sendiri di kala mereka lelah karena pekerjaan. Seisi auditorium tertawa melihat aksi Tania dan Bima, terlebih Aldo yang kadang-kadang menjadi samsak pukulan Tania. Kadang hal seperti ini yang dibutuhkan untuk menjadi kenangan tak terlupakan sepanjang masa—ketika bertengkar di tengah-tengah kesibukan.

Amanda masuk ke auditorium, melihat Tania yang mulai memberi pelajaran pada Bima. Dia pikir Kevin akan melerainya, ternyata tidak sama sekali, justru ikut tertawa melihatnya.

"Awas aja, kalau lo masuk OSIS, gue bakal buat lo sengsara."

"Oh, iya? Mana bisa cowok kayak lo buat gue sengsara, adanya juga sebaliknya."

"Dasar macan biadab."

"Lo gajah!"

"Lo monyet!"

Nyaris saja Tania melempar sepatunya ke arah Bima jika saja sebuah tangan tidak menghalanginya.

"Udah Tania, kasihan Bima," ujar Kevin.

"Gue nggak pernah kasihan sama dia."

"Lo pikir gue kasihan sama lo?"

Tania menggertakkan giginya saking kesal. Dia nyaris merangsek maju jika saja Amanda tidak menarik sebelah tangannya. "Tania, ayo balik ke kelas."

Tania menepis tangan Amanda.

"Balik ke kelas aja, Tania," ujar Kevin.

"Tapi gue mau ikut bantu-bantu."

"Tapi sudah selesai."

Tania menatap sekelilingnya. Semuanya sudah tersusun secara rapi. Alih-alih datang membantu, justru datang membuat keributan.

"Kalau lo mau bantu, bisa bantuin Jean sama Tari. Ayo, ke kelas masing-masing." Kevin menginterupsi anggotanya untuk kembali ke kelas masing-masing. Bima berlalu sembari memeletkan lidah pada Tania.

"Iya udah, gue juga balik ke kelas, deh."

Tari tahu bagaimana perasaan Tania, pasti hatinya tersayat dalam. "Tania!"

Tania menoleh pada Tari.

"Kalau semisalnya lo mau bantu, sepuluh menit sebelum debat dimulai lo bisa ke sini."

"Serius?"

Tari mengangguk kuat.

"Oke, nanti gue datang. Ayo, Man." Tania menarik tangan Amanda keluar ruangan.

Tari beranjak berdiri dan menghampiri Kevin. "Lo udah buat kesalahan."

"Kesalahan apa?"

"Coba aja lo tanya sama Tania. Ayo, Jean."

Tari dan Jean keluar auditorium meninggalkan Kevin seorang dengan pikirannya. Apa kesalahan yang telah dilakukannya?

...******...

Kembalinya Amanda dan Tania ke dalam kelas langsung disambut semburan dari Nabilla. "Kalian kenapa sih ninggalin gue gitu aja?" Dia melipat tangan di depan dada.

Amanda dan Tania sama-sama duduk di kursi masing-masing sembari menghela napas panjang.

"Kalau gue nggak buru-buru nyusul Tania, habis tahu Bima sama dia." Amanda menunjuk Tania.

"Emangnya apa yang terjadi?" tanya Nabilla.

Amanda mengibaskan tangan. "Alah, udahlah. Enggak penting juga. By the way, gimana perasaan lo, Tan?" Amanda memajukan wajahnya ke Tania membuat Tania refleks mendorong wajah Amanda.

"Ish, jangan ganggu gue. Hati gue lagi bermasalah, nih," gerutunya.

"Hem ... kayaknya selain karena lo mau PMS, gue tebak pasti soal kak Kevin, ya?" tanya Nabilla.

Tania menghela napas panjang. Dia memutar badan menghadap Amanda dan Nabilla. "Menurut lo berdua gue harus gimana?"

"Tahu ah, gue nggak mau kasih lo pencerahan. Terlalu banyak yang gue kasih, tapi tetap saja lo nggak paham," ujar Amanda. Dia lebih memilih mempersiapkan pelajaran selanjutnya daripada memberikan saran kepada Tania.

Nabilla menjentikkan jari. "Tenang aja, Amanda mungkin enggak mau. Tapi, gue pasti mau. Dan gue punya cara jitu untuk lo."

Tania mengernyit bingung. "Cara apaan?"

"Lo coba deh bersikap cuek ke kak Kevin. Ya ... seolah-olah lo kayak nggak kenal dia."

Tania berdecak sebal—semakin frustrasi. "Gue enggak bisa, kalau di rumah tetap aja ketemu."

"Tapi lo harus percaya sama gue. Dengan lo nyuekin dia, dia pasti bakal bertanya-tanya dan akan dekat lagi sama lo."

"Gue nggak mau saran yang itu. Yang lain?"

Nabilla menggeleng. "Enggak ada. Udah deh, ikutin aja. Ini tuh tips yang paling ampuh. Percaya sama gue."

Tania menimang-nimang saran Nabilla. "Kalau seandainya itu nggak berhasil?"

"Lo ... coba dekat sama cowok lain."

"Apa? Lo gila ya, Bil?" Tania benar-benar tidak habis pikir dengan saran Nabilla yang menurutnya begitu konyol.

"Gue masih waras. Dan kalau lo enggak mau ikutin saran gue, ya enggak apa-apa. Dan kalau lo mau coba ya silahkan, enggak ada salahnya, 'kan?" Nabilla menyenderkan punggungnya sembari memainkan kuku-kukunya.

Tania diam berpikir—akankah dia mengikuti saran Nabilla atau tidak. Kalau sudah berurusan dengan hati memang sulit, apalagi jika sudah terjebak lama dan dalam. Tania menghela napasnya, memainkan pulpennya seraya berpikir masak-masak.

...******...

Sepuluh menit sebelum debat dimulai auditorium sudah ramai dipenuhi anak-anak OSIS yang stand by lebih dulu. Beruntung yang menjadi saksi debat hanyalah segelintir orang dari masing-masing perwakilan kelas maupun ekstrakurikuler. Ya, walaupun lebih didominasi oleh anak-anak ekstrakurikuler saja, jadi mereka tidak perlu lagi repot-repot mengatur seperti minggu lalu.

Jean masih mengecek beberapa berkas. Tari baru saja kembali dari ruang TU setelah memberi informasi seputar debat. Dan, para kandidat sedang mempersiapkan mental mereka. Tania masuk ke dalam ruangan.

"Tania, sini." Jean menepuk-nepuk kursi di sebelahnya.

Tania beranjak menghampiri dan duduk di sebelah Jean. "Lo lagi apa?"

"Ngecek beberapa formulir pendaftaran, dan mengecek pertanyaan untuk debat. Nanti juga lo bakal isi formulir ini." Jean menunjukkan tumpukan formulir.

"Oh, iya? Gue isi sekarang?"

"Enggak, Tania. Bukan sekarang."

Tania mengangguk-angguk paham.

"Tania mau bantu kak Tari atau Jean?"

Tania mendongak ke atas dan menemukan Tari tersenyum manis ke arahnya. Dalam hati dia mengumpat kesal, bagaimanapun juga Tari adalah salah satu orang yang dia benci karena dekat dengan Kevin. Tetapi mengingat ucapan kedua temannya, bukankah itu tidak berdasar? Jadi, untuk apa?

"Kalau bantu kak Tari apa?"

"Ngobrol."

"Hah?"

...******...

Tari mengajak Tania berbincang di gazebo belakang sekolah. Dia ingin membicarakan sesuatu hal, dan meluruskan besi yang semula bengkok. Mereka meninggalkan keramaian di auditorium, membiarkan debat berlangsung tanpa adanya mereka.

"Kak Tari kenapa ajak gue ngobrol?"

Mereka duduk di gazebo. Ditemani semilir angin sore yang menerbangkan rambut sungguh menyejukkan suasana.

"Sebelumnya gue mau minta maaf."

Tania mengernyit bingung.

"Gue tahu lo sama Kevin teman dari kecil. Dan pastinya sebagai cewek lo ada perasaan sama dia."

Tania menutup bibitnya rapat-rapat, mendengar apa yang ingin dikatakan Tari adalah keinginan terbesarnya saat ini.

"Nggak ada yang ngasih tahu gue kok, cuma gue paham. Karena gue cewek, kita sesama cewek pasti paham. Dan untuk itu, gue mau jelasin semuanya."

"Apa?"

"Gue nggak ada hubungan apa pun sama Kevin, kita cuma partner di OSIS dan teman kelas. Nggak lebih dari itu. Lagi pula gue udah punya pacar." Tari mengangkat tangan kirinya ke udara—menunjukkan gelang berbandul love dengan kelap-kelip indah.

"Kakak dilamar?"

Tari terkekeh geli. "Enggak, Tania. Ini dari pacar gue waktu ulang tahun bulan lalu."

"Masa?"

Tari menghela napas panjang. "Lo emang nyebelin, ya? Bener apa kata Kevin soal lo. Lo emang nyebelin plus gemesin dan bikin ngangenin."

Mendengar hal itu membuat Tania merangsek sedikit maju dan membulatkan matanya. "Kak Kevin bilang gitu?"

Tari mendorong tubuh Tania sedikit menjauh. "Iya. Udah lama dia bilang gitu. Dan ini benar dari pacar gue, dia kuliah di Bandung."

"Serius?"

"Serius apanya?"

"Dia bilang gitu soal gue?"

Tari mengangguk kuat.

"Dia bilang enggak, kalau dia suka sama gue?" Tania begitu antusias bertanya pada Tari.

Tari menatap intens Tania, hingga salah satu sudut bibirnya terangkat ke atas. "Lo tahu 'kan dia orangnya enggak pekaan?"

Tania mengangguk.

"Nah, sama perasaan sendiri juga dia enggak peka."

Senyum yang semula mengembang di bibir Tania perlahan menurun, digantikan dengan raut wajah kecewa.

"Maksudnya?"

"Dia enggak tahu suka sama lo atau enggak. Tapi, kalau seandainya lo kasih clue ke dia, mungkin dia bisa memastikannya."

"Clue?" Tania mengernyit bingung.

Tari mengangguk. "Itu yang pernah gue lakukan untuk membuat kepastian sama pacar gue dulu."

"Clue-nya gimana?"

...******...

Pukul 15.00 acara debat selesai, dan sepanjang satu jam acara, ponsel Aldo terus bergetar karena Tika mengiriminya banyak pesan kalau dia harus pulang sebelum pukul 16.00. Alhasil, sekarang dia buru-buru mengambil tasnya di ruang OSIS.

"Lo mau pulang? Kok cepetan?" tanya Bima.

"Iya, biasanya juga lo sore-sorean 'kan? Jean juga enggak masalah," timpal Nico.

"Gue ada urusan."

"Terus, Jean ikut pulang sama lo?" tanya Bima.

Aldo menggeleng. "Dia pulang sama kak Tari, katanya mau shopping dulu," jelas Aldo. "Gue duluan, ya." Aldo menyalami Bima dan Nico khas anak muda.

Dia keluar dari ruang OSIS dengan tergesa-gesa. Kalau bukan karena ibunya, Aldo tidak mungkin tergesa-gesa seperti ini.

"Nanti malem ke rumah dia, yuk," ajak Bima. "Main PS sama kak Ryan."

Nico mengacungkan dua jempolnya. "Mantap."

...******...

Tania berjalan di lorong yang sepi karena sebagian anak-anak sudah pulang dan ekstrakurikuler di lapangan. Langkahnya begitu menggema di lorong sepi ini. Dia melihat cahaya merambat lurus dari celah-celah tembok.

"Tania!"

Tania berhenti melangkah, menunggu seseorang yang memanggilnya datang sendiri tanpa mau menoleh. Karena dia sudah kenal dengan suara itu.

"Lo mau pulang?"

Tania menghadap Kevin. "Iya."

"Mau bareng gue?"

"Bukannya Kakak masih sibuk di OSIS, ya?"

"Enggak, ada Tari kok."

Tari mengangguk-angguk. "Gue nggak mau pulang bareng Kakak."

"Hah? Kenapa?"

"Karena ... gue mau pulang sama Aldo!"

Aldo yang hendak melintasi mereka terpaksa berhenti tepat di belakang punggung tegap Kevin. Dia menatap Tania bingung. Apa maksudnya?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!