Keyz, pemuda berusia sekitar lima belas tahun tanpa sengaja menelan dua buah kristal kehidupan milik Gabrielle dan Lucifer.
Dua kekuatan yang bertolak belakang, cahaya dan kegelapan. Air dan Es. Menyelimuti dirinya.
Dan tiga kesadaran telah bersemayam di dalam jiwanya. Siapakah yang akhirnya nanti berkuasa atas tubuh Keyz?
Gabrielle?
Keyz sendiri?
Ataukah sang laknat dari neraka jahanam, Lucifer?
Ini sedikit berbeda dengan world without end yang sudah tamat, tapi akan saya tulis kembali dengan nuansa yang lebih mendalam. lebih gelap, dan lebih sadis. dan cerita yang sedikit berbeda.
dan pastinya, Keyz yang disini, bukan Keyz yang cemen!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ady Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Misteri Mimi
1
________________________________________________
Langit berubah warna, dari jingga yang hangat menjadi ungu lembut, sebelum akhirnya ditelan biru gelap yang dipenuhi bintang-bintang pucat. Pulau itu sendiri seperti terlepas dari peta dunia, tenggelam dalam keheningan sakral yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang pernah kesepian terlalu lama.
Di tepi sungai kecil yang airnya bening seperti cermin langit, Keyz duduk diam sambil menyalakan api kecil. Dedaunan kering dan ranting dari pohon yang aneh—daunnya berbentuk bintang dan bersinar remang—membantu menyalakan nyala itu. Cahaya api menari di wajahnya, menciptakan bayang-bayang hidup di matanya yang lelah.
Alice duduk di dekatnya. Gadis kecil itu bersedekap, pipinya mengembung, bibirnya mengerucut dalam ekspresi khas anak kecil yang kesal. Ia tak berkata sepatah kata pun sejak insiden tadi. Sesekali matanya melirik tajam ke arah Mimi yang sedang memeluk buntalan kain seperti boneka, duduk menyendiri tak jauh dari mereka.
Mimi—dalam wujud manusia gadis eksotis itu—benar-benar seperti makhluk dari dunia dongeng: kulit gelapnya berkilau lembut terkena cahaya api, rambut panjangnya berwarna hitam kebiruan, dan dua telinga tinggi berbentuk segitiga menjulang dari atas kepalanya, gemetar setiap kali angin bertiup. Namun bukan hanya penampilannya yang membuat suasana aneh: tatapan kosong, gerakan tubuhnya yang halus dan aneh, serta kebiasaannya mengendus, mengeong, bahkan menjilat, menjadikannya menjadi sedikit aneh.
"Aku menjadi tidak suka sama dia..." bisik Alice akhirnya. Ia mencolek lengan Keyz dengan pelan. "Dia itu... menjilatmu, tahu! Seperti kucing garong yang... Yang....!"
Keyz terkekeh pelan, tapi tak menjawab. Ia hanya menambahkan ranting ke api.
"Aku tidak terima dia melakukan hal itu kepadamu, Onichan..." gumam Alice, suaranya makin kecil.
Mimi, seolah mendengar, tiba-tiba berguling ke arah mereka. Ia merayap seperti kucing, perlahan, tubuhnya lentur dan ringan. Setibanya di samping Keyz, ia memiringkan kepala dan mengeong pelan. "Miaw..."
Lalu ia menyandarkan kepalanya di pangkuan Keyz, menggosok-gosok pipinya ke pahanya seperti hewan peliharaan yang menemukan tempat tidur terbaiknya.
Alice melompat bangun. "Hey!! Jangan seenaknya nempel begitu!"
Mimi tidak menanggapi. Ia hanya mengeong pelan, lalu mulai menjilat jari Keyz, satu per satu, seolah ingin membersihkannya. Tatapannya tidak nakal, tapi polos. Mata emasnya kosong dan jernih, seperti anak kucing yang tidak tahu bahwa tindakannya bisa menyulut perang dunia ketiga.
Keyz terdiam. Ia ingin menarik tangannya, tapi tidak tega. Ada sesuatu yang rapuh dalam gerakan Mimi, sesuatu yang membuatnya lebih terlihat sebagai makhluk terluka daripada wanita cantik dengan perilaku aneh. Dia hanya seekor kucing yang terjebak di dalam sebuah tubuh manusia.
Alice mendengus, lalu duduk bersila membelakangi mereka. "Aku gak mau lihat. Onichan memiliki kucing aneh. Hmph."
Namun tak lama kemudian, tubuh mungilnya bergeser pelan. Ia mendekat lagi, lalu menyandarkan punggungnya ke sisi Keyz yang lain, masih dengan cemberut yang sengaja diperlihatkan lebih besar dari yang sebenarnya ia rasakan.
2
________________________________________________
Malam makin larut. Angin berhembus pelan, terdengar suara ombak dari kejauhan. Tiga sosok itu duduk berdekatan di dekat api unggun yang makin meredup. Keyz membuka mantelnya dan menyelimutkan sebagian ke tubuh Mimi dan Alice, yang kini tampak lebih tenang. Mungkin karena lelah, atau karena hangat, atau karena kehadiran satu sama lain.
Mimi perlahan mulai mengeong pelan, seperti dengkuran lirih kucing yang hendak tidur. Ia memeluk lengan Keyz dan menggenggamnya seperti boneka. Matanya setengah tertutup, dan nafasnya perlahan tenang.
Alice menatapnya sebentar. "Kenapa dia gak bisa ngomong ya..." bisiknya pelan.
Keyz menjawab nyaris tak terdengar, "Mungkin... karena dia memang bukan manusia."
"Maksud Onichan?"
"Entah. Tapi aku tidak yakin dengan apa yang aku pikirkan... Menurutku, dia hanyalah seekor kucing yang terjebak di dalam tubuh manusia."
Alice terdiam. Ia memandang Mimi dengan lebih hati-hati. Meski cemburu masih membara di hatinya, ada bagian dari dirinya yang mengerti: Mimi mungkin bukan ancaman... tapi hanya seekor kucing kecil yang tersesat di tubuh manusia.
Beberapa saat kemudian, Alice memeluk lengan Keyz dari sisi lain. "Kalau begitu... Kita harus mencari tahu siapa dia sebenarnya."
Keyz tersenyum samar. "Tentu saja."
Dan malam itu pun bergulir dalam keheningan yang penuh makna. Di bawah langit yang dipenuhi bintang-bintang asing, di tanah tanpa nama, tiga hati yang berbeda mulai beresonansi dalam kehangatan kecil: cemburu, kasih, dan rasa ingin dimengerti.
Mimi mengeong sekali lagi sebelum akhirnya tertidur sepenuhnya.
3
________________________________________________
Pagi datang seperti kelopak mawar yang terbuka perlahan—tanpa suara, namun memekarkan dunia. Di atas pulau terpencil itu, cahaya mentari mengintip malu-malu dari balik garis cakrawala, menyinari permukaan laut dengan semburat keemasan. Angin pagi membawa bau garam dan aroma lautan. Kabut tipis menggantung di antara pepohonan yang menjulang, dan udara masih menyimpan dingin dari malam sebelumnya.
Keyz masih tertidur di bawah naungan pohon, bersandar di batangnya yang besar dengan kedua tangan merangkul tubuh kecil Alice yang tertidur pulas di pelukannya. Di sisi kanan, Mimi meringkuk seperti kucing kampung yang hangat, menyelip di antara lipatan mantelnya, hanya telinganya yang sesekali berkedut.
Lalu, Keyz merasakan sebuah sensasi.
Lembut, hangat, dan basah. Seperti sesuatu menyapu bibirnya dengan hati-hati—perlahan, berulang, dan menyisakan jejak lembab yang menggoda dan geli.
Keyz mengernyit dalam tidurnya. Hatinya bingung antara terus larut atau membuka mata. Tapi saat sensasi itu kembali datang, kali ini lebih menyeluruh—dari ujung bibir ke bibir lainnya, dengan suara lirih dan napas kecil di antara sela-sela lidah—ia pun terbangun.
Dan pandangannya langsung bertemu dengan sepasang mata emas yang menyala lembut.
Mimi. Wajahnya hanya sejengkal dari wajah Keyz. Ia sedang menjilati bibirnya seperti kucing yang membangunkan majikannya karena ingin sarapan.
"Ah—!!" Keyz terlonjak bangun.
Tubuhnya terangkat dengan cepat, dan sialnya, Alice yang tidur di pelukannya ikut terangkat... lalu jatuh terjengkang ke belakang. "Aduh!" Alice memegangi pantatnya yang membentur batu di belakangnya.
Keyz buru-buru menyeka bibirnya dengan ujung lengan baju, wajahnya memerah. "CIUMAN!! Itu tadi... itu bukan... bukan mimpi, kan?" bisiknya
Mimi hanya duduk tenang, mengeong pelan seperti tidak tahu apa yang dia lakukan salah. Ekornya menggoyang pelan, lalu ia bangkit dan berjalan kecil ke arah Alice yang sedang duduk dengan wajah cemberut.
Dengan pelan, Mimi mengendus rambut Alice, lalu menjilat bagian ubun-ubunnya. Gerakannya penuh kasih sayang, seperti seekor induk kucing yang menjilati anaknya untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Kemudian ia menyandarkan kepala ke bahu Alice dan mulai berguling manja.
Alice terdiam, matanya membulat sejenak karena terkejut. Tapi ketika melihat Mimi mendesah kecil, lalu mengeong pelan sambil memeluk tangannya, amarah kecilnya mulai mencair.
"Nekochan yang nakal..." gumam Alice sambil mengelus rambut hitam legam Mimi yang terasa hangat dan lembut. "Tapi kamu... lucu juga."
"Nakal... miauw!" sahut Mimi.
Suasana hening.
Alice mematung. Matanya membesar. Ia menoleh cepat ke arah Keyz yang masih membersihkan bibirnya seperti orang yang baru saja dicium oleh roh penasaran.
"Hey!!! Kamu bisa berbicara!!" teriak Alice pada Mimi. "Coba ulangi!! Ulangi!!"
Tapi Mimi hanya memiringkan kepala. Matanya polos, tak berdosa. Lalu ia mengeong lagi seperti biasa.
Alice menghela napas panjang. "Tadi itu pasti spontan. Dia meniru ucapanku. Tapi aneh... itu benar-benar suara manusia."
"Mungkin kamu salah dengar..." jawab Keyz pelan. Ia akhirnya duduk kembali, menatap matahari yang mulai naik perlahan di atas garis laut. "Atau kamu masih setengah bermimpi."
"Aku yakin mendengarnya kok." protes Alice.
Di atas mereka, di puncak langit biru muda, sebuah kubah sihir masih memayungi pulau. Kubah itu terlihat jelas, tapi jika diperhatikan, ada garis emas seperti akar pohon yang berputar perlahan, membentuk rune-rune kuno yang hidup. Rune itu terus berubah, berputar, dan menyatu seperti mantra yang menjaga pulau dari dunia luar.
Keyz berdiri perlahan. Angin laut menyibak jubahnya yang panjang.
"Aku akan pergi ke Kuil Piramida lagi," katanya sambil menatap cakrawala.
Alice menoleh cepat. "Untuk apa?"
"Aku ingin mengetahui lebih banyak tentang Mimi."
Alice mengerutkan kening. "Kenapa harus mencari tahu di sana?"
Keyz menunduk, suaranya pelan. "Karena aku menemukan dia di sana pertama kali... sebelum aku bertemu denganmu, sebelum Suki ikut bergabung, sebelum Selene muncul. Saat aku menjelajahi Kuil Piramida pertama dan mengalahkan penjaga bernama An-ku'ra. Setelah itu aku bertemu dengan Mimi. Dan berjanji akan memeliharanya."
Alice terdiam. Ia memandang Mimi yang kini duduk diam sambil bermain dengan kelopak bunga kering.
"Aku mau ikut," katanya akhirnya. Suaranya renyah tapi penuh tekad.
Keyz tersenyum kecil. "Tentu saja kamu boleh ikut."
Lalu ia menatap ke kejauhan, ke arah utara pulau, di mana hutan lebat berdiri berkat sihir Alice. Ujungnya tak terlihat, tertelan kabut.
"Tapi..." lanjut Keyz, suaranya berubah serius. "Sebelum itu, ada tempat lain yang harus kita kunjungi terlebih dahulu."
4
________________________________________________
"Blanket Village?" tanya Alice, kepalanya sedikit miring sambil menatap Keyz dengan ekspresi ingin tahu.
"Aku kangen dengan nenek-nenek di sana. Masakannya paling enak sedunia," jawab Keyz, senyumnya samar tapi ada kehangatan yang tidak bisa ia sembunyikan dari suaranya. Matanya menatap langit, seolah membayangkan kembali aroma kuah panas dan uap nasi dari pesta dadakan sederhana di desa kecil itu. "Dan juga aku ingin melihat kabar mereka. Apakah Broar masih menyerang desa itu atau tidak."
"Baik! Aku jadi penasaran dengan masakan nenek itu!! Ayok kita langsung ke sana, Onichan!" Alice mengangkat satu tangan ke udara dengan semangat. Suaranya ceria seperti anak kecil yang baru saja diajak ke tempat yang sangat asing dan ingin dia kunjungi.
Keyz menghela napas pendek. "Masalahnya, jarak antara Sad Town dan Blanket Village sangat jauh. Membutuhkan tiga hari perjalanan kaki. Kita..."
"Onichan." Alice menatapnya tajam. "Sepertinya kamu masih belum tahu bagaimana cara kerja Key Of Teleport, ya?"
Keyz menggeleng pelan. Ada rasa malu dalam gesturnya. Alice meraih benda kecil berbentuk kunci dari tangan Keyz dan mengembalikannya dengan cepat, seperti seorang guru mengajari murid yang terlalu cepat menyerah.
"Siapkan benda itu. Lalu, pikirkan Blanket Village. Dan...."
Keyz menatap kunci itu sejenak, lalu menutup mata. Dalam pikirannya terlintas sungai berbentuk huruf S, rumah-rumah jerami, pohon-pohon berdaun pink, dan wajah para nenek yang ramah. Ia membuka mata.
"Key Of Teleport! Blanket Village, Open!!" ucap Keyz dengan nada pelan, hampir seperti bisikan.
Saat itu juga, udara di hadapan mereka mulai beriak seperti permukaan air yang dilempar batu. Riak itu bergetar, memekarkan cahaya samar yang perlahan-lahan membentuk gerbang.
Keyz memandang gerbang itu, lalu melangkah masuk. Alice mengikutinya dengan langkah ringan, dan tak jauh di belakang mereka, Mimi dengan mata tajam melangkah pelan-pelan, nyaris tanpa suara. Dia menyelinap ke dalam portal tanpa mereka sadari.
Ketika cahaya mereda, dan mereka keluar dari sisi lain gerbang itu, Keyz tersentak kaget. Udara sejuk, suara burung, dan aroma ladang gandum yang familiar menyambut mereka. Di kejauhan, atap-atap jerami dan kelokan sungai yang membentuk huruf S tampak jelas.
"Mustahil... Ini benar-benar seperti yang kamu katakan," ujar Keyz pelan, matanya membelalak kagum.
Alice menyeringai. "Onichan jadi tahu bagaimana caranya aku kabur dari Elmheven, kan?"
Keyz hanya bisa mengangguk pelan. "Ya. Kali ini aku benar-benar yakin..."
"Yakin, Miauw!"
Suara mengejutkan itu membuat mereka menoleh ke belakang dengan cepat. Di sana, Mimi berdiri tegak, kepalanya miring dan matanya yang berwarna emas berbinar. Rambut hitamnya berkilau di bawah sinar matahari pagi.
"Mimi!!!" teriak mereka berdua serempak.