“ARRRGGGHHH! PANAAS! SAAKIIITT!”
Sekar Arum tak pernah membayangkan, setelah dipaksa menjadi gundik demi melunasi hutang orang tuanya, ia justru mengalami siksaan mengerikan dari para perempuan yang iri dan haus kuasa.
Namun, di saat dirinya berada di ambang hidup dan mati, sosok gaib mendekatinya—seorang sinden dari masa lalu yang menyimpan dendam serupa.
Arum akhirnya kembali dan menggemparkan semua orang-orang yang pernah menyakitinya. Ia kembali dengan membawa semua dendam untuk dibalas hingga tuntas.
Namun, mampukah Sekar Arum menumbangkan musuhnya yang memiliki kuasa?
Atau justru ia akan kembali terjerat dalam luka dan nestapa yang lebih dalam dari sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DG 32
Hujan menari-nari pelan sejak fajar tadi, menyusupi setiap celah pekarangan rumah besar milik Juragan Karta. Titik-titiknya menari di atas dedaunan, memantul di batu-batu jalan setapak, menciptakan irama monoton yang menenangkan. Kabut tipis menggantung di udara, membuat sinar matahari pagi yang biasanya hangat, kini terasa pucat dan dingin.
Di dalam ruang kerja Juragan Karta, aroma kayu basah dan tanah lembap menyelinap masuk lewat jendela yang sedikit terbuka. Pria terkaya di desa itu duduk bersandar di kursi beralas beludru merah. Matanya sayu, wajahnya tampak lelah, dan kulitnya mulai kehilangan rona. Maklum saja, beberapa hari ini—beliau seringkali bolak-balik ke luar kota.
Kepalanya menoleh saat daun pintu berderit pelan. Dan ketika melihat siapa yang datang, lelahnya seketika menghilang. Senyumnya langsung mengembang—hangat dan tulus.
Arum masuk dengan langkah pelan, gaunnya sedikit menyapu lantai licin yang lembap. Di tangannya, ia menggenggam satu cangkir porselen berisi teh hangat—kekuningan, dengan uap tipis yang naik dari permukaannya.
“Selamat pagi, Kang Mas,” sapa Arum dengan suara lembut dan senyuman genit menggoda. “Saya datang membawakan teh herbal untuk Kang Mas tercinta.”
“Wah, sampai dibikinkan teh segala. Tumben sekali, Dik Arum. Biasanya hanya malam hari aku disuguhi layanan luar biasa begini.” Sahut Juragan seraya mengambil cangkir dari tangan Arum, menghirup aromanya perlahan.
“Saya perhatikan, akhir-akhir ini—Kang Mas tampak kelelahan. Mungkin ... secangkir teh ini bisa sedikit membantu meredakan lelah itu,” ucap Arum lembut, matanya menatap penuh perhatian, seolah-olah hanya ada satu lelaki di dunia ini, yakni Juragan Karta.
Juragan tersenyum lebar. “Ah, Dik Arum memang tau saja cara menyenangkan hati Kang Mas-nya ini. Padahal selama menikah, Istri sahku saja belum pernah membawakanku teh sehangat ini pagi-pagi begini.” Sahutnya sambil menyeruput perlahan. Hangat teh menyusup ke tenggorokannya, menyebar hingga dada—ada sensasi sedikit pahit, tapi tertutupi oleh rasa manis yang samar. “Rasanya ... unik. Tapi enak. Teh apa ini, Dik?”
“Pokoknya, teh itu untuk nambah staminamu, Kang Mas.” Arum tersenyum malu-malu, lalu menampar keras punggung Juragan Karta hingga pria berkumis itu terbatuk-batuk.
Arum menyeringai tipis. Namun tak lama, suara bisikan Larasmi menggema di dalam gendang telinganya.
“Pelan-pelan, Rum. Itu orang tua, jangan sampai modar sebelum waktunya, hihihihihi.”
Arum mengulum senyum, menahan tawa. Lalu ia mengusap pelan punggung Juragan yang masih terbatuk.
“Maafkan saya, Kang Mas. Saya terlalu bersemangat. Sakit, ya?” tanya Arum dengan mimik cemas.
Namun, Juragan Karta langsung meraih jemarinya—menarik lembut hingga Arum jatuh terduduk di pangkuannya.
“Mana tadi tangan yang nakal? Yang ini?” Juragan menggenggam lembut jemari Arum, lalu mengecup lembut. “Hmm ... wanginya menenangkan, tanganmu selalu membuatku merasa adem saat menyentuhku. Adem di atas, panas di bawah.”
Juragan Karta mengulum senyuman nakal.
Arum hanya tersenyum, menyembunyikan gelisah manakala merasakan senjata keramat Juragan Karta mulai mengeras di bawah sana. Dengan sigap, Arum lekas berdiri di belakang kursi pria itu. Jemari lentiknya menyentuh bahu pria itu, memijit perlahan. Penuh perhitungan. Tak terburu-buru, seolah ini semata bentuk kasih sayang dari seorang perempuan yang setia.
Arum terus memijit bahu lebar pria itu dengan gerakan teratur. Urat-urat menonjol di tengkuk Juragan Karta terasa tegang, namun pelan-pelan mulai melunak. Aroma tubuh tua yang bercampur minyak gosok dan keringat halus menyusup ke hidung Arum—aroma yang selalu ingin ia muntahkan, tapi kini ditahannya dengan senyuman.
“Enak nggak, Kang Mas? Sudah merasa sedikit lebih segar?” bisiknya lembut.
Juragan mengangguk pelan. “Hmmm ... tanganmu ini, Dik Arum, seperti obat mujarab. Rasanya semua penatku langsung sirna.”
Arum terkikik manis. “Kalau Kang Mas sehat terus, saya pun tenang. Lagipula, siapa lagi yang akan saya layani, kalau bukan Kang Mas? Hmm?”
Tangannya terus memijit dengan gerakan memutar, sesekali menekan urat bahu dengan keahlian yang membuat Juragan memejamkan mata.
“Perhatianmu pagi ini, sungguh menyenangkan hatiku, Dik Arum. Nanti akan Kang Mas belikan hadiah, ya? Kalung emas, mungkin? Atau gelang berlian kecil? Kau tinggal pilih yang kau suka.”
Arum tersenyum lembut, menundukkan kepala seolah malu. “Saya tidak butuh perhiasan, Kang Mas,” bisiknya pelan, “cukup Kang Mas sehat dan panjang umur saja, itu sudah lebih dari cukup. Lagipula ... perempuan seperti saya rasanya tak pantas mengenakan barang mewah.”
Ia menatap ujung jarinya sejenak, kemudian melanjutkan dengan nada lirih, “Jujur saja, cincin yang Kang Mas berikan kemarin ... saya hampir tak berani memakainya. Tatapan para wanita di rumah besar ... rasanya seperti ingin menelanjangi saya hidup-hidup.”
Juragan mengulas senyuman tipis. Ia bisa membayangkan jika tawaran hadiah itu ia berikan pada gundik yang lain—sudah pasti mereka akan berebut, merengek, bahkan tak segan menyebut merek dan harga.
Tapi Arum? Perempuan muda itu justru menolak dengan cara rendah hati—membuatnya tampak tak hanya cantik, tapi juga tulus. Sebuah sikap langka di rumah besar ini, tempat di mana cinta kerap dihitung dengan pemberian dan balasan. Mana mungkin Juragan tak luluh? Mana bisa ia menolak perasaan suka yang kian hari menyerangnya tanpa ampun?
Juragan menatap lekat wajah Arum yang tertunduk manis, lalu menghembuskan napas panjang.
“Perempuan seperti kau ... pantas dihiasi barang indah, Arum,” gumamnya pelan namun pasti. “Setelah makan siang nanti, ikut Kang Mas ke pasar kota. Akan kubelikan kalung atau gelang—yang paling berkilau. Biar semua orang tau, kau milik siapa.”
Juragan Karta mencondongkan tubuh, matanya menyipit penuh ketegasan. “Dan kali ini, Kang Mas tak mau dengar penolakan.”
Arum mengangguk pelan. “Baiklah, Kang Mas. Jika itu bisa membuat Kang Mas merasa bahagia dan tenang ....” Ucapnya lembut, sambil menyunggingkan senyum tipis yang penuh pengertian.
Namun di balik sorot matanya yang teduh, tersimpan badai yang tak terlihat. Arum menunduk sedikit lebih dalam, menyembunyikan kilatan dingin di matanya yang sebentar tadi sempat muncul—secepat kilat dan sama mematikan.
“Tapi ... apa Kang Mas tidak malu membawa saya bepergian ke kota?” Arum meremat sisi gaunnya, menunjukkan rasa tak percaya diri.
“Untuk apa aku malu membawa perempuan secantik kau, Dik Arum?” Juragan tertawa pelan, cukup lama.
Namun, tawa itu segera terganggu oleh sensasi aneh yang merayap dari dadanya. Ia mengerutkan dahi.
“Hmm?” gumamnya lirih.
“Kenapa, Kang Mas?” tanya Arum tenang, namun mata elangnya tak lepas mengamati reaksi kecil itu.
“Entahlah ....” Jawab Juragan sembari menyentuh dadanya. “Sepertinya ... jantungku berdebar aneh. Mungkin karena semangat melihat wajah cantikmu pagi-pagi.”
Arum terkikik, meski senyum itu perlahan berubah menjadi seringai menakutkan. Ia menunduk, membisikkan sesuatu di dekat telinga Juragan.
“Mungkin Kang Mas terlalu lelah, ya? Badannya itu dijaga, dong ... jangan dipaksa terus-menerus. Saya ini bisa sedih kalau Kang Mas sampai jatuh sakit.”
Jemarinya kembali memijat bahu tua itu dengan ritme yang lembut namun teratur. Sementara di dalam tubuh Juragan, racun halus dari bunga lonceng neraka mulai bekerja perlahan—mengganggu irama kehidupan dari balik kulit yang mulai dingin.
.
.
“Aku mau ikut, Kang Mas! Jangan hanya gundik rendahan itu saja yang engkau prioritaskan!”
*
*
*
Ealah ras Laras wes gedhene sak emprit kok mbok potong entek pisan Yuyun kebagian OPO Iki engko 🤭
mampus kau emg enak g ada tongkta sakti mu
wkwkwkk tgl menungu ajal
siksa dlu pelan2 biar tau rasa
burung mu sdh banyak korban
memang sdh numpuk kejahatan mu
wis rasakno ,andalan mu tumpul sak Endogee ,
ajurrr ajurr ,tinggal slulup neng kolam disambut buaya lapar ,puasa 3 bln
🤣🤣