Valerie memutuskan pulang ke Indonesia setelah dikhianati sang kekasih—Kelvin Harrison. Demi melampiaskan luka hatinya, Vale menikah dengan tuan muda lumpuh yang kaya raya—Sirius Brox.
Namun, siapa sangka, ternyata Riu adalah paman terkecilnya Kelvin. Vale pun kembali dihadapkan dengan sosok mantan, juga dihadapkan dengan rumitnya rahasia keluarga Brox.
Perlahan, Vale tahu siapa sebenarnya Riu. Namun, tak lantas membuat dia menyesal menikah dengan lelaki itu, malah dengan sepenuh hati memasrahkan cinta yang menggebu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Indah Riu-Vale
Ruangan mewah dengan dominan warna putih, menjadi saksi bisu atas pergulatan dua anak manusia yang masih terlibat hubungan darah. Siapa lagi kalau bukan Kelvin dan Sander.
Usai mendengar pengakuan Sander, Kelvin langsung melayangkan bogeman mentah, yang mengena tepat di pipi Sander. Namun, lelaki itu juga tak tinggal diam. Dengan gerakan cepat ia melayangkan pukulan serupa, malah lebih brutal sampai-sampai tubuh Kelvin terhuyung dan nyaris jatuh.
Namun, Kelvin tak mau menyerah. Dia menyambar vas bunga yang ada di meja kecil, di sudut ruangan. Lantas, melemparnya dan mengenai kepala Sander. Darah segar pun mengalir dari pelipis lelaki itu.
Bak seorang pengecut, Kelvin langsung kabur dari tempat itu. Ia meninggalkan Sander yang makin tersulut emosi. Kelvin tak mau ambil resiko. Wajahnya sudah babak belur, jangan sampai Sander menghajarnya lagi. Langkah paling aman memang lari.
"Kelakuan sama persis seperti ayahnya, serakah dan pengecut. Jika tidak mau berubah, tidak akan ada hal baik dalam hidupmu, Kelvin!" geram Sander sambil memegangi pelipisnya yang berdarah. Terasa perih dan sakit. Kelvin memang sialan!
Lantas, apa keuntungan dari pergulatan barusan? Sama sekali tidak ada. Bahkan, wanita yang diperebutkan sekarang sedang duduk santai di pangkuan suaminya.
Sembari menatap layar komputer yang menampilkan beberapa profil perusahaan, Vale menikmati lingkaran tangan Riu yang menghangat di pinggangnya.
"Yang lain aku kurang paham. Tapi dua perusahaan ini, Astoria dan Jaya Sakti, ini perusahaan besar di luar kota. Ada apa dengan mereka?" tanya Vale. Dia tak paham mengapa Riu menunjukkan profil-profil perusahaan itu padanya.
Riu mengeratkan pelukan, sembari menyandarkan dagunya di atas bahu Vale yang terbuka.
"Mereka memang perusahaan besar, terlihat hebat dari luar. Benar memang, setidaknya sampai dua bulan lalu," ujar Riu.
"Maksudmu?"
"Dua bulan terakhir mereka mengalami masalah internal. Keuangan tidak stabil, bahkan sekarang tidak ada lagi yang bersedia menginvestasikan dana pada mereka. Selama satu bulan ini, mereka tertatih-tatih bertahan dari kehancuran. Aku ... adalah satu-satunya orang yang bersedia membantu mereka. Tapi, tidak sampai membuat mereka bangkit. Pada akhirnya, mereka menyerah juga. Sudah tidak bisa bertahan dan mau tidak mau merelakan perusahaannya diakuisisi olehku." Penjelasan Riu membuat Vale membelalak.
Mengakuisisi perusahaan, apalagi sebesar Astoria dan Jaya Sakti, itu bukan hal mudah. Butuh uang yang tidak terhitung jumlahnya, lantas apa Riu mampu?
"Kenapa terkejut? Ini sudah kurencanakan sejak jauh-jauh hari." Riu membalas tatapan Vale yang kala itu menoleh ke arahnya. "Kamu tahu kenapa aku mau membantu mereka? Ya karena aku ingin mereka bertahan sampai sekarang. Kalau aku tidak membantu, mereka akan hancur sejak saat itu, dan aku tidak akan bisa mengakuisisi mereka karena uangku belum ada," lanjutnya.
Vale menatap tepat di kedua mata hazel milik Riu, cukup lama, seakan berusaha membaca semua isi hati dari lelaki itu.
"Hanya dalam dua bulan, kamu sudah mendapatkan uang yang cukup untuk mengakuisisi dua perusahaan? Kamu ... terlibat dalam dunia mafia kah?" tanya Vale dengan gestur wajah yang tegang.
Namun, Riu malah terlekeh-kekeh, "Memangnya kamu takut kalau aku mafia? Percayalah, siapa pun aku, tidak akan pernah menyakiti kamu."
"Ck, aku serius."
Riu tertawa sejenak, sebelum menjawab pertanyaan Vale.
"Bisnisku terkadang memang tidak bersih. Tapi, aku tidak sampai menghabisi nyawa hanya demi memuluskan rencana. Ya ... sebatas taktik saja."
"Lalu uang itu? Kamu dapat dari mana?" selidik Vale.
"Nanti kamu juga tahu."
Vale mengembuskan napas panjang, sebagai isyarat bahwa dirinya tak puas dengan jawaban Riu.
"Dari pada memikirkan itu, lebih baik pikirkan malam ini. Bukankah ini sudah waktunya untuk menikmati yang katanya 'malam pertama'? Masa kamu masih ingin menunda lagi?"
Vale menunduk seketika. Pipinya memanas, sama seperti aliran darah dan detak jantung yang mendadak tidak wajar. Bahkan, kini sentuhan Riu rasanya mengandung aliran listrik yang menyengat hingga menembus tulang.
Padahal, itu sekadar ucapan dan sentuhan biasa. Lantas ... bagaimana jika Riu benar-benar mengajaknya bercinta?
Duh, membayangkan saja Vale sudah tak karuan, sampai tak sadar jika jemarinya mencengkeram kemeja Riu.
"Kita sama-sama belajar ya," bisik Riu tepat di telinga Vale. Lantas, dalam hitungan detik saja tubuh sintal Vale sudah berada dalam gendongannya.
Bersambung...