SEBENARNYA...

"Anda tidak apa-apa??" Di peganginya kedua lengan Andreas agar ia bisa berdiri.

Andreas mengusap hidungnya yang mimisan, kemudian memberi kode dengan tangannya bahwa ia baik-baik saja.

"Apa kau sudah puas?" tanya Andreas sambil memegangi dada nya yang sakit.

"Anjing elu udah datang, gue bisa apa selain mengakhiri permainan ini..??" Bryan tersenyum sambil melihat ke arah Rendy yang memandangnya dengan tangan terkepal.

Bryan bangkit dari duduknya, kemudian berjalan ke arah Andreas. Rendy yang berada di belakang Andreas tetap waspada walaupun Bryan adalah teman Tuannya selama bertahun-tahun.

"Apa yang elu suka dari nya sampek elu jadi kyk gini Bro..??" kata Bryan santai sambil tangannya pura-pura membersihkan debu yang menempel pada pundak Andreas.

Andreas menatap Bryan tajam, dari balik pundak Bryan, pandangan Andreas teralih ke Marisa yang masih terikat. Ia melihat Marisa yang berusaha melepaskan ikatannya tangannya, ia terlihat putus asa karena ikatan itu tidak mau terlepas. Tiba-tiba pandangan mata Marisa beralih padanya.

Andreas segera mengalihkan pandangannya ke Bryan. "Jangan pernah ganggu dia lagi, dia bukan siapa-siapa ku. Dia tidak ada hubungan apa pun denganku!"

Bryan terkekeh. "Kita berteman udah bertaun-taun, gue tau elu Bro. Kenapa elu sampek ngorbanin pertemanan kita hanya karena cewe itu..?"

Marisa mendengarkan apa yang Bryan katakan, ia tidak mengerti kenapa jadi gara-gara dia Andreas dan dirinya tidak lagi berteman.

"Apa bedanya cewe itu dengan cewe-cewe lain yang pernah tidur sama elu?" tanya Bryan.

"Diam!" bentak Andreas. ia tidak mau Marisa mendengarnya, wajahnya memerah karena malu.

Bryan tersenyum sinis sambil melirik ke arah Marisa. "Dia emang cantik, tapi nggak lebih cantik dari pada cewe-cewe yang mengantri ingin tidur dengan elu. Apa lagi dengan tunanganmu itu, jauh banget kan..?" Bryan terkekeh.

"Aku bilang diam!" di raihnya kerah baju Bryan.

"Kalo elu ngerasa bersalah karena udah memperkosanya, bukan kah elu tinggal kasih dia uang. Elu nggak perlu ngehajar gue sampek tulang rusuk gue patah kan..?" Bryan masih berbicara dengan santai.

Rendy yang berdiri di belakang Andreas ikut mendegarnya, ia memandangi Marisa dengan gusar.

Andreas diam tertunduk, ia seperti baru menyadari sesuatu.

Jika memang Marisa tak berarti untuknya, kenapa waktu itu ia begitu marah saat tahu Bryan mencampur obat dalam vodka nya...? Kenapa ia sampai membuang koleksi vodka dan bahkan tidak mengkonsumsi obat-obatan itu lagi..? padahal tiap kali ia menginginkan sabu dan ganja itu, ia seperti orang gila. Tapi ia bertekad tidak akan mengkonsumsinya lagi. Wajah Marisa lah yang terbayang-bayang di pikirannya, yang membuat ia kuat untuk benar-benar lepas dari obat-obatan itu.

"Elu sobat gue satu-satunya, kembali lah Bro...kita kayak dulu lagi." suara Bryan membuyarkan lamunanya. " Kita ke Club, seneng-seneng di sana, elu bisa dapetin siapa pun di sana, atau kalau elu mau, gue bisa cariin yang kayak dia."

"....Aku tidak bisa kembali seperti dulu." kata Andreas sambil menyingkirkan tangan Bryan dari pundaknya. " Kau salah jika berpikir aku punya perasaan lebih terhadap nya. Dalam waktu dekat aku akan menikah dengan Eva, dia tidak ada hubungan apa-apa denganku selain rasa bersalah."

Sesak dada Marisa mendengarnya, " dia akan menikahi tunangannya, lalu bayi ini.....???" Wajah Marisa memelas. "Sejak awal ini memang aib, apa yang kau harapkan Marisa..?? Berharap ia akan menikahimu..??" Marisa terisak. Jika saja keadaan tangannya tidak terikat tentu ia ingin memukuli perutnya.

Wajah Bryan mendadak serius setelah mendengar penjelasan dari Andreas. Tapi itu cuma sesaat sebelum kemudian kembali seperti biasa.

"Kalau memang seperti itu gue harus minta maaf dong sama dia." ia terkekeh sambil melihat ke arah Marisa.

Andreas hanya terdiam melihat tanah di bawahnya dengan alis yang bertaut. Ia berharap agar Bryan segera pergi, agar ia bisa segera menolong Marisa.

" Jangan gigit gue yaa, dalam permainan ini, luka Tuan elu nggak ada apa-apanya dengan saat dia ngehajar gue." Bryan berkata pada Rendy yang tidak di jawab apa pun olehnya.

Bryan memberi kode pada orang-orangnya untuk pergi mengikutinya.

" Jangan pernah libatkan dia lagi dalam permainan konyolmu yang lain." kata Andreas saat Bryan mulai beranjak pergi.

"Hehehee..." Bryan hanya terkekeh, kemudian sambil bersiul- siul ia berjalan pergi keluar dari gudang, di ikuti para anak buahnya.

Begitu Bryan tak terlihat, Andreas langsung berlari ke arah Marisa. Ia jongkok di depannya dan mulai membuka ikatan di mulutnya.

"Kau tidak apa-apa..??" tanyanya setelah ikatan di mulut Marisa terbuka.

Di lihatnya wajah Marisa yang sembab dengan cemas, ia ingin memeluknya. Tetapi Marisa langsung membuang muka, seketika raut wajah Andreas berubah kecewa.

Ia hanya bisa diam sambil membuka ikatan pada kaki, kemudian berpindah pada tangan Marisa.

Rendy yang berdiri di belakang, memperhatikan sikap Andreas yang meski Marisa bersikap tak acuh padanya, tapi ia tetap mau membukakan tali ikatannya dengan sabar. Firasat Rendy tak baik tentang hal ini.

Mata Andreas membulat saat membuka ikatan di bagian tangan, di lihatnya tangan Marisa lecet dan terdapat memar yang melingkar membentuk ikatan. Sedari tadi memang Marisa berusaha keras untuk membuka ikatannya, tapi bukannya berhasil membuka nya, tali tambang yang di gunakan untuk mengikatnya malah melukai kulit tangannya.

Ia kembali memandangi Marisa. Andreas memang tidak bisa melihat wajahnya , karena Marisa memalingkan muka dari nya. Tapi Andreas tahu, ulah Bryan telah membuatnya ketakutan. Pasti seumur hidupnya Marisa tidak pernah mengalami hal seperti ini, di culik di siang bolong, di ikat dan di sekap dalam sebuah gudang tua oleh orang-orang yang tidak ia kenal. Kecuali Bryan tentu saja, karena Marisa telah beberapa kali bertemu dengannya.

Andreas tertunduk sedih, ia merasa sangat bersalah. Ia teringat kata-kata Marisa tempo hari yang selalu menyalahkannya. Dan sekarang Andreas merasa, ini semua memang salahnya. Seandainya saja ia bisa meredam sedikit ego nya untuk tidak mengusik hidup Marisa lagi, mungkin sekarang ia tidak akan menjadi sasaran Bryan yang ingin membalasnya.

Di raihnya tangan kanan Marisa dan di letakkan di dadanya, "Maaf kan aku..." ucapnya lirih.

Lewat tangannya, Marisa bisa merasakan suara detak jantung Andreas yang bergemuruh. Ia berniat untuk menarik tangannya, tapi saat di lihatnya kedua mata berwarna coklat terang itu, Marisa terkesima. Tidak ada lagi sorot mata seperti hewan liar yang selalu datang di mimpi buruknya, atau sorot mata penuh kesombongan yang selalu menghargai apa pun dengan uang. Yang ada di situ hanyalah keindahan dari dua bola mata berwarna coklat terang, yang memandanginya dengan berkaca-kaca.

Mereka saling pandang,dengan tangan Marisa yang masih di genggamnya dan di letakkan di dadanya.

"...Marisa..." untuk pertama kalinya Andreas memanggil namanya.