Laki Abrisam Gardia adalah seorang penyanyi religi tersohor berusia 28 tahun yang sangat akrab dengan kesempurnaan. Dia memiliki sempurna rupa, harta, dan silsilah keluarga. Ketika kuliah S-2, dia dipertemukan dengan Mahren Syafana Humairoh, sosok perempuan tangguh yang hidup sendiri dengan menanggung utang yang di tinggalkan oleh almarhum ayahnya.
Pertemuan mereka menjadi awal malapetaka. Maksud hati Laki menolong Syafa yang tengah kesulitan dengan mengamankan Syafa di salah satu hotel miliknya, malah membuat beredar kabar di sosial media, bahwa Syafa adalah wanita satu malam Laki. Kondisi semakin kacau. Desakan media dan keluarga membuat Laki dan Syafa memutuskan untuk menikah kontrak.
Janji mereka adalah, tidak ada cinta. Hanya ada parting smile, setelah 5 tahun pernikahan. Namun, waktu yang dihabiskan bersama membuat keadaan menjadi rumit. Ada luka ketika sosok lain hadir diantara keduanya. Mungkinkah cinta perlahan tumbuh diantara keduanya?
AWAS!ZONA BAPER!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alyanceyoumee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8 Luka Yang Tak Pernah Hilang
Langkah gontai mengantar Laki menuju dapur. Membuka pintu kulkas. Mengeluarkan sebotol besar air mineral dingin. Membuka dan menuangkan air tersebut pada gelas yang sudah bertengger di atas meja makan.
Sorot mata Laki mengawang. Membiarkan pikirannya larut dalam bayangan reka adegan mimpi yang hampir 2.190 kali terulang. Kelopak kedua bola matanya mengedip pelan. Sementara napas nya terhelan dan terhempas panjang.
"Astagfirullah, Kak Laki!" Halila setengah berlari mendekati Laki. Mengambil botol kosong dari tangan putranya.
"Oh. Astagfirullah. Maaf Ami," ucap Laki sambil menyabitkan seulas senyuman. "Laki ambil lap dulu," lanjutnya. Ya, diluar sadar sebotol besar air mineral membanjiri meja makan dan lantai. Laki sama sekali tidak menyadarinya.
Halila menahan langkah Laki. Dengan kacaan air dimata, wanita paruh baya itu mendudukkan putranya di kursi. "Biar Ami saja. Kak Laki duduk dan tenangkan pikiran."
Laki berdiri dan berusaha menepis apa yang Halila kira. "Laki tidak apa-apa Ami, airnya hanya terlanjur tumpah." Dia tidak mau Aminya merasa hawatir dengan dirinya. Ya, dia baik-baik saja. sungguh.
"Kak Laki..." Air mata Halila hampir tumpah. Sekuat tenaga wanita itu menahannya. Semakin putranya berusaha menunjukan bahwa dia baik-baik saja, hatinya semakin merasa terluka. Ini bukan kali pertama Halila menemukan putranya tampak rapuh di balik ketegaran yang ia tunjukan. Ribuan kali dirinya meyakinkan hati bahwa putranya sudah sembuh. Ribuan kali pula kenyataan menunjukan bahwa trauma putranya masih menghantui. Ya Allah..., apa yang harus aku lakukan supaya mimpi buruk yang selalu menghantui putraku hilang? Halila merasa putus asa sendiri.
Laki tersenyum. "Laki baik-baik saja, Ami. Kembalilah istirahat."
Halila mengangguk, mengusap pipi dan pundak putranya yang jauh lebih tinggi darinya. Halila paham benar, sekeras apapun dia berusaha membantu, putranya akan tetap menolak. Wanita itu hanya mampu menatap getir putranya yang tengah sibuk membersihkan meja, dari kejauhan.
***
“Selamat sore Kakak, selamat datang." sambut seorang waitress kedai kopi pada seorang wanita berpakaian kemeja polos warna green tee selutut dengan celana levis longgar dan kerudung motif bunga yang dijuntai menutupi bagian dada.
“Pesan seperti biasa?" sambung waitress itu dengan semangat dan antusias. Wanita bermata amber dengan tinggi badan kisaran 165 cm yang dimaksud pelayan tersebut mengangguk sambil menyabitkan senyuman. Dia berlalu menuju gazebo yang terletak di bagian ujung kedai tersebut. Tempat biasa ketika teman kaya raya-nya mengajak curhat di sana.
Sesampainya di gazebo, wanita itu menyimpan tas ransel. Lalu menyandarkan tubuh di sisian tembok sambil menghempaskan napas berat. Meregangkan tubuhnya yang lelah. Menilik jam yang melingkari lengan. Jarumnya menunjuk angka empat, sore hari. Hm, dia datang terlalu tepat waktu. Harusnya dia ingat, jika janjian jam empat sore, paling cepat jam setengah lima temannya itu baru datang.
“Ya sudahlah. Ayo cinta, kamu temani kakak mu sekarang," lirihnya sambil mengeluarkan laptop berwarna pink dari dalam tas ransel. Lalu menyalakannya. Laptop itu adalah cintanya, dan dirinya adalah kakak untuk salah satu alat elektronik itu.
“Flat white coffee nya, Kak Syafa..." kata waitress ber-name tag Ida itu sambil menyuguhkannya di atas meja. Samping laptop yang perlahan menunjukan tema berupa foto Syafa beserta almarhum ayahnya. Berdua. Tanpa foto ibunya.
“Hmm... wangi enak. Makasih Ida ku..." komentar Syafa sambil menyabitkan senyuman. Ida membalas senyum sambil mengacungkan kedua ibu jari tangannya. Sementara nampan yang di gunakan untuk membawa secangkir kopi tadi, ia selipkan di bawah ketiak.
“Ko sendiri, Kak? Oh..., pasti janjian sama Kak Kaila, ya?" Ida yang satu tahun kebelakang baru lulus sekolah tingkat SMA itu bertanya sekaligus menebak jawabannya dengan tepat.
“Yap. Betul sekali. Hm, kamu memang waitress yang hebat. Nanti kak Syafa ajukan sama pemilik kedai ini supaya kamu dapat penghargaan sebagai waitress terperhatian sama pelanggan."
“Ew, gak usah. Kasihan Bos ku nanti. Soalnya bukan hanya aku, semua karyawan disini tau bahwa Kak Kaila suka telat setengah jam dari waktu janjian. Nanti tekor Bos ku kalau harus ngasih semua karyawannya penghargaan hehe," jawab Ida sambil terkekeh yang diikuti oleh Syafa.
Sepeninggal Ida yang mulai sibuk melayani pelanggan, Syafa membuka aplikasi corel draw. Dia hendak melanjutkan pekerjaannya. Membuat layout dari novel berjudul Memories Of The Earth Ya’ karya seorang penulis bernama pena Alyanceyoumee. Novel yang bagus dengan alur cerita yang sulit di tebak itu harus tercetak dengan apik dan sempurna. Syafa menekadkan itu di hatinya. Tapi...
Bukk!
Tiba-tiba Syafa menghantam meja dengan kedua lengannya. Dia jengkel. Wanita itu gagal konsentrasi. Sosok lelaki menyebalkan benar-benar mengacaukan hari nya. Mengacaukan pikirannya.
Semenjak tadi malam Syafa menelpon, hingga jam dua malam dia menunggu kiriman jawaban dari soal nomor tujuh sampai sepuluh yang dia tugaskan pada lelaki itu. Tapi, tidak ada. Lelaki itu tidak mengirimkan jawabannya.
Selain itu. Ada lagi yang Syafa pikirkan. Ucapan terimakasih yang diucapkan lelaki itu padanya. Diluar sadar otaknya terus menebak-nebak dan memikirkan hal itu. Sangat menyebalkan.
Kemudian pas kuliah tadi pagi. Arrrghh!!! Syafa benar-benar di buat emosi sendiri. Lelaki itu memintanya untuk satu kelompok, tapi pas ada tugas, dia malah tidak masuk. Parahnya, bukan hanya dia. Temannya pun ikut-ikutan tidak masuk. Mana Syafa belum mengisi tiga soal terakhir lagi?! Jika boleh jujur, rasanya Syafa ingin sekali mengumpati mereka berdua.
Dan ternyata ada kejadian lebih parah lagi. Tadi ketika di kampus, dengan berat hati Syafa mendekati Bu Ayu. Dia berniat meminta maaf atas keterlambatan kelompoknya mengumpulkan tugas. Seorang Syafa yang otaknya tergolong cemerlang tidak mungkin mengumpulkan tugas yang belum selesai. Otak cemerlang ko gak bisa menjawab soal? Masalahnya jawaban dari ketiga soal terakhir tersebut harus berdasarkan survey ke perusahaan. Dan Syafa tidak sempat melakukannya.
Tapi, dengan enteng Bu Ayu bilang. "Tugas? Tugas kelompok satu sudah masuk di email saya subuh tadi. Pak Laki mengirimkannya." Waaah! Saat itu rasanya Syafa ingin terbahak. Menertawakan dirinya yang gelisah seharian sambil meluncurkan roket ke arah Laki dimanapun berada. Bom! Dan hancurkan dia! Apa susahnya jika lelaki itu memberitahu padanya bahwa tugas sudah selesai dikerjakan?! Mudah bukan?! Tapi dia tidak melakukannya!
Bukk!!!
Lagi-lagi Syafa menghantam meja. Membuat kopi pesanannya sedikit menetes di sisian gelas cangkir. “Ya. Mari kita sedikit maki dia." tekannya sambil merogoh handphone di saku bajunya. Dia hendak menelpon Laki.
“Issshh! Abaikan saja Syafa. Jangan terpancing. Jika kamu menghubunginya. Berarti dia berhasil mengusikmu. Dan itu maunya. Tidak, tidak. Tahan... oke. Abaikan saja dia." Syafa merutuki dirinya sendiri. Kemudian menyimpan handphone miliknya di atas meja.
Bertepatan dengan itu, Kaila datang menghampiri.
“Syafa..., mulai sekarang dan hari-hari selanjutnya aku tidur di rumahmu, ya!" tekan Kaila sambil duduk dihadapan Syafa. Sesaat Syafa menatap Kaila lamat-lamat, sebelum mengomentari ucapannya.
“Hm, Kenapa lagi Kaila? Rumahku sempit. Rumahku setengah ukuran dari kamarmu. Kamu tidak akan betah."
“Ah... Terserah. Aku tidak peduli. Pokoknya aku tidak mau pulang! Titik!” sungut Kaila sambil cemberut. Kedua bola matanya sedikit berkaca. Syafa menghempaskan napas berat. Ini bukan kali pertama Kaila seperti ini.
Syafa menyodorkan kopi miliknya, lalu bicara. "Minumlah. Dan menangislah,” Kaila meneguk kopi yang disodorkan Syafa padanya. Lalu mulai menangis sesenggukan.
Syafa duduk bersedekap sambil menatap iba sahabatnya. Sahabat yang mengikutinya sejak kelas XI SMA semester dua, saat pertama ia pindah ke salah satu sekolah di kota Bandung, hingga sekarang.
“Menikahlah Kaila. Ikuti apa kata orang tuamu," anjur Syafa yang dijawab langsung dengan gelengan kepala oleh Kaila.
“Kamu sudah cukup umur untuk menikah."
"Kenapa kamu memikirkan umurku. Sementara kamu sendiri tidak memikirkan umur mu. Jika aku cukup umur untuk menikah, maka kamu juga sama.”
Syafa menyabitkan senyuman. Jawaban Kaila membuatnya merasa lucu. "Kita berbeda Kaila..."
“Aku akan menenggelamkanmu kalau kamu menyebutkan lagi kita berbeda," sela Kaila sambil mengusap air matanya.
“Tapi kenyataannya kita berbeda Kaila. Kamu masih memiliki orang tua yang harus kamu jaga hatinya. Sementara aku tidak. Kamu tidak memiliki hal yang harus kamu selesaikan sebelum menikah, sementara aku ada," jelas Syafa.
"Ck. Aku tidak peduli. Aku akan menikah kalau kamu menikah!" tekan Kaila.
“Hey?! Aku kemungkinan akan menikah di usia... em.... en.. enam puluh?" ungkap Syafa dengan ragu. "Jika masih hidup itu juga,” lanjutnya.
"Ah... terserah, terserah. Pokoknya aku akan menikah kalau kamu menikah. Aku tidak mau membiarkanmu merasa hidup sendiri. Bagaimana? Bukankah aku sahabat yang setia?"
“Wanita gila!" rutuk Syafa. Apa kamu mau membuat ibumu semakin tidak menyukaiku? lanjutnya dalam hati. Ya, kelakuan Kaila yang terus saja mengikuti Syafa sejak SMA, tempat kuliah, bahkan tempat kerja, membuat Ibu nya Kaila sering kali menatap sinis ke arah Syafa. Menyalahkannya.
“Syafa?" Tiba-tiba seseorang yang baru sampai dihadapan Syafa dan Kaila menegurnya.
“Damar?” balas Syafa dengan raut wajah sedikit jengkel. “Kenapa kamu tidak masuk kuliah tadi?" tanya Syafa.
Damar memijat kepalanya yang berasa pening. Pasalnya jawaban dari pertanyaan Syafa membuat ia teringat dengan seseorang yang selalu menyulitkannya tapi selalu dia butuhkan untuk menghasilkan uang.
“Kamu tau, seharian ini saya menandatangani banyak foto dari seseorang yang selalu membuatmu jengkel itu, untuk di bagikan pada para fans nya. Aduuuh... Sampai pegal-pegal tangan saya,” ucapnya.
"Oh..." komentar Syafa malas.
“Dan kamu tau? Kemarin. Gara-gara kamu, si Laki menelantarkan saya disisian jalan! Parah banget tuh anak!"
Sesaat Syafa menunjuk dirinya meggunakan jemari tangan kanan. Dia tidak mengerti sedikitpun. “Gara-gara saya? Maksudnya?"
“Oh... Eng.. Itu... Engga maksud saya..." Damar tergagap. Dia keceplosan hal yang ia duga seorang diri. Tanpa kejelasan. Bahkan beberapa detik selanjutnya Damar tersadar bahwa yang membuat Laki meninggalkannya di jalanan sebenarnya adalah bibirnya sendiri yang sudah berani membahas wanita itu.
“Tunggu. Laki?" potong Kaila. “Maksud kalian Laki Abrisam Gardia? Hm?!"
Damar bertukar tatap dengan Syafa. Menelan saliva melalui kerongkongannya yang kering. Dia sendiri yang sudah mengumumkan pada semua teman-teman satu kelas untuk tidak membeberkan bahwa Laki kuliah bersama mereka. Tapi, dirinyalah yang justru keceplosan membicarakan.
“Kalian memilih untuk diam?! Beneran?! Jadi beneran?! Laki yang kalian bicarakan adalah Laki kecintaanku?! Iya?!" Kaila semakin heboh.
Diam. Syafa dan Damar memilih untuk diam.
Buk!!
“Syafa…!!! tega sekali kamu gak ngasih tau aku!!” teriak Kaila setelah memukul keras pundak Syafa penuh antusias dengan wajah berbinar-binar. Kemana perginya ekspresi menyedihkan yang tergambar jelas dari wajahnya tadi? Kenapa bisa serentak berubah hanya setelah mendengar nama Laki? rutuk Syafa.
Wanita itu mengusap-usap pundaknya yang sakit sambil menatap sinis pada Damar yang menghempaskan tubuhnya di samping Kaila dengan penuh penyesalan.
***
To be continued...
Hai hai... Alhamdulillah bisa update lagi PS nya. Siap-siap ya man teman, makin bertambah Bab insyaallah makin syeru... Semoga semuanya pada setia sampai akhir.
Jangan lupa, pote, like and komen nya ya.... Follow juga Alyanceyoumee, biar semakin bersemangat nulis nya 😁.
Luv you semuanya...
Sampai ketemu di bab berikutnya...