Dilarang nangis🛠️
Siapa yang tidak hancur saat istri yang baru saja dinikahinya selepas ijab Qobul tiba-tiba meninggal.
Angkasa Sadewa yang belum rela akan kematian Mendiang Sekar akhirnya mengalami depresi yang sangat berat hingga membuatnya hampir gila.
Sampai suatu ketika Ia dan Ayahnya Pak Dewok bertemu gadis bernama Bulan. Wajah nya begitu mirip dengan Almarhum Sekar. Karena sama-sama membutuhkan Bulan dan Pak Dewok melakukan perjanjian.
Bulan harus berpura-pura menjadi Sekar dan timpal jasanya adalah membayar pengobatan adiknya Fatan yang sedang sakit parah.
Puncak masalah bertambah pelik disaat Bulan malah mengalami Amnesia akibat sebuah kecelakaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sobri Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 33 Menenangkan
Dua jam tak cukup bagi Bulan menghentikan tangisnya, Angkasa yang seharusnya pergi kekantor tertahan disana. Tidak tega jika membiarkan istrinya seorang diri.
Duduk dalam diam diruang tunggu, seseorang perempuan berpakaian pasien datang menghampiri mereka. Wajahnya tidak bisa di gambarkan, Ia takut bercampur sedih akan kondisi sahabatnya itu. Menemuinya juga harus memiliki keberanian yang cukup. Ia yakin Bulan tidak akan bisa memaafkannya dengan mudah.
"Bulan...!" Panggil Maya, Ia berdiri tepat didepan nya ditemani selang infus. Wajah pucat pasi tercetak di wajah Maya.
Bulan yang masih menyandar dipundak Angkasa langsung mendongak kearah orang yang selama ini pura-pura baik terhadapnya. Bulan memandangi dengan penuh kebencian, Ia benar-benar terluka akan perbuatan Maya dan Awan. Sampai tega mendua dibelakangnya.
"Siapa, Yang?" Angkasa mencoba mengenali wajah gadis itu, akan tetapi dia tidak pernah melihatnya.
"Kenalkan saya Maya!" Perempuan tersebut mengulurkan tangan kearah Angkasa dan hampir di sambutnya sebelum akhirnya Bulan menepis lengan Maya.
"Mau apa kesini? aku tidak butuh kebaikan palsu dari mu!" ucapan Bulan terdengar kasar dan ketus.
Maya menyadari perubahan sikap Bulan. "Saya hanya ingin menjenguk Fatan," jawabnya lirih. Tidak mampu berkata banyak.
Bulan berdiri lalu menggeret Maya menjauh, Angkasa yang tidak tau permasalahan mereka hanya melihat pada keduanya.
"Aku tidak butuh kebaikanmu, May. O ya, apa kamu tidak datang bersama Awan tadi. Sedang apa disini? kamu sakit?" Bulan mengamati pakaian dan tiang infus yang dipegangnya.
Maya mengangguk. "Awan baru saja menjengukku," jawabnya jujur.
"O ya? sakit apa?" Bulan bersedekap menatap sinis.
Maya nampaknya ragu-ragu untuk menjawab. Ia takut Bulan akan semakin marah.
"Kenapa diam? apa kau juga takut untuk mengaku?"
Maya, menatap bingung wajah sahabatnya. Ia tidak tahu harus mengatakan apa.
"Ma_ maaf, Bulan. Aku pergi saja." Maya akan pergi tapi Bulan menahannya dengan kata-kata.
"Aku tahu, mungkin kau sedang sakit akibat hubungan dengan Awan."
Maya tercekap dan kembali memutar tubuhnya. Ia ingin mengatakan sesuatu yang membelenggu hatinya tapi membuka mulut saja rasanya terlalu sulit. Ia yakin jika dirinya jujur, ungkapan tersebut akan menggoreskan kebencian Bulan semakin dalam.
"Semoga Fatan cepat sembuh." Usai mengatakan itu, Maya meninggalkan Bulan yang terus melihatnya sampai masuk keruangan dimana Maya dirawat.
"Ch, kenapa kamu jahat, Maya," decih Bulan lirih. Selama ini dia selalu berbagi dengan sahabatnya itu baik curhat tentang Fatan atau pun Awan. Namun Bulan tidak menyangka, kejujurannya membuka peluang Maya merampas kekasihnya.
"Kau mengenalnya?" Angkasa sudah berdiri tepat dibelakang Bulan. Gadis itu tidak menjawab dan kembali ketempat duduk.
Angkasa mengekor dan melakukan hal serupa. Meraih tangan Bulan dan menggenggam sejenak lalu menciumnya.
"Apa kalian punya masalah?"
Bulan sudah memperkirakan hal itu, Angkasa tidak akan berhenti bertanya sebelum mendapatkan jawaban darinya.
"Dia dulu sahabatku, tapi pengkhianat," jawab Bulan. Sejenak menerawang jauh mengamati beberapa orang yang tengah mengobrol menunggu keluarga mereka yang juga sedang sakit. Tidak tahu, jika diantara mereka mungkin saja tidak berumur panjang seperti yang Bulan khawatirkan pada Fatan.
"Soal apa?" tanyanya lagi, sambil mengalihkan anak rambut yang mengganggu wajah Bulan.
Bulan menoleh kearah Angkasa lalu tersenyum getir. "Biasalah masalah cewek," jawabnya lagi, mencoba menghela nafas dan menghembuskan nya perlahan.
"Kamu tidak kekantor?" Bulan ganti bertanya, menggapai tangan Angkasa kepangkuan nya guna melihat jam yang melingkar disana
"Enggak ahk, aku mau disini menemani kamu." Angkasa mencubit ujung hidung Bulan dengan sayang.
Bulan serasa seperti bidadari, bagaimana tidak. Seorang pemuda tampan siap siaga menghibur dan menemaninya dalam kesedihan. Tau bagaimana cara membuat hatinya merasa tenang.
Kebaikannya? Ahk, haruskan aku merelakan hidupku?
Terbersit pikiran kacau diotak Bulan. Perasaan nya benar-benar tersentuh akan perlakuan Angkasa setiap waktu mereka bersama. Bahkan genggaman tangannya saja, mampu meluruhkan gelisah yang bersarang dihatinya.
"Sweety, jika Fatan sembuh dan aku ingin dia tinggal bersama kita. Apa kamu akan menerimanya?" Jawaban Angkasa adalah penentu keputusannya.
Angkasa tergelak, lalu menggaruk pelipisnya. Mengamati wajah Bulan seolah sudah menempel didalam bola matanya walaupun nanti mereka tengah berjauhan.
"Bukan hanya sekedar menerimanya, kamu suruh aku terjun ke dalam bara api cintamu pun aku siap," jawab Angkasa, membuat perasaan Bulan kembali menggelora mengagumi pria itu.
"Apa kau yakin? mana buktinya?" Bulan malah memberi tantangan.
Angkasa tiba-tiba memegang tengkuk Bulan lalu mencium bibir ranum itu cukup lama. Mengundang tatapan orang-orang yang ada disana tertuju kearah mereka.
Bulan terperangai, kaget dan berusaha mendorong dada Angkasa yang belum juga melepas pangutan nya.
"Em....." Bulan kesulitan bernafas. "Sweety...!" Bulan harus mendorongnya lebih keras.
"Kenapa?" Angkasa tidak mengerti juga jika beberapa mata sedang mendelik.
Bulan menunjukkan maksudnya lewat mata kearah orang-orang didepan sana yang terus memperhatikan tindakan mereka.
"Ehemz... Ehemz... ." Angkasa salah tingkah dan terus berdehem dan pura-pura membenahi pakaiannya lalu membuang muka kearah lain membuat Bulan terpingkal-pingkal.
"Kau puas, hem?" Angkasa gemas dan rasanya ingin kembali menciumnya, tapi malu bercampur kikuk hingga akhirnya memilih tidak menoleh.
"Makannya, liat tempat dan kondisi," ejek Bulan, belum puas rupanya menggoda Angkasa.
"Baiklah, berhati-hati saja pada saat malam ULTAH mu."
Ucapan Angkasa kembali mengingatkan nya akan permintaan Pak Dewok tadi.
Haruskan aku memberikannya?
Terlalu banyak beban dan rasa letih yang seolah mendesak untuk menghimpitnya. Hingga tidak sadar, Bulan tertidur dipundak Angkasa.
Karena hari sudah mulai malam, Angkasa menitipkan Fatan pada Dokter yang datang mengecek kondisinya.
Suasana juga cukup lengang, membuatnya memutuskan membopong tubuh Bulan menuju Mobil. Menidurkannya di kursi belakang dengan posisi miring. Banyak bantalan didalam bagasi belakang yang terpaksa harus Angkasa taruh di bawah takut jika nanti Bulan melorot jatuh.
Dalam perjalanan, Angkasa tidak mengeluarkan suara apa pun. Hanya mengecek kondisi Bulan lewat kaca spion belakang.
Diingatnya lagi soal kata-kata Bulan dirumah sakit, yang ingin membawa Fatan tinggal bersama
Sesungguhnya, Angkasa sangat yakin jika Bulan juga sangat menginginkan anak seperti dirinya tapi tidak mengakui. Benar yang dikatakan Bayu, tentu Bulan masih merasa takut terhadapnya.
Aku tidak sabar menunggu malam itu, Sayang...
Disepanjang jalan Angkasa senyum-senyum sendiri seperti orang gila. Hingga tidak sabar, sudah sampai dihalaman rumah.
Pak Dewok dan Bu Arumi rupanya tengah berbincang-bincang soal pesta yang akan Angkasa gelar.
"Ayah yakin akan pergi dihari bahagia Angkasa?"
"Iya, Bu. Itu semua juga untuk masa depannya," jawab Pak Dewok.
"Tapi bagaimana jika Angkasa kecewa?" Bu Arumi tidak mengerti jalan pikiran suaminya itu. Pak Dewok tidak memberi tahu soal permintaannya pada Bulan.
"Soal uang, Ibu tidak masalah, Yah. Yang penting Angkasa segera pulih," ujar Bu Arumi lagi.
"Maksud Ibu apa?" Angkasa yang masih mendekap Bulan muncul dan menimpali dengan nada keingin tahuan.