KONTEN INI AREA DEWASA‼️
Lima tahun cinta Shannara dan Sergio hancur karena penolakan lamaran dan kesalah pahaman fatal. Bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali di atas kapal pesiar. Sebuah insiden tak terduga memaksa mereka berhubungan kembali. Masalahnya, Sergio kini sudah beristri, namun hatinya masih mencintai Shannara. Pertemuan di tengah laut lepas ini menguji batas janji pernikahan, cinta lama, dan dilema antara masa lalu dan kenyataan pahit.
Kisah tentang kesempatan kedua, cinta terlarang, dan perjuangan melawan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RYN♉, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GTTS chapter 33
Udara di dalam studio syuting terasa pengap, meskipun pendingin ruangan bekerja keras. Kelelahan setelah scene yang emosional tergambar jelas di wajah Karina. Shannara bergerak sigap, membawa robe sutra dan sebotol air mineral dingin berlabel mahal. Ia sedang memasukkan gaun berenda Karina yang baru saja dilepas ke dalam garment bag beludru ketika ponsel sang artis berdering.
Layar menampilkan nama "Mama Pharita ❤️" sebuah nama yang bagi Karina adalah simbol kekuasaan dan bagi Shannara adalah memori pahit yang dingin.
Karina, yang sedang mengoleskan krim tangan, mengambil telepon itu. Ia duduk di kursi rias, membiarkan Shannara berjarak satu langkah darinya. Dengan gerakan jari yang luwes, ia menekan tombol speaker kecil di samping, memastikan bahwa volume suaranya, meskipun normal, bisa terdengar jelas oleh Shannara.
📞 "Mama? Ya ampun, Mama sudah pulang! Kenapa nggak kasih kabar dulu? Aku kan bisa jemput mama dibandara. Aku kangen banget, lho!"
📞 "Oh tentu, Ma. Aku baik-baik aja, Sergio juga. Wah, kalau tahu Mama sudah pulang, dia pasti senang banget."
📞 "Udang asam manis kesukaannya, Ma. Aku yakin dia bakal minta Mama masak itu lagi."
Shannara menahan napas. Tangannya, yang memegang hanger gaun, terasa dingin dan sedikit gemetar. Ia mencoba fokus pada tekstur kain, tetapi telinganya tidak bisa mengabaikan.
Karina menjeda, seolah mendengarkan petuah yang sangat panjang dari seberang sambungan. Ia lalu menoleh sekilas ke Shannara, tatapannya dingin dan menghakimi, seolah mengatakan, ‘Dengarkan baik-baik. Ini bukan tempatmu.’
📞 "Ma, Mama tahu kan? Mama itu bukan cuma mertua, tapi sudah seperti Mama kandungku sendiri," Karina melanjutkan, nadanya kini melunak penuh keintiman yang disengaja. "Perhatian Mama, kehangatan Mama ke aku, benar-benar nggak ada duanya. Aku bersyukur banget bisa jadi bagian dari keluarga besar Pradipta. Aku usahakan yang terbaik, Ma, agar Mama bangga punya menantu sepertiku."
Kalimat itu, yang dimaksudkan untuk menenangkan Pharita, adalah serangan psikologis yang ditargetkan pada Shannara. Karina sengaja menonjolkan statusnya: istri yang diterima, menantu kesayangan, bagian dari darah biru Pradipta.
Shannara menarik napas dalam, aroma parfum mahal Karina menyesakkan paru-parunya. Ia berbalik, menghadiahkan Karina sebuah senyum profesional yang tipis, topengnya yang paling meyakinkan. Matanya, bagaimanapun, memendam kesedihan yang gelap dan rasa mual yang kembali datang.
"Maaf, Karina. Ini hanger-nya sudah saya simpan dan gaunnya sudah saya masukkan." katanya, menjaga suaranya tetap rendah dan tanpa emosi.
"Oh, terima kasih, Shannara." balas Karina, mengakhiri panggilan. Ia menatap Shannara, matanya bersinar penuh kemenangan. "See? Aku benar-benar harus bersyukur punya ibu mertua sebaik itu. Mertuaku itu sangat baik dan sensitif, dia memperlakukanku seperti anak perempuannya sendiri. Dia selalu memprioritaskanku."
Shannara hanya mengangguk pelan dan tersenyum ringan "Senang mendengarnya." Suaranya lembut, tapi terasa ada ruang kosong di antara suku katanya. Dan dalam ruang kosong itu, masa lalu datang kembali bagai rekaman lama yang tak pernah bisa dihapus.
...----------------...
Delapan tahun lalu.
Shannara berusia dua puluh tahun kala itu, seorang mahasiswi yang penuh harapan. Ia duduk tegak di kursi kulit di kafe privat dengan dekorasi mewah, tangannya memegang cangkir teh yang sudah dingin. Di hadapannya Pharita Pradipta, ibu dari pacarnya, Sergio. Ia duduk dengan postur sempurna, mengenakan setelan Chanel yang elegan.
Pharita sama sekali tidak menaikkan nada suaranya. Setiap kata diucapkan dengan intonasi yang elegan dan terstruktur, tetapi racun di baliknya menusuk jauh lebih dalam daripada teriakan.
"Saya puji ketenanganmu. Tapi mari kita bicara terus terang." Pharita membuka pembicaraan sambil menyesap teh Earl Grey-nya. Matanya yang tajam dan dingin memancarkan ketidaksukaan pekat.
"Nona Shannara," lanjut Pharita, meletakkan cangkirnya dengan suara pelan, tetapi resonansinya keras di telinga Shannara. "Mari kita singkirkan basa-basi. Keluarga Pradipta memiliki sejarah. Lini keturunan kami bukan sekadar garis keluarga biasa. Dan kamu harusnya bisa mengukur diri. Saya menghargai lima tahun hubunganmu dengan Sergio, tetapi mari kita bicara mengenai realitas."
"Saya mendengarkan, Tante." jawab Shannara, tangannya yang tersembunyi di bawah meja gemetar.
"Sergio adalah pewaris tunggal Pradipta. Garis keturunan kami adalah warisan yang harus dijaga. Saya perlu bertanya, Nak," Pharita mencondongkan tubuh sedikit, seolah membisikkan sebuah rahasia pahit. "Dari aspek mana kamu melihat dirimu memiliki kualifikasi untuk mendampingi seorang Pradipta? Apa yang mendasari keberanianmu untuk memimpikan posisi Nyonya besar di keluarga ini?"
Kata-kata itu, diucapkan tanpa nada tinggi, tapi justru terasa lebih menghancurkan.
"Kami memiliki informasi lengkap. Tentang masa lalu ibumu yang tak terhindarkan, dan latar belakang kelahiranmu yang berada di luar norma sosial kami. Hal itu akan menjadi skandal yang tidak dapat kami toleransi. Terlebih, dengan posisi Kakek Sergio saat ini, citra publik adalah segalanya."
Shannara menunduk dan membeku di sebrang sana
"Awalnya saya bersikap longgar karena saya pikir hubungan ini hanya ketertarikan sesaat yang akan memudar seiring waktu. Saya pikir kamu adalah distraction sementara, karena ini bukan pertama kalinya. Namun, ketika saya mengetahui niat serius Sergio untuk meminangmu, saya terpaksa bertindak."
Shannara mengangkat kepalanya, terkejut mendengar fakta itu. Sergio … akan melamarnya?
Pharita menatap Shannara tajam. "Jawab saya dengan jujur," Pharita mencondongkan tubuh sedikit, suaranya merendah. "Selama kalian bersama, apakah kalian menggunakan pengaman saat berhubungan intim?"
Shannara membelalakkan mata. Langsung membatah kesalahpahaman Pharita "Tidak, Tante. Kami … tidak pernah melakukannya. Sergio menghormati saya. Dia tidak pernah menyentuh saya." bisiknya, sangat malu.
Pharita mengerutkan kening. Sedetik kemudian, ekspresi itu berubah menjadi sesuatu yang tak terduga, semacam kekaguman yang bercampur frustrasi. "Lima tahun? Ia tidak menyentuhmu? Saya terkejut. Saya akui, kamu sangat cantik. Jauh lebih cantik dari gadis mana pun yang pernah didekati Sergio. Saya pikir … ini hanya nafsu belaka. Ternyata ketulusan anak saya melebihi yang saya bayangkan."
Namun, ia kembali fokus. "Tapi ketulusan tidak mengubah masalah. Kamu boleh berusaha mengejar kami, tapi latar belakangmu itu akan menjadi rantai yang menyeret Sergio. Masuk ke keluarga kami tidak cukup hanya bermodalkan kecantikan, Shannara. Kamu harus sebersih kristal."
Pharita mendorong amplop tebal ke arah Shannara. "Ambil ini. Dan tinggalkan anak saya. Jika kamu benar-benar mencintainya, kamu harus merelakannya. Sergio punya tanggung jawab besar. Dia adalah masa depan keluarga Pradipta. Kehadiranmu hanya akan menjadi titik gelap yang menghambat. Love means letting go, Nak."
Shannara memandang amplop itu, lalu menatap Pharita, sorot matanya kini tenang dan berwibawa.
"Terima kasih atas tawaran kompensasinya, Tante Pharita. Tapi saya menolak uang ini." Ia menarik napas dalam-dalam. "Saya mengerti posisi saya, dan saya bersedia meninggalkan Sergio."
"Keputusan ini," lanjut Shannara, suaranya stabil, "bukan karena saya tidak mencintai putra Tante, melainkan sebaliknya. Jika keberadaan saya menghalangi jalannya menuju masa depan yang Tante sebutkan, saya rela melepaskan. Cinta sejati seharusnya membebaskan, bukan menjadi beban."
Shannara kemudian menatap Pharita lurus di mata, memberikan tanggapan yang terasa seperti tamparan halus. "Mengenai latar belakang saya, Tante, saya percaya setiap orang berhak atas kesempatan untuk hidup lebih baik, terlepas dari asal-usulnya. Masa lalu memang tidak bisa diubah, tapi saya akan pastikan saya membangun masa depan yang bermartabat. Dan saya tidak akan membiarkan siapa pun meremehkan hak saya atas hal itu."
Pharita tertegun. Kata-kata itu begitu elegan, begitu matang, dan begitu menghantam. Ia tidak bisa membantah.
Shannara bangkit. "Saya rasa pembicaraan kita sudah selesai. Saya permisi, Tante." Ia melangkah pergi, meninggalkan Pharita dalam keheningan yang mencekik.
...----------------...
Karina tiba di kediaman Pradipta sendirian, menaiki tangga marmer menuju pintu utama. Rumah itu, sebuah mahakarya arsitektur yang megah, selalu mengingatkannya pada betapa besarnya takdir yang ia genggam.
"Karina, sayang, sudah sampai?" Pharita menyambutnya di ambang pintu, dengan senyum ramah yang selalu terpasang sempurna. "Kenapa kamu tidak dijemput Sergio, Nak?" tanya Pharita.
Karina tersenyum. "Katanya dia ada urusan sebentar, Ma. Jadi aku duluan," jawab Karina.
Belum lima menit ia duduk, pintu utama terbuka lagi. Sergio masuk dengan langkah lebar, melepas jasnya dengan ekspresi lelah dan kesal.
"Sergio! Kenapa kamu tidak menjemput istrimu ke lokasi syuting dan datang bersama? Mama tidak suka kamu membiarkan Karina sendirian!" tegur Pharita, nadanya menuntut.
Sergio hanya menggeleng tipis, tidak menanggapi. Ia langsung berjalan menuju ruang makan, meninggalkan ibu dan istrinya di foyer. Karina mendengus dalam hati. Kalau tahu datangnya hanya berselang lima menit, kenapa harus repot-repot datang terpisah?
...----------------...
Mereka pun berkumpul di ruang makan. Ada Ayah Sergio, Edwin Pradipta, yang berwibawa, Pharita yang elegan, Karina, dan adik perempuan Sergio, Jennie, yang baru pulang dari London. Suasana makan malam berlangsung tenang, dengan obrolan ringan seputar bisnis dan kuliah Jennie. Namun, ketenangan itu terusik saat sesi hidangan penutup tiba.
Pharita menatap pasangan itu dengan senyum penuh arti. "Jadi, bagaimana hasil tes kesuburan kalian? Semua baik-baik saja, kan?"
Karina menelan pudingnya dengan sedikit tersedak. "Oh, semua baik-baik saja, Ma! Kami berdua sehat kok," jawabnya cepat, berusaha terdengar meyakinkan. Padahal, kenyataannya hasil tes Karina menyatakan dia mandul. Ibunya berhasil memanipulasi hasil tes itu demi menjaga nama baik keluarga dan posisinya sebagai menantu.
"Kalau sehat, kenapa masih belum punya anak?" Pharita bertanya lagi, nada suaranya sedikit lebih menusuk. "Padahal sudah mau tiga tahun pernikahan, lho."
Karina menoleh ke arah Sergio, mencari dukungan. Tapi Sergio terlihat cuek, sibuk mengaduk dessert-nya. Pikirannya malah melayang ke rasa kue itu, mengingatkannya pada kue kesukaan Shannara.
"Mungkin karena kami berdua masih sama-sama sibuk, Ma," Karina mencoba beralasan. "Jadwal syuting Karina masih padat, Sergio juga begitu."
Pharita mencondongkan tubuhnya sedikit. "Sibuk? Sampai sesibuk apa sih? Berapa kali kalian melakukan hubungan suami istri dalam seminggu?"
Jennie yang sedang minum teh sampai tersedak mendengar pertanyaan blak-blakan ibunya. Sedangkan Ayah Sergio terkekeh, "Usaha lebih keras lagi, Nak!" ucapnya dengan nada bercanda.
Pharita kemudian menyarankan, "Mama ada rekomendasi tempat pijat dari teman. Katanya itu bisa membantu kesuburan. Karina, kamu mau coba?"
Karina merespons dengan ekspresi penasaran, padahal dalam hatinya ia sudah muak. Lagi-lagi, ia harus melakukan hal-hal aneh demi punya anak. "Oh ya, Ma? Boleh juga tuh dicoba."
"Sergio juga harus ikut," tambah Pharita.
Karina langsung melirik Sergio, sedikit meledek. Sergio hanya menatapnya sekilas, tanpa ekspresi.
Sergio sudah muak dengan pembahasan itu. Tanpa pamit, ia bangkit dari meja makan dan melangkah keluar, langsung menuju taman belakang untuk merokok.
Asap rokok mengepul dari bibirnya, pikirannya berkelana. Bayangan Shannara memenuhi kepalanya. Ingatan ciuman mereka yang bergairah, adegan panas di kapal pesiar yang penuh gairah. Bayangan-bayangan itu menghantuinya. Ia sampai berpikir, saat ini, ia ingin sekali menyentuh wanita yang dicintainya itu. Memeluknya erat, menciumnya, merasakan setiap lekuk tubuhnya. Pikiran-pikiran 'kotor' itu bisa-bisanya muncul di tengah makan malam bersama istri dan keluarganya. Shannara benar, dia pantas dapat julukan itu "Pria berengsek" Tapi mengingat celetukan Shannara itu membuatnya tanpa sadar terkekeh, sebuah tawa pahit yang terselubung di balik asap rokoknya.
...----------------...
Halo, readers tersayang! 😍👋🏻✨️
Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk mampir dan membaca karya author ya 🫶🏻 Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar, supaya author tahu kalau karya ini disukai. Dukungan kecil dari kalian berarti besar banget buat semangat author biar nggak nyerah dan terus menulis! 📖🖊🤗💖
ada aja kelakuan bapak ini gmesss🤭