"Astaghfirullohal'adzim!" Gadis itu setengah berteriak saat mendengar suara iqamat dari masjid pesantren.sekilas ia menatap arloji di tangan kanannya. pukul 11.50 WIB.
"mengapa tak ada yang membangunkanku? ah, sial! jangan sampai aku bolos salat jemaah," ucap gadis bernama lengkap Humairah Assyifa itu.
Ia merutuki dori sendiri. Gara-gara tidur mendekati waktu salat zuhur, hampir saja ia melewatkan salat jemaah di masjid.
trus apa yang akan terjadi di hari-hari humairah di pesantren tersebut, apakah humairah akan menemukan jodohnya di pesantren tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ridwan jujun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hobi Baru
Suara rintik hujan dini hari ini membangunkan Huma dari alam tidurnya. Udara yang memang sudah terasa dingin kini semakin bertambah dingin lagi.
"Euugh."
Perlahan Huma membuka mata. Di depannya terlihat Huda masih tertidur pulas. Lengan suaminya itu masih ia lingkarkan di pinggang Huma.
Huma tersenyum menatap wajah tampan Huda. Lucu rasanya melihat suaminya itu kini memakai kaos milik Sauqi. Huda memang sebelumnya tidak berencana untuk menginap sehingga ia tidak membawa pakaian ganti. Beruntung ukuran tubuh Huda dan Sauqi tidak terlalu berbeda.
Huma menatap lekat-lekat wajah suaminya itu. Laki-laki yang kemarin dengan suara lantang mengucapkan ijab qobul meminang dirinya. Laki-laki yang mulai saat ini harus ia hormati dan taati setiap perintahnya. Laki-laki yang sudah mengisi semua relung di hatinya.
Rasanya malu sekali saat Huma mengingat apa yang sudah ia lakukan tadi malam bersama suaminya. Kini Huma benar-benar sudah menjadi seorang istri yang sesungguhnya. Setiap hak suaminya atas dirinya harus ia penuhi. Segala kewajibannya sebagai seorang istri pun sebisa mungkin harus ia laksanakan.
Dengan lembut, ia membelai rambut tipis diatas telinga Huda. "Kamu tampan sekali, Mas."
Diperhatikannya tiap detail wajah suaminya itu. Tipikal wajah seorang petualang. Memang tidak terlalu putih, namun aura maskulinnya begitu terlihat.
"Euugh." Tiba-tiba terdengar suara lenguhan dari mulut Huda. Sontak, Huma langsung menurunkan tangan dari kepala suaminya itu.
Huda membuka mata. "Kamu sudah bangun, Dek?"
Huma hanya tersenyum lalu mengangguk.
Huda mengedarkan pandangan ke arah jam dinding di kamar Huma. Masih pukul 02.00 WIB. Di luar pun masih sangat gelap.
"Hujan ya, Dek?"
"Iya, Mas. Baru turun tadi."
"Pantas saja udaranya jadi tambah dingin ya," ucap Huda seraya mendekatkan tubuh Huma dan mengeratkan pelukan ditubuh istrinya itu.
"E-eh." Huma begitu kaget dengan pelukan Huda yang tiba-tiba. Ia hanya pasrah dan membalas pelukan suaminya itu. Jujur, sebenarnya ia masih sedikit gerogi saat harua berdekatan seperti ini dengan suaminya tersebut.
"Mas sangat mencintaimu, Dek," ucap Huda seraya mengelus surai panjang milik Huma. Ia menghirup setiap aroma surai istrinya itu.
"A-adek juga sangat mencintai Mas," ucap Huma pelan. Ia sedang berusaha menghilangkan perasaan geroginya di depan Huda.
Huda tersenyum mendengar jawaban istrinya itu.
"Bantu Adek agar bisa menjadi istri yang baik buat Mas ya. Ajari Adek apa-apa yang Mas suka dan apa-apa yang Mas tidak suka, agar Adek bisa berusaha menjadi istri yang salehah buat Mas."
"Tentu saja, Dek. Mas juga akan berusaha menjadi suami yang baik buat kamu. Mas janji akan selalu membahagiakan kamu sampai akhir hayat Mas."
"Terima kasih, Mas."
"Semoga Allah senantiasa meridhoi dan melindungi pernikahan kita ya, Dek."
"Aamiin." Huma pun berharap pernikahan mereka selalu diberkahi oleh Allah SWT.
"Mas, kita tahajud bersama yuk," ajak Huma. Ia mendongakkan kepala menatap wajah Huda.
"Sebentar lagi ya, Dek. Biarkan Mas memelukmu seperti ini beberapa menit lagi," ucap Huda seraya tersenyum.
Kini sepasang suami istri itu saling terdiam dalam pelukan mesra. Hanya detak jantung mereka saja yang beradu satu sama lain, ditemani suara rintik hujan yang masih setia mengguyur daerah di kaki gunung itu.
"Dingin banget ya, Dek. Kamu kuat kalau mandi keramas dengan udara seperti ini?"
"Adek udah biasa kok, Mas. Tapi pake air hangat. Hehe. Mas mau Adek masakin air hangat buat mandi?" tawar Huma.
"Boleh."
Huma segera bangkit dari tidurnya. "Aww."
"Kenapa, Dek? Terasa sakit?"
"Nggak papa kok, Mas." Huma berusaha menahan rasa sakitnya. Malu sekali kalau suaminya itu tau bahwa daerah diantara kedua pangkal pahanya kini terasa nyeri.
"Beneran nggak papa?"
"Iya, Mas." Huma segera keluar kamar, menyiapkan air panas di dapur.
Sementara Huda kini bangkit dari tempat tidurnya. Ia merapikan tempat tidur Huma yang sedikit berantakan. Dilihatnya di atas ranjang tempat ia tidur ada sedikit bercak warna merah di sprei. Pasti itu milik istrinya.
Huda tersenyum melihatnya. Ia benar-benar tak menyangka, mulai hari ini ia benar-benar sudah memiliki Huma seutuhnya.
Huda memutuskan untuk melepas sprei yang terpasang di ranjang itu, agar tak menjadi najis saat mengenai pakaian lain. Ia melipatnya dan meletakkan di ujung ranjang.
Pandangannya kini berputar ke seluruh ruangan kamar istrinya. Ruangan dengan cat dasar warna tosca itu terlihat lumayan luas. Di beberapa dinding, tertempel hiasan dan wallpaper bergambar kaktus. Benar-benar gadis pecinta kaktus, pikirnya. Bahkan di atas meja belajar pun ada pot kecil yang berisi tumbuhan kaktus.
Beberapa menit kemudian, Huma masuk ke dalam kamar, membawa satu ember berisi air panas. Ia langsung masuk ke kamar mandi, menyiapkan air untuk mandi suaminya.
"Airnya sudah siap, Mas."
"Iya, Dek. Terima kasih ya." Huda meraih handuk Huma yang semalam dipinjamkan kepadanya. Ia pun segera masuk ke dalam kamar mandi.
Sementara itu, Huma segera menyiapkan baju koko milik Sauqi yang memang sengaja ia pinjam untuk dipakai suaminya. Ia letakkan di atas ranjang.
"Loh, kok spreinya dilipat?" gumam Huma. Ia sedikit bingung kenapa tiba-tiba sprei di ranjangnya sudah terlepas. Padahal tadi sewaktu ia keluar dari kamar masih terpasang rapi.
Tak lama, Huda sudah selesai mandi. Ia kini masih memakai kaos yang tadi ia kenakan.
"Mas, ini sudah Adek pinjamkan baju koko milik Sauqi," ucap Huma seraya menyerahkan baju koko ke arah Huda.
"Makasih ya, Dek."
"Iya, Mas. Oh ya, kok spreinya dilipat, Mas?" tanya Huma penasaran.
"Emm, soalnya tadi ada bercak darah, Dek. Darahnya kamu, 'kan?" ucap Huda seraya tersenyum ke arah istrinya.
"Darahku?" Huma masih bingung dengan ucapan suaminya itu.
"Darah yang semalam itu," ucap Huda seraya menggaruk bagian belakang kepalanya. Jujur, ia juga sedikit malu mengatakannya.
"Eh." Huma baru paham apa yang dimaksud suaminya itu. Ia malu sekali. Mengapa ia tak menyadarinya dari tadi. Dan mengapa juga ia tadi tidak melihat darah itu.
"Yaudah biar nanti Adek cuci, Mas. Adek mau mandi dulu." Huma segera meraih sprei dan masuk ke dalam kamar mandi dengan buru-buru. Ia benar-benar malu sekali saat ini.
"Dek? Kamu mandi pakai sprei? Nggak bawa handuk?" ucap Huda seraya terkekeh kecil. Namun Huma sudah keburu masuk ke kamar mandi dan menyalakan kran.
Huda tersenyum. Lucu sekali melihat istrinya salah tingkah.
Ia pun segera memakai pakaian yang tadi diberikan Huma. Baju koko milik Sauqi, adik iparnya sendiri.
"Mas?"
Tiba -tiba terdengar suara Huma dari pintu kamar mandi. Kepalnya kini memang sudah melongok dari balik pintu kamar mandi.
"Iya. Kenapa, Dek?" tanya Huda.
"Bisa minta tolong ambilkan handuk? Adek lupa, hehe."
Huda hanya tersenyum. Bukankah ia tadi sudah mengingatkan.
"Dimana, Dek?" Huda mengedarkakan pandangannya ke seluruh ruangan. Memang tidak ada handuk milik istrinya.
"Di dalam lemari, Mas. Nomor dua dari bawah."
Huda pun segera mengambil handuk yang dimaksud di lemari istrinya.
"Ini, Dek." Huda menyerahkan handuk itu kepada Huma.
"Terima kasih, Mas," ucap Huma seraya menerima handuk itu.
"E-e-eh ... Mas mau ngapain?" ucap Huma panik ketika Huda tiba-tiba berusaha mendorong pintu kamar mandi yang sedikit terbuka itu.
"Kan sudah halal?" ucap Huda seraya tersenyum menggoda istrinya itu.
"Apaan si, Mas. Minggir ih. Adek udah kedinginan, tau," sewot Huma.
"Iya. Iya. Hehe." Huda pun segera menyingkir dari pintu kamar mandi. Sepertinya menggoda istrinya sudah menjadi hobi baru bagi Huda.
Huma pun segera menutup pintu kamar mandi. "Ada-ada saja tingkah Mas Huda," gumamnya.
Kini Huma dan Huda sudah siap untuk melaksanakan salat malam bersama. Ini pertama kalinya bagi mereka melaksanakan salat berjamaah hanya berdua saja. Sungguh bahagia hati Huma, bisa beribadah kepada Sang Maha Kuasa dengan diimami suaminya sendiri.
"Allahu Akbar."
Ayat-ayat surah Al-Qur'an mulai Huda lantunkan dalam salat malamnya. Beradu dengan suara rintik hujan yang sesekali masih terdengar di luar sana.
Empat rakaat salat tahajud dan tiga rakaat salat witir selesai mereka laksanakan. Dilanjut dengan dzikir dan do'a. Memohon ampunan kepada Tuhan Semesta Alam, dan lindungan di setiap aktivitas kehidupan.
Sebagai penutup, sepasang suami istri itu melantunkan ayat-ayat Ilahi bersama. Sebagaimana yang biasanya mereka rutinkan masing-masing saat berada di pesantren.
Sungguh indah hubungan yang didasari atas kecintaan kepada Allah SWT. Jauh dari perbuatan zina dan maksiat. Serta senantiasa saling mengingatkan dalam kebaikan. Berlomba-lomba menjadi abdillah, hamba yang senantiasa beribadah kepada Allah.
******
Selepas sarapan, Huda dan Huma berencana pergi berziarah ke makam Pak Darmawan. Selain untuk berdzikir dan mendoakan beliau, Huda juga sengaja ingin mengunjungi makam beliau karena semenjak beliau meninggal, Huda sama sekali belum sempat berziarah kesana.
Kini, Huda dan Huma sudah berada di depan pusara Pak Darmawan. Di sebelahnya persis, ada pusara Mas Fatir, kakak Huma, yang meninggal tiga tahun lalu.
"Assalamu'alaikum, Ayah." Huma kini sudah bersimpuh di sebelah makam ayahnya.
"Huma datang, Ayah. Kali ini Huma ingin mengenalkan seseorang yang sangat spesial bagi Huma kepada Ayah."
"Ayah belum kenal, 'kan? Ini Mas Huda, Ayah. Suami Huma. Kemarin Huma baru saja menikah. Huma sangat bahagia, Ayah. Tapi Huma pasti akan lebih bahagia jika Ayah melihat pernikahan Huma. Coba saja Ayah masih hidup. Pasti Ayah yang kemarin menjadi wali nikah Huma." Tak terasa butiran air mata mulai membasahi pipi Huma.
Huda mendekat dan merangkul istrinya. Ia mengelus-elus pundak istrinya tersebut. Memberikan kekuatan kepadanya.
"Mas Huda orang yang baik, Ayah. Saleh dan sangat rendah hati seperti Ayah. Ayah pasti sangat suka jika bertemu dengan Mas Huda."
Huma berusaha menyeka air mata yang kini semakin deras mengalir di pipinya.
"Ayah, kenalkan saya Huda. Suami Humairoh. Saya janji akan selalu melindungi dan membahagiakan Humairoh sampai akhir hayat saya, Ayah. Semoga Ayah disana bahagia dan merestui pernikahn kami."
Huda kini mempererat rangkulannya dan mencium ujung kepala Huma. Huda tau bagaimana perasaan Huma saat ini. Tentu menjadi impian setiap perempuan, di hari pernikahannya ia didampingi oleh sang ayah sebagai wali nikah. Tapi tidak dengan istrinya tersebut. Ayahnya meninggal beberapa minggu sebelum ia menikah. Pasti kesedihan yang medalam amat menyelimuti hati Huma.
"Kamu yang sabar ya, Dek."
Huma mengangguk, lalu ia menebarkan bunga yang memang sudah mereka bawa dari rumah di atas makam Pak Darmawan dan Mas Fatir. Surah Yasin dan tahlil tak lupa ia hadiahkan untuk kedua orang yang sangat ia sayangi tersebut. Tentu saja suaminya yang memimpin pembacaan do'a tersebut.
Setelah selesai, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak ke perkebunan milik keluarga Huma. Jarak antara pemakaman dan rumah Huma memang tidak terlalu jauh sehingga mereka tidak membawa sepeda motor.
Sepanjang perjalanan, banyak warga sekitar Huma yang menyapa dan bertanya kepada pasangan suami istri baru itu. Kabar mengenai pernikahan tiba-tiba mereka memang sudah diketahui oleh para tetangga.
Namun mereka tak berani berpikiran buruk kepada Huma. Mengingat ia merupakan anak dari almarhum Pak Darmawan yang terkenal amat baik kepada semua tetagga.
Selain itu, Huma merupakan seorang santri, tak mungkin pernikahan tiba-tiba mereka dikarenakan alasan-alasan yang buruk. Suami Huma juga anak seorang kyai, dan yang menikahkan mereka pun Kyai Ja'far, salah satu kyai panutan di desa, tentu tak ada satu pun kemungkinan buruk yang melandasi pernikahan Huma dan Huda.
"Udara di sini segar sekali ya, Dek." Huda dan Huma kini sedang berjalan berduaan di tengah-tengah jalan setapak perkebunan. Kedua telapak tangan mereka, mereka kaitkan satu sama lain.
"Memangnya di Purwokerto tidak, Mas?" tanya Huma.
"Purwokerto itu kayak Pekalongan. Mobilitas warganya cukup tinggi. Tidak seperti di sini yang sunyi dari lalu lalang kendaraan."
Huma mengangguk, mendengar penjelasan suaminya. "Oya, Mas. Adek lusa sudah harus berangkat ke pondok. Kemarin cuma ijin empat hari sama Umi Nyai Safinah soalnya. Boleh, Mas?"
"Tentu saja boleh. Berangkatnya Mas antar ya."
"Iya, Mas."
"Tapi, kita mampir dulu ke Purwokerto nggak papa, Dek? Mas mau ambil barang-barang dulu di rumah soalnya."
"Iya. Ngga papa, Mas. Adek juga kepengin ketemu sama Umi Mas. Nggak enak, beliau minta Adek buat main kesana."
"Yaudah, kita ke Purwokerto besok ya, Dek. Biar bisa menginap semalam disana."
"Iya. Mas."
******
Dua hari sudah, Huda menginap di rumah Huma. Hari ini mereka berencana kembali ke Kota Pekalongan. Selain karena batas ijin kepulangan Huma dari pesantren sudah mau habis, satu pekan lagi Huma juga akan melaksanakan ujian skripsi sehingga ia butuh persiapan untuk menghadapinya.
Sesuai rencana, mereka akan mampir dulu ke rumah Huda di Purwokerto. Perjalanan mereka tempuh dengan menggunakan sepeda motor Huma, karena Huda memang tidak membawa sepeda motor saat datang ke rumah Huma.
"Assalamu'alaikum," ucap Huda dan Huma yang kini sudah berada di depan pintu rumah Huda.
"Wa'alaikumussalam. Eh mantu Umi datang. Ayo masuk, Nak."
Huma segera mencium tangan Umi Aliyah dan mengikutinya masuk.
"Abi nya lagi ngisi ceramah di Bumiayu. Jadi Umi sendirian lagi deh. Bunda gimana kabarnya? Sehat, Nak?" tanya Umi Aliyah.
"Alhamdulillah. Sehat, Umi. Bunda titip salam buat Abi dan Umi. Ini Huma juga bawain oleh-oleh titipan dari Bunda," ucap Huma seraya tersenyum dan memberikan bingkisan ke mertuanya itu.
"Wah, repot-repot sekali. Sampaikan terima kasih Umi ke Bunda kamu ya?"
"Nggih, Umi. Insya Allah."
"Gimana malam pertamanya? Lancar?" tanya Umi Aliyah, menggoda pasutri baru itu.
"Apaan si, Umi. Tanyanya begituan," ucap Huda.
"Loh wajar to' Umi tanya begitu. Nggak papa kan, Huma?" ucap Umi Aliyah.
"Eh." Huma tak tau harus berkata apa. Ia benar-benar malu dan salah tingkah dengan pertanyaan mertuanya itu.
"Udah, Umi. Jangan bahas itu lagi. Lihat, Huma jadi malu kan," ucap Huda.
"Umi pengin cepet-cepet punya cucu loh. Kamu kan tau sendiri, Khoer dan Fatimah belum juga ngasih Umi cucu."
"Huma kan masih kuliah, Umi. Masih di pesantren juga," jawab Huda.
"Loh, kamu nggak mau boyong dari pesantren, Nak?" tanya Umi Aliyah ke Huma.
"Nanti, Umi. Setelah Huma lulus. Sambil menunggu wisuda, Huma rencananya akan boyong," jawab Huma pelan-pelan.
Umi Aliyah menatap ke arah Huda.
"Huda dan Huma memang sudah ambil keputusan tentang masalah ini, Umi. Lagian Huma juga minggu depan mau ujian skripsi, beberapa minggu revisi, pasti segera dinyatakan lulus," ucap Huma memberikan pengertian kepada uminya.
"Nggak baik loh, baru menikah langsung terpisah seperti itu. Apa nggak kalian sewa kos aja di sekitar kampus Huma," usul Umi Aliyah.
"Maaf, Umi. Tapi untuk waktu dekat ini, Huma belum bisa. Huma juga belum sempat memberitahukan pernikahan Huma ke Kyai Naufal dan Umi Safinah. Jadi Huma tidak enak hati jika tiba-tiba saja boyong," ucap Huma pelan, berusaha tidak menyinggung hati Umi Aliyah.
"Benar, Umi. Lagian Huda juga masih ada kerjaan di pesantren Huma. Jadi kita nggak benar-benar terpisah kok," ucap Huda.
Umi Aliyah mengerutkan keningnya.
"Nggak papa, Umi. Huda juga nggak pengin ganggu konsentrasi Huma buat ujian skripsi. Biar Huma fokus saja dulu menyelesaikan kuliahnya," ucap Huda.
Umi Aliyah menghela napas. "Hmm baiklah kalau begitu .... Kalian mau nginep disini, 'kan?" tanya Umi.
"Iya, Umi. Tapi cuma satu malam. Besok Huma sudah harus kembali ke pesantren. Huma butuh persiapan buat ujian skripsinya," jawab Huda.
Umi Aliyah mengangguk. Sepertinya rencananya untuk segera mendapat cucu dari Huda dan Huma harus ditunda dulu.
---------------------------------------------------------
Bersambung.
aku suka ceritanya bagus