Yun Sia, gadis yatim piatu di kota modern, hidup mandiri sebagai juru masak sekaligus penyanyi di sebuah kafe. Hidupnya keras, tapi ia selalu ceria, ceplas-ceplos, dan sedikit barbar. Namun suatu malam, kehidupannya berakhir konyol: ia terpeleset oleh kulit pisang di belakang dapur.
Alih-alih menuju akhirat, ia justru terbangun di dunia fantasi kuno—di tubuh seorang gadis muda yang bernama Yun Sia juga. Gadis itu adalah putri kedua Kekaisaran Long yang dibuang sejak bayi dan dianggap telah meninggal. Identitas agung itu tidak ia ketahui; ia hanya merasa dirinya rakyat biasa yang hidup sebatang kara.
Dalam perjalanan mencari makan, Yun Sia tanpa sengaja menolong seorang pemuda yang ternyata adalah Kaisar Muda dari Kekaisaran Wang, terkenal dingin, tak berperasaan, dan membenci sentuhan. Namun sikap barbar, jujur, dan polos Yun Sia justru membuat sang Kaisar jatuh cinta dan bertekad mengejar gadis yang bahkan tidak tahu siapa dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 — Rusa Kayu dan Langkah Tanpa Suara
Malam di Istana Lang turun dengan cara yang hampir khidmat. Lentera-lentera dinyalakan satu per satu, memantulkan cahaya keemasan di dinding batu yang telah berdiri puluhan tahun lebih lama dari usia hati Yun Sia yang hilang lalu kembali.
Udara beraroma teratai dari kolam barat, menyusup lewat kisi-kisi jendela kamarnya yang terbuka setengah, membawa rasa asing yang entah mengapa terasa seperti rumah lama.
Yun Sia duduk di tepi ranjang kecilnya dengan mainan rusa kayu di pangkuan, jari-jarinya mengusap punggung rusa mungil itu perlahan, seolah sedang meraba sebuah kenangan yang belum sepenuhnya muncul. Di balik pintu, suara langkah para dayang berlalu-lalang, memeriksa lentera, melaporkan jam malam, dan memastikan seluruh lorong terjaga. Semua berjalan tenang terlalu tenang, kalau mendengarkan dengan cara yang berbeda.
A-yang berdiri di balkon kamarnya yang berada tepat di seberang paviliun Yun Sia, memandangi halaman dalam dengan mata yang selalu tajam meski bahunya tampak rileks. Mochen berada tak jauh dari gerbang dalam, pura-pura meneliti gulungan bambu, padahal sesungguhnya memantau setiap bayang yang bergerak. Mereka berdua tahu satu hal, kembalinya seorang putri membawa lebih dari sekadar kegembiraan. Ia menarik arus lama, sisa-sisa dengki, dan bisikan yang tidak pernah mati.
Namun Yun Sia, yang terlihat duduk tenang dengan pipi hangat dan senyum kecil, bukanlah anak yang sama yang dahulu digendong pelayan dalam kegelapan. Ia belajar diam di tempat yang tidak memberinya suara. Ia tumbuh di sela-sela kerikil, belajar mendengarkan kaca retak yang bernyanyi. Dan dari seseorang yang tak pernah tertulis namanya, ia menerima warisan yang tidak bisa dicuri: ilmu yang tidak menuntut pengakuan.
Di sayap barat istana dalam gelap, seseorang memijat pergelangan tangannya dengan helai zamrud, wajahnya tenang seperti kolam tanpa angin. Di balik ketenangannya itu, pikiran bergerak serupa jarum jam.
Ia telah lama berada di Lang cukup lama sembunyi untuk mengenal peta batin istana, cukup lama untuk tahu pintu mana yang membuka tanpa suara, dan siapa yang bisa dibeli dengan senyum. Ia tidak bodoh. Ia menunggu, mengamati, dan percaya bahawa ketidaksiapan selalu lebih mematikan daripada pedang.
"Akhirnya pulang," gumam seseorang pada cermin perunggu, senyumnya tipis. "Dan membawa seorang kaisar sebagai pengiring. Menarik."
Malam itu, undangan kecil disebar untuk sebuah jamuan teh di paviliun bunga, dalihnya sederhana ‘menenangkan putri setelah perjalanan panjang’. Semua tampak sewajarnya. Bahkan Permaisuri pun menyetujuinya, merasa tak ada yang salah pada secangkir teh dan kudapan manis.
Yun Sia menerima undangan itu dengan senang. Ia berganti pakaian sederhana gaun putih gading dengan pita biru pucat rambutnya ditata seadanya, lalu melangkah keluar dengan rusa kayu yang disisipkan dalam kantong kecil di ikat pinggangnya. Ia tak memberi tahu A-yang, bukan karena ingin menyembunyikan apa-apa, melainkan karena ia tahu, terkadang pengawasan yang terlalu rapat membesarkan bayang. Dan ia tidak ingin bayang-bayangnya menjadi milik orang lain.
Paviliun bunga diterangi lentera kecil berwarna merah muda. Kelopak bunga berjatuhan seperti salju kecil di lantai kayu. salah satu selir dari paman Yun sia menyambut Yun Sia dengan senyum yang sempurna tidak lebih, tidak kurang. Di meja, tersaji teh bunga krisan dan biskuit manis dengan bentuk phoenix.
“Yang Mulia Putri tampak semakin berseri,” ujar Selir Xu, suaranya selembut kain sutra.
Yun Sia tersenyum tulus, penuh, dan sama sekali tidak mengundang kecurigaan. Ia duduk, meraih cangkirnya, lalu meniup permukaan teh dengan kebiasaan kecil yang polos. Uapnya tipis. Baunya, harum. Namun Yun Sia tidak minum. Ia hanya memandang pantulan lentera di cairan keemasan itu dan berkata ringan, “Tehnya wangi sekali.”
Selir Xu mengangguk, menunggu.
Di balik senyum, Yun Sia menutup mata sesaat, membiarkan napasnya turun ke perut, seperti diajarkan oleh seseorang dulu dengan satu tarikan, satu pelepasan. Dunia berubah, suara pelayan meredup, detak bambu bergaung, aroma menjadi garis-garis tipis yang bisa ditata. Ia tidak perlu menyentuh cangkir itu untuk tahu ada jejak pahit di tepi wangi.
Ia membuka mata, menyesap sedikit, hanya membasahi bibirnya. Tidak menelan, hanya mengecap dengan cara seperti mengecap kata baru. “Sedikit berbeda dari teh yang biasa Ayah-Ibu minum,” katanya ringan, seolah itu sekadar komentar rasa.
Selir Xu tersenyum, matanya mengilat sesaat. “Mungkin karena resepku.”
Yun Sia mengangguk. Lalu dengan gerakan yang hampir malas ia menukar cangkirnya dengan cangkir Selir Xu, tertawa kecil. “Bolehkah aku mencicipi yang itu? Sepertinya lebih wangi.”
Senyum Selir Xu membeku setengah detik sebelum kembali utuh. “Tentu.”
Yun Sia mengangkat cangkir yang baru. Sebelum menyeruput, ia menyentuhkan jari pada tepinya, seperti anak kecil yang ingin memastikan panasnya. Dalam sentuhan sekejap itu, aliran dingin menjalari pergelangan tangannya, dan sesuatu berpindah—tanpa suara, tanpa jejak.
Ia minum. Selir Xu juga minum.
Detik pertama berlalu. Detik kedua. Lalu, Selir Xu meletakkan cangkirnya perlahan, wajahnya bertambah pucat satu tingkat bukan sakit, lebih seperti terkejut yang belum menemukan kata. Yun Sia masih duduk, menyantap biskuit kecilnya, menepuk remahnya dengan senyum tak berdosa.
“Selir Xu?” Ia mencondongkan kepala. “Apa kamu tidak enak badan?”
“Aku… hanya… tersedak,” jawab Selir Xu, bangkit untuk berdiri, tetapi lututnya goyah sesaat.
Yun Sia berdiri juga, mengulurkan tangan dengan kepolosan seorang anak. “Aku panggilkan tabib?”
“Tidak perlu,” ujar Selir Xu cepat, menarik tangannya sendiri.
Yun Sia mengangguk patuh. Kemudian dengan suara yang hanya cukup didengar oleh satu pasang telinga ia berkata, “Teh yang paling pahit selalu ingin mencicipi diri sendiri, bukan?”
Selir Xu tersentak, menatapnya tajam. Namun yang ia lihat tetap seorang gadis dengan mata bening dan pipi sedikit merah seorang putri yang tampak terlalu lembut untuk membaca gelap.
Yun Sia membungkuk kecil. “Terima kasih atas jamuannya.”
Ia melangkah pergi dengan langkah ringan, kelopak krysantem menempel di sepatunya. Di balik punggungnya, Selir Xu menggenggam meja, napas terseret. Apa pun yang ia jejakkan pada teh itu tidak membunuh ia bukan orang sembrono namun cukup untuk mengingatkan seseorang tentang batas. Dan kini, batas itu terasa dipindahkan, tak kasatmata.
Di lorong lain, dua bayangan menyelinap. Mereka bukan pembunuh, terlalu kasar untuk malam yang dipenuhi lentera. Mereka pembuat panik mengacak tirai, menjatuhkan guci, menyalakan api kecil yang cepat mati. Tujuannya sederhana, membuat keributan kecil, lalu menyalahkan seorang putri yang baru pulang pada ketidaknyamanan istana.
Yun Sia melewati mereka tanpa terlihat bukan karena sembunyi, melainkan karena bernapas dengan cara yang membuat dunia lupa bahwa ia ada. Ia mengangkat tangan dan menyentuh satu titik di udara. Angin kecil berbalik, lentera bergoyang, api yang seharusnya menyala pudar, dan bayangan itu tersandung oleh kakinya sendiri.
Kedua bayangan itu jatuh saling bertabrakan, mengerang pendek. Yun Sia sudah berada di ujung lorong ketika suara mereka masih berdengung seperti mimpi buruk yang salah alamat.
Bersambung