NovelToon NovelToon
Basmara

Basmara

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Playboy / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Romansa
Popularitas:124
Nilai: 5
Nama Author: keisar

Basmara, dalam bahasa sansekerta yang berarti cinta dan tertarik. Seperti Irma Nurairini di mata Gervasius Andara Germanota, sebagai siswa anak kelas 11 yang terkenal Playboy menjadi sebuah keajaiban dimana ia bisa tertarik dan penuh kecintaan.

Namun apalah daya, untuk pertama kalinya Andra kalah dalam mendapatkan hati seseorang, Irma sudah ada kekasih, Andrew, seorang ketua OSIS yang terkenal sempurna, pintar, kaya, dan berbakat dalam non akademi.

Saat terpuruk, Andra mendapat fakta, bahwa Irma menjalani hubungan itu tanpa kemauannya sendiri. Andra bangkit dan memerjuangkan Irma agar sang kakak kelas dapat bahagia kembali.

Apakah Andra berhasil memerjuangkan Irma atau malah perjuangan ini sia-sia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 23: Janeth Putri Alinea Hapsari

Dor!

Sebuah peluru dari senapan melesat keluar, peluru itu menembus kepala seekor rusa dewasa. Farel, sang penembak itu bersiul. "Nggak sia-sia belajar sama eyang."

Indra, remaja itu duduk di sebuah batang kayu, ia menghela napas kesal dan menatap Farel. "Kita ngapain disini si Rel? Buat ngeliat kebiasaan orang kaya lu ini?"

Farel mengesap rokoknya. "Sabar, mending kita ngambil rusa itu, sambil gua jelasin," ajak Farel memancarkan aura positif.

Tak hanya Indra, Andra, Bagas, dan Mora menghela napas kesal. Mereka kini berada di tengah hutan belantara, dan menetap di kabin dimiliki keluarga Sudramono.

Mora melirik Debrong aneh, remaja berketurunan Batak yang tampak senang itu. "Seneng banget kayaknya lu, Brong."

"Iyalah!" seru Debrong. "Udah lama aku mau makan daging rusa."

Mora menghela napas lelah. "Ada ya, orang mau makan daging rusa."

Janeth berdiri setelah mengikat tali sepatu. "Ayo, rel, gua yang bawa ya," pintanya dengan wajah penuh keinginan.

Farel mengangguk ragu, melihat itu Janeth langsung berlari ke mayat rusa yang berjarak sekitar 450-500 meter. "Kalo bisa ya," imbuh Farel.

Indra mengerutkan dahinya dan menengok ke Bagas. "Perasaan dulu Janeth sama kayak lu gas, kulkas 25 pintu, kok sekarang jadi ceria."

Bagas berpikir sejenak. "Lu kan sekamar sama dia, dia jadi pendiem gak?"

Indra mengangguk. "Lumayan sih, gua kalo ajak ngobrol, dia cuma seadanya doang."

"Paling dia pengen keliatan ceria," ucap Bagas dengan datar yang membuat ditatap bingung oleh yang lain. "Sama pangerannya."

Andra hanya mengangguk beberapa kali, sebenarnya ia juga bingung, kata teman-temannya, Janeth memiliki sikap dingin dan tatapan tajam, membuat orang-orang ragu-ragu untuk mendekat. Tapi, Andra tidak menemukan hal itu terhadapnya.

"Ayo," ajak Farel membuyarkan lamunan Andra, mereka pun berjalan menghampiri Janeth.

"Jadi kenapa lu ngajak kita kesini rel?" tanya Bagas to the point, ia menatap jalan tidak rata dan di penuhi batu-batu kecil.

"Kan mama Rachel ngasih disket, yang bisa muternya cuma disini, lagian udah lama gua nggak berburu," jawab Farel.

"Lu nggak takut ditangkep?" tanya Indra "Kan berburu harus izin dulu."

Farel menggeleng. "Nggaklah, kan satu hektar hutan ini punya kita, lagian kita yang kembangbiakin."

Setelah beberapa menit berjalan, mereka akhirnya sampai ke tempat rusa tadi, Janeth terlihat sedang susah payah untuk mengangkat mayat rusa itu.

"Bisa nggak?" tanya Andra setelah Janeth berusaha mengangkat rusa itu selama beberapa menit.

Janeth menggeleng. "Nggak kuat, berdua kayaknya bisa," ia mengelap keringat di dahinya.

Andra membalikkan badan rusa, ia memegang kaki bagian depan, sedangkan Janeth memegang kaki bagian belakang. "Kita bawa ke kabin ya rel," ucap Janeth.

"Langsung bawa aja, kalian," Farel menunjuk semua kecuali Andra dan Janeth. "Ayo ambil ranting buat kayu bakar."

Andra dan Janeth membawa rusa ke kabin, lalu sisanya memunguti ranting di sekitar. Setelah terkumpul, mereka berjalan ke kabin. "Ini gimana cara kulitinnya rel?" tanya Andra ketika mereka sampai.

Farel mengatur napasnya yang sudah ngos-ngosan. "Bagas sama Janeth yang siapin bumbunya, sisanya bantu gua ngulitin."

"Ah pantek!" Debrong merebahkan tubuhnya diatas batang kayu. "Udah capek jalan, ngambil ranting, kuliti rusa pula."

Farel melipat kedua tangannya di dada, ia menendang pelan telapak kaki Debrong. "Hei anak muda! Masih muda kau, jangan macam kakek-kakek umur 70 tahun yang di supleks undertaker."

Andra terkekeh mendengar suara Farel yang dibuat seperti motivator. "Ayo Brong, daripada dinasehatin sama Mario Teguh."

Debrong berdiri sembari menghela napas lelah. "Serah kau lah, kalau gak rapi jangan salahkan aku."

"Rel, banyak bahan kan didalem?" tanya Bagas dijawab anggukan oleh Farel. "Lu pada mau rasanya apa? Pedes manis atsu apa? Sama cocolannya saos, bumbu kacang, atau sambel matah?"

"Pedes manis!" seru semuanya berbarengan.

"Gas gua mau bumbu kacang," pinta Andra.

Indra menatap Andra bingung. "Lu ngapain minta bumbu kacang? Buat somai?"

"Nggak, penasaran aja gua, siapa tau enak ya, kan?" jawab Andra.

"Gua sambel betutu, kalo nggak matah," pinta Farel yang diikuti oleh Debrong, Indra dan Mora.

"Oke, tapi kalo ada yang gak ke buat, salahin si anjing ini," Bagas menunjuk Farel yang membuatnya tertawa.

"Ayo Brong, mor, Dra, bawa mayatnya ke belakang, peralatannya disana semua soalnya," ajak Farel.

mereka mengangkat mayat rusa dan membawanya ke belakang kabin, sedangkan Bagas dan Janeth masuk ke dalam kabin. Seketika wangi khas kayu tercium sangat kuat, suasana kabin sangat terang dengan cahaya kekuningan.

Kabin yang tidak terlalu besar itu dibagi beberapa ruangan disebelah kiri, menyisakan sebuah tv beserta sofa dan konsol serta dapur disebelah kanan tanpa sekat.

Mereka berjalan menuju dapur, terdapat beberapa kantong plasti berisi bawang-bawangan, cabai, dan lain-lain masih kering diatas di wastafel. "Neth, lu yang cuci, gua mau siapin yang lain," Bagas membuka beberapa laci dibawah, mengeluarkan talenan, pisau, cobek dan lain-lain.

"Buat apa dulu gas?" tanya Janeth sembari mencuci cabai.

Bagas mengambil gula Jawa dari salah satu plastik. "Bumbu kacang," ia mengulek gula Jawa itu.

Terjadi keheningan diantara mereka, sebelum akhirnya Bagas yang memecahnya. "Sejak kapan lu suka sama Andra?"

Janeth menengok, melotot menatap Bagas. "Lu tau darimana?"

Bagas terkekeh pelan. "Monyet aja tau Neth, lu suka sama Andra."

Janeth menghela napasnya. "Jadi awalnya..."

Flashback on

Janeth, anak perempuan itu terduduk di ayunan, matanya segelap malam itu menatap bayang-bayangnya di lantai area bermain.

Kleng... kleng

Terdengar rantai ayunan yang sudah berkarat disebelah kanannya berbunyi, tanda ada yang menduduki atau menggoyangkan nya, Janeth menengok, seorang anak laki-laki berambut coklat ikal terduduk disampingnya. "Kamu ngapain sendirian disini?" tanya laki-laki itu.

Janeth tertunduk, sorot mata yang menyedihkan itu terlihat sangat jelas. "Nggak ada yang mau main sama aku," ucapnya dengan nada datar tanpa emosi.

Laki-laki itu memiringkan mencondongkan badannya ke depan. “Kenapa nggak ada yang mau main sama kamu?”

Mata Janeth berkaca-kaca. “Menurutmu? Aku sendiri yang kulitnya kayak tai ini… berbeda dari yang lain, yang putih…”

Laki-laki itu mengelap air mata di ujung mata Janeth. “Nggak ada kulit kayak tai, cantik, malah bagus kulit kamu, coba senyum.”

Janeth tersenyum kaku, laki-laki itu tiba-tiba menjentikkan jarinya. “Nah! Kulit kamu ini malah bikin senyuman kamu jadi tambah manis.”

Janeth mengerutkan dahinya. “Apa hubungannya?”

“Ad—”

Penjelasan laki-laki itu terpotong akibat suara teriakkan. “Dra!” mereka berdua menengok, terlihat sekumpulan anak laki-laki datang menghampiri, seorang anak laki-laki yang kulitnya sama dengan Janeth berada paling depan.

“Ngapain lu disini? Pamit beli jajan, tapi malah disini,” kesal anak laki-laki itu.

Anak laki-laki yang dipanggil Dra itu menunjuk Janeth. “Lagi tenangin dia, kasian, kulitnya diejek sama yang lain.”

“Siapa yang ejek? Biar ku hantam batang lehernya,” tantang seorang anak bertubuh gemuk.

“Gua juga ikut, kurang ajar banget, gara-gara warna kulitnya aja diejek,” timpal anak laki-laki yang berkulit sawo matang itu.

“Tuh liat kan? Mereka setuju sama aku, kulit kamu itu nggak jelek,” anak yang dipanggil Dra itu menarik tangan Janeth untuk mendekat. “Kita belum kenalan, nama aku Andra, kamu?”

“A… alinea,” jawab Janeth, ragu-ragu.

“Gua Farel,” ucap anak yang kulitnya sama dengannya.

“Gua Bagas,” ucap anak dengan sorot mata dinginnya.

“Gua Indra,” ucap anak yang paling tinggi.

“Aku Debrong!” seru anak bertubuh gemuk.

“Gua Mora,” ucap anak yang kulitnya paling putih.

“Nah, kamu katanya sedih kan nggak ada yang ajak main, sekarang ada kita, ayo main sama kita,” ajak Andra.

“Lu tau warteg bu Melvin kan?” tanya Farel dan dijawab anggukkan oleh Janeth. “Ayo lari kesana, gua traktir.”

Farel membalikkan badannya. “Yang paling belakang porsinya paling dikit!” Farel berlari sangat kencang, yang lain pun ikut berlari.

Janeth terdiam kagok, ia akhirnya berlari menyusul yang lain. “Ayo Nea!” sorak Andra, Janeth tersenyum sangat lebar. “Iya!”

Janeth menitihkan air matanya kembali, membuat Andra mengerutkan dahinya. “Kok masih nangis?”

“Aku nangis karena seneng lah!” jawab Janeth sembari tersenyum lebar. “Udah sebulan semenjak aku pindah kesini, dan gak ada yang mau main sama aku.”

Andra tersenyum. “Tenang aja, kan ada kita yang main sama kamu.”

Janeth terdiam, jantung berdetak sangat kencang melihat senyuman Andra, pipinya terlihat sedikit memerah.

To be continue

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!