NovelToon NovelToon
Dear, Please Don'T Buffer In My Heart

Dear, Please Don'T Buffer In My Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Sistem / Cinta Seiring Waktu / Berondong
Popularitas:678
Nilai: 5
Nama Author: Bechahime

Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sindiran Yang Lebih Tajam Dari Teguran (Bagian 1)

Jujur saja, akhir-akhir ini aku benar-benar merasa seperti tokoh villain dalam drama perkantoran. Pasalnya semakin aku mengabaikan mereka yang bergosip buruk dibelakangku, semakin aku viral segedung. Aku bahkan masih santai dengan cilok dan bobaku. Tapi kayaknya santaiku seperti menambah bensin ke api yang berkobar.

Sore itu, aku duduk di meja kerjaku, mencoba fokus menutup laporan bulanan. Tapi pikiran ku sibuk merangkai kalimat untuk ‘klarifikasi damai’ yang akan aku jalani bersama Natasha. Walaupun perintah dari Pak Darwis itu sudah lewat berhari-hari lamanya.

Kepalaku sudah pusing, lalu layar ponselku nyala. Notifikasi WA dari Mas Johan.

Mas Barista [15.15]

“Mei… gue ada menu kopi baru, mampirlah kapan-kapan. Kayaknya lo sibuk banget belakangan, apa masalah kantor belum selesai?”

Aku tersenyum. Bahkan dari chat aja aku bisa merasakan kehangatan dari Mas Johan.

Aku [15.15]

“Gue lagi sok sibuk belakangan, Mas. Nanti gue mampir pas, weekend”

Mas Barista [15.16]

“Okee deh. Kalau lo butuh tempat buat refreshing, gue bisa ajak lo ke tempat yang nggak bisa lo bayangin.”

Aku [15.17]

“HAHA. Ke khayangan? Thanks, Mas. Gue pasti menantikan hari pergi ke tempat itu.”

Mas Barista [15.17]

“I bet you’re gonna scream!! Just wait. HAHA.”

Aku hanya membalas dengan stiker kucing yang tertawa nyebelin.

Moodku baru saja membaik ketika notifikasi grup ‘Visual Design Girls’ muncul. Grup ini biasanya cuma di pakai buat share diskon skincare atau buat ajang voting bulanan cowok tercakep se-gedung.

Mira – Accounting

“Guys, jangan salah sangka sama Mbak Natasha ya. Dia tuh sebenarnya udah lama banget kerja keras. Tapi gak semua orang tahu karena beberapa orang yang suka ‘mengambil panggung’.”

Lalu disusul:

Mira – Accounting.

“Yang baru naik daun jangan lupa siapa yang dulu ngajarin dasar-dasar laporan waktu awal masuk. Kalau gak salah… itu gue ya?”

Aku membaca pesan itu berulang-ulang. Mira. Junior staff yang masuk lebih dulu setahun dariku. Orang yang dulu memang sempat jadi mentor saat aku baru bergabung. Tapi sejak aku naik jadi leader tim dan mengawasi sub divisi di accounting, hubunganku dengan Mira jadi—renggang. Dia tidak pernah frontal, tapi aku tahu dia tidak suka melihat aku “lewat dia”.

Dan sekarang—dia berdiri di sisi Natasha?

Aku hendak membalas. Tapi Ana mengirim pesan jalur pribadi kepadaku.

Ana – Accounting

“Abaikan aja, Mbak. Dia makin panas karena lo tampak baik-baik aja.”

Meisya – Accounting

“Gue baru ngeh… selama ini ternyata Mira yang nyulut api dari belakang. Pantes aja gosipnya muter terus.”

Ana – Accounting

“Dia marah karena yang jadi leader lo, Mbak. Padahal yang lebih tua dan duluan masuk dia. Dunia ini benar-benar aneh. Padahal dia baik banget sama lo sebelumnya. Apa itu cuma gimmick doang?”

Meisya – Accounting

“Mungkin karena kemaren-kemaren dia nggak punya teman buat ngejatuhin gue.”

Aku menutup chat itu. Ana adalah satu-satunya yang selalu membelaku walau tidak secara langsung tapi dia juga tidak menunjukan dia pro Natasha saat di ruang publik.

Aku kembali ke rumah saat sore mendekati senja. Dan hatiku sekarang terang. Sekarang aku tahu, ini bukan cuma soal Natasha. Tapi juga tentang luka lama orang lain yang menolak sembuh dan memilih menyalahkan aku sebagai alasannya.

Dan yang lebih rumit lagi—aku harus bersiap menghadapi keduanya sekaligus.

**

Beberapa minggu terakhir, kantor terasa seperti neraka yang di bungkus AC. Bukan karena beban kerja. Tapi karena lingkungannya yang berubah jadi senyap—dingin—dan beracun.

Tak ada lagi yang mengajakku makan siang.

Dulu, Mas Tegar suka menggurui hidupku dan bahkan status singleku selalu di jadikannya sebagai bahan candaan dan tentu saja aku tidak keberatan. Tapi sekarang dia bilang.

“Eh Mei, nanti gue nyusul.”

Tapi nggak pernah benar-benar nyusul. Mbak Sarah yang biasanya share makanan dan gossip hangat terbaru, kini tak pernah lagi tampak di kantin saat jam makan siang, bahkan saat kami bertemu dia masih tersenyum tapi hanya senyum yang menggantung di ujung bibir—tapi tidak pernah sampai ke mata.

Bahkan ruang chat kantor pun berubah jadi ladang pasang ranjau.

Di grup “Visual Design Team”, Natasha tidak pernah menyebut namaku. Tapi setiap diskusi, ia meninggalkan jejak sindiran yang tak bisa disalahkan secara langsung.

Natasha – Operasional

“Menurut gue, beberapa laporan akhir-akhir ini kurang objektif. Mungkin karena terlalu banyak tangan yang ‘terlibat secara personal’. Tapi mungkin cuma perasaan gue aja ya.”

Mira – Accounting

“Iya. Gue juga mikir kadang kalau yang pegang laporan terlalu dekat sama atasan, rasanya…gak netral aja. Tapi bisa jadi gue terlalu baperan.”

Rizky- Finance

“Wkwk netralitas itu penting. Biar gak ada yang baper dikira ‘anak emas.’

Dan semua itu…tanpa menyebut namaku. Tapi semua orang tahu ke siapa arah tembakannya. Bahkan aku pun tahu—dan lebih menyakitkan lagi, mereka tahu aku tahu, tapi tetap memilih diam.

Setiap kali aku buka obrolan untuk keperluan kerja, respon mereka kaku, seperlunya.

Bahkan emoticon pun pelit di berikan.

Meisya – Accounting

“Halo, tim. Gue sudah rekap data pengeluaran Q2, nanti tolong dicek untuk cross-check. Gue taruh di shared drive ya.”

Lalu di balas lima menit kemudian dengan:

Mira – Accounting

“Thanks. Akan kami cek. Semoga objektif ya.”

Tanganku hampir gemetar saat mengetik balasan. Tapi aku tahan. Karena kalau aku meledak sekarang, maka mereka akan menang dua kali: satu, karena berhasil membuatku terlihat reaktif. Dua, karena mereka akan punya bahan baru untuk dikembangkan jadi gossip berikutnya.

Aku akhirnya makan siang di pantry, sendiri. Bukan karena gak ada yang mau diajak. Tapi karena aku sudah capek pura-pura gak tahu siapa yang sedang menjauhiku secara kolektif.

Sampai pada titik aku bertanya ke diri sendiri:

‘Apa salah gue? Kerja terlalu baik? Terlalu kelihatan? Atau…terlalu tidak ikut dalam kubu mereka?’

Sore itu saat semua orang sudah pulang, aku duduk sendirian. Mematung di meja kerja sambil menatap laporan yang sudah kupoles habis-habisan. Tapi rasanya seperti mengejar sesuatu yang sia-sia—karena kerja keras jadi tidak berarti kalau orang-orang lebih memilih percaya pada narasi yang di buat dari iri.

Dan saat aku membuka grup chat kantor “Visual Design Team” yang masih aktif, aku sadar: aku sedang berada di ladang perang. Tapi bukan pakai senjata.

Itu adalah perang pakai persepsi.

**

Felix bertanya ‘apakah aku bisa ikut testing game rutin’ beberapa hari yang lalu. Dan aku setuju.

Suasana ruang testing sore itu hening. Hanya suara klik mouse, sesekali ketikan pelan, dan nyaring AC sentral yang terlalu rajin bekerja.

Aku duduk di pojok ruangan, headset separuh menempel di telinga. Di layar: satu karakter game terjebak dalam loop animasi karena script yang gagal. Di kepala: satu karakter nyata—aku sendiri—terjebak dalam loop overthinking.

1
nide baobei
berondong gak tuh🤣
kania zaqila
semangat thor💪😊
nide baobei
ya ampun meisya🤣🤣🤣
nide baobei
ngakak🤣🤣, semangat thor💪
nide baobei
🤣🤣🤭
nide baobei
udah pede duluan🤣🤣
nide baobei
🤣🤣🤣 si meisya lucu banget
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!