ini adalah perjalanan hidup clara sejak ia berumur 5 tahun membawanya bertemu pada cinta sejatinya sejak ia berada di bangku tk, dan reymon sosok pria yang akan membawa perubahan besar dalam hidup clara. namun perjalanan cinta mereka tidak berjalan dengan mulus, akankah cinta itu mempertemukan mereka kembali.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Spam Pink, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 32
Clara menatap Ares dengan tubuh gemetar. Kata-kata laki-laki itu masih berputar-putar di kepalanya, menghantam dadanya seperti sesuatu yang terlalu besar untuk ditampung.
**“Bukan cuma Rey. Kamu juga.”**
Untuk sesaat, dunia terasa terlalu sunyi. Suara mesin espresso di belakang barista menghilang. Suara mahasiswa yang mengobrol terdengar jauh, seperti berasal dari ruangan lain.
Clara baru menyadari ia hampir tidak bernapas.
“A-ares…” suaranya pecah. “Apa maksud kamu… aku juga… dalam bahaya?”
Ares menatapnya tanpa berkedip, tatapannya serius—tidak lagi sinis, tidak lagi mengintimidasi. Hanya serius.
“Ada orang yang nggak keberatan buat bikin kamu jatuh kalau itu bisa bikin Rey hancur.”
Clara menelan ludah yang rasanya pahit. “Tapi… kenapa aku? Kenapa harus aku?”
Ares mengangkat bahu sedikit. “Karena kamu sasaran termudah.”
“Aku bukan siapa-siapa.”
“Justru karena itu.” Ares mencondongkan tubuhnya sedikit. “Kamu nggak punya perlindungan instansi, nggak punya akses. Kamu cuma penulis yang sekarang lagi disorot media. Mudah ditarget.”
Clara memejamkan mata dan memegangi kepala. Ini… terlalu banyak. Terlalu cepat.
Semalam Reymon menghubunginya.
Pagi ini ia menjadi headline nasional.
Siang ia mendapat ancaman.
Dan sekarang?
Seseorang di dalam lingkungan Rey sendiri membencinya.
“Siapa orang itu sebenarnya…?” Clara berbisik.
Ares mengambil napas panjang, lalu menyebutkan nama itu lagi—nama yang kemarin terdengar seperti petir menghantam telinganya. Nama yang sampai detik ini masih sulit ia percaya.
Clara kembali menggeleng, matanya berkaca-kaca.
“Enggak… itu enggak mungkin… Dia… dia temannya Rey…”
Ares menatapnya tajam. “Itu cuma apa yang kamu lihat dari luar.”
Clara berdiri tiba-tiba, kursinya hampir terjatuh. Nafasnya memburu.
“Aku harus pergi.”
Ares ikut berdiri, mencoba menahannya. “Clara, kamu jangan pulang sendirian.”
“Aku nggak butuh kamu!”
Semua orang di kafe menoleh.
Clara langsung menunduk, lalu memegang tasnya dan berjalan cepat keluar kafe. Di belakangnya Ares memanggil, tapi ia tidak peduli.
Dia butuh udara.
Dia butuh tempat yang tidak membuatnya sesak.
Dia butuh menenangkan hatinya sebelum ia benar-benar runtuh.
---
Angin sore menerpa wajah Clara ketika ia keluar dari kafe. Matanya panas, namun ia tidak ingin menangis di depan banyak orang.
Ia berjalan cepat menyusuri trotoar kampus, melewati gedung fakultas yang mulai kosong, melewati taman kecil tempat ia sering duduk menulis, melewati halte yang biasa dipenuhi mahasiswa.
Semua terlihat sama.
Tapi dirinya tidak sama lagi.
Setiap langkah terasa seperti membawa beban baru.
“Apa dia beneran benci Rey?” Clara memikirkan nama yang disebut Ares lagi. “Kenapa? Apa karena aku? Atau karena sesuatu yang pernah terjadi?”
Clara menggeleng kuat.
“Rey nggak pantas dapat ini. Dia kerja keras. Dia berkorban. Dia selalu baik sama semua orang…”
Air mata kembali turun tanpa bisa ia cegah.
Ia menyeka pipinya, tapi tangisnya justru semakin deras.
“Rey… aku minta maaf…”
Tanpa sadar, ia berhenti di depan gedung perpustakaan.
Sudut yang biasanya sepi, apalagi menjelang malam.
Harusnya aman.
Clara duduk di bangku panjang di dekat pohon kamboja. Angin sore yang berubah menjadi dinginnya malam berembus pelan.
Ia memeluk dirinya sendiri.
“Kalau benar orang itu mau hancurin Rey… aku nggak bisa diam aja…”
Ponselnya tiba-tiba berbunyi.
Clara tersentak.
Satu pesan masuk.
Dari… Reymon.
Clara langsung membuka pesan itu dengan jantung yang hampir pecah.
**Reymon:**
“Clara… kamu dimana?”
Clara langsung terisak.
“Rey… kamu baca beritaku ya? Kamu tau ya?” gumamnya sambil menutup mulut. “Rey…”
Tangan Clara gemetar saat ia membalas.
**Clara:**
“Rey… kamu aman? Kamu nggak apa-apa? Aku—”
Tiba-tiba sebuah pesan lain masuk sebelum ia sempat melanjutkan.
**Reymon:**
“Aku cuma punya 2 menit sebelum HP ditarik lagi. Clara… tolong tenang. Jangan kemana-mana sendirian.”
Clara membeku.
Ia langsung melihat sekeliling. Tubuhnya menegang seperti ada bahaya yang mengintai dari balik bayangan.
**Clara:**
“Rey, ada apa? Kamu kenapa bilang begitu?”
Titik tiga tanda mengetik muncul.
Hilang.
Muncul lagi.
Hilang.
Dan akhirnya pesan terkirim.
**Reymon:**
“Clara… Ares bilang sama aku soal kamu. Aku tahu semuanya. Aku bakal pulang begitu bisa. Tapi sampai aku pulang… tolong. Jangan percaya siapapun selain orang yang kamu kenal betul.”
Clara merinding.
Ini bukan Rey yang biasanya tenang.
Ini bukan Rey yang selalu menenangkan.
Ini Rey yang sedang takut.
Untuknya.
**Clara:**
“Rey, siapa yang ngincar kamu? Siapa yang ngincar aku? Kenapa kamu nggak bilang dari dulu?”
Pesan Rey masuk cepat.
Seperti ia mengetik dengan tergesa sebelum waktu habis.
**Reymon:**
“Karena aku kira dia cuma iri. Aku nggak pernah pikir dia akan segininya. Clara… aku minta maaf.”
Clara merasakan dadanya digenggam rasa sakit.
Rey meminta maaf padanya.
Rey.
Prajurit yang selalu kuat itu.
Tiba-tiba pesan lain masuk.
**Reymon:**
“Clara, kalau ada yang mencurigakan, kalau ada yang ngikutin kamu… jangan lawan. Lari. Atau masuk ke tempat ramai.”
Clara berdiri spontan. Matanya menyapu seluruh area sekitar perpustakaan.
Tidak ada siapa-siapa.
Tapi firasatnya berkata lain.
Ia mengetik cepat.
**Clara:**
“Rey… kamu bikin aku takut…”
Pesan Rey masuk hanya lima detik sebelum ponselnya mati.
**Reymon:**
“Clara… aku lebih takut kehilangan kamu.”
Clara menutup mulutnya. Tubuhnya hampir roboh.
Ia ingin membalas, tapi pesan baru muncul.
**Reymon:**
“Aku harus pergi. Tapi Clara… dengar aku baik-baik.”
Titik tiga.
Dan pesan terakhir itu masuk.
Sederhana.
Tapi menghancurkan.
**Reymon:**
“Jangan percaya siapapun. Termasuk Ares.”
Koneksi terputus.
Clara menatap layar ponselnya yang kembali ke halaman chat kosong.
Darahnya seolah berhenti mengalir.
“Termasuk… Ares…?”
Clara teringat tatapan Ares.
Nada suaranya.
Cara ia mengatakan bahwa dia bukan ancaman.
Apakah itu bohong?
Apakah semua peringatan itu jebakan?
Apakah Ares sebenarnya ingin mengarahkannya ke tempat yang justru membuatnya tersudut?
Clara menggenggam ponselnya lebih erat.
“Rey… siapa yang bener?”
Langkah kaki terdengar pelan di belakangnya.
Clara langsung menoleh.
Jantungnya serasa melompat.
Karena ada seseorang berdiri tidak jauh darinya—di balik pohon, menatap langsung ke arahnya.
Sesosok laki-laki.
Bukan Ares.
Bukan mahasiswa kampus.
Bukan siapa pun yang familiar.
Tapi Clara tahu satu hal:
Ia bukan orang yang berkeliaran di kampus.
Kakinya bergerak pelan menuju Clara.
Clara mundur.
“Maaf… Anda siapa…?” suaranya goyah.
Laki-laki itu tidak menjawab.
Ia hanya terus melangkah.
Langkahnya teratur.
Fokus.
Tidak ada keraguan sedikit pun.
“Jangan dekat-dekat!”
Clara mundur lagi, hampir terjatuh dari tangga kecil perpustakaan.
Dan tepat ketika ia hendak berbalik untuk lari—
Laki-laki itu berbicara.
Suara rendah.
Dingin.
Dan Clara berharap ia tidak pernah mendengarnya.
“Kamu Clara, kan?”
Clara membeku.
Laki-laki itu tersenyum tipis.
“Sudah lama aku ingin bertemu dengan kamu.”
Clara merinding dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Kenapa kau takut?” tanya laki-laki itu lagi. “Aku cuma ingin bicara.”
Clara menggeleng kuat. “Aku nggak kenal kamu. Pergi.”
Laki-laki itu berhenti beberapa meter di depannya.
Dan dari saku jaketnya, ia mengeluarkan sesuatu.
Clara menatap benda itu.
Dan darahnya seperti membekukan seluruh tubuhnya.
Benda itu—
Adalah gelang Reymon.
Gelang yang Rey buat sendiri.
Gelang yang seharusnya ada di tangan Rey selama pendidikan.
Clara menutup mulutnya.
“Oh Tuhan…”
Laki-laki itu tersenyum miring.
“Reymon menitipkan ini.”
Clara mundur beberapa langkah, lututnya goyah.
“Nggak… nggak mungkin… Rey nggak akan pernah lepas gelang itu… siapa kamu… siapa sebenarnya kamu!?”
Laki-laki itu menyelipkan gelang itu kembali ke sakunya.
Dan dengan suara yang terlalu tenang, ia berbicara:
“Aku seseorang yang tahu banyak tentang Reymon. Lebih banyak dari yang kamu tahu.”
Clara gemetar.
Dia melanjutkan,
“Dan menurutku… Reymon sudah terlalu lama berada di tempat yang bukan miliknya.”
Clara menahan napas.
“Apa maksud kamu…?”
Laki-laki itu menatap Clara dengan dingin.
“Maksudku sederhana.”
Dia mendekat selangkah.
“Reymon tidak layak dapat semua yang dia dapat. Termasuk kamu.”
Clara merasa jantungnya turun ke perut.
“Dan aku di sini,” laki-laki itu melanjutkan, “untuk memperbaiki keadaan.”
Clara memutar tubuh.
Ber l a r i .
Tapi laki-laki itu mengejarnya.
Suaranya terdengar dari belakang.
“Lari saja, Clara. Tapi kamu nggak akan bisa lari selamanya.”
Clara menjerit saat angin malam memukul wajahnya.
Nafasnya terputus-putus.
Ia tidak tahu harus lari kemana.
Ia hanya tahu satu hal:
Ini bukan lagi tentang rumor.
Ini bukan lagi tentang berita.
Ini bukan lagi tentang buku.
Ini tentang seseorang yang ingin Reymon hancur.
Dan ia mulai menjalankan rencananya.
Dengan Clara sebagai langkah pertama.
---
Clara berlari tanpa arah, menembus kerumunan, melewati jalan kecil, hingga lampu-lampu kota menjadi buram oleh air mata.
Ia tahu satu hal:
Ia tidak aman.
Dan Rey…
Rey dalam bahaya lebih besar.
Dan hal paling menakutkan?
Clara mulai meragukan siapa yang benar.
Ares?
Atau Reymon?
Atau… tidak ada dari keduanya yang benar sepenuhnya?
Karena apa pun jawaban sebenarnya—
Nyawanya bisa saja menjadi taruhannya.
---
BERSAMBUNG…..