Namaku Syahnaz Fakhira az-Zahra, berusia delapan belas tahun.
Aku baru saja menyelesaikan pendidikan selama enam tahun di Pondok Pesantren Darfal — sebuah pondok perempuan di salah satu kota di Jawa yang dikenal dengan kedisiplinan dan kedalaman ilmunya.
Selama enam tahun di sana, aku belajar banyak hal; bukan hanya tentang ilmu agama, tetapi juga tentang kehidupan. Aku tumbuh menjadi seseorang yang berusaha menyeimbangkan antara iman dan ilmu, antara agama dan dunia.
Sejak dulu, impianku sederhana namun tinggi — melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Kairo, menuntut ilmu di tanah para ulama. Namun, takdir berkata lain.
Di tahun kelulusanku, ayah meninggal dunia karena serangan jantung. Dunia seolah runtuh dalam sekejap.
Aku sangat down, tertekan, dan rapuh.
Sejak kepergian ayah, keadaan ekonomi keluarga pun memburuk. Maka, aku memilih pulang ke rumah, menunda impian ke luar negeri, dan bertekad mencari pekerjaan agar bisa membiayai ibuku sekaligus untk kuliah.
lanjut? 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kelembutan paling tajam
Reyhan melirik Syahnaz dengan sedikit canggung, lalu membuka suara pelan, mencoba mencairkan suasana.
“Ngomong-ngomong… nggak ada yang mau kamu tanyain? Tentang apa gitu, terserah…” ucap Reyhan, menatap Syahnaz dengan harap — berharap percakapan antara kakak beradik itu bisa terbuka sedikit.
“Hmmm… banyak,” jawab Syahnaz datar, menatap Reyhan dalam, sorot matanya pekat.
“H-hal apa yang membuat kakak nggak bisa pulang? Belasan tahun ini?!” lanjutnya, nada suaranya sedikit meninggi — ada getir dan luka yang tertahan terlalu lama.
Reyhan menghembuskan napas berat. Tatapannya kosong sejenak sebelum akhirnya ia membuka suara dengan lirih.
“Hmmm… sebenarnya kakak udah beberapa kali pengen melarikan diri belasan tahun lalu. Bahkan, baru beberapa hari kakak dibawa paksa, kakak udah coba kabur berkali-kali… tapi selalu gagal.”
Ia menunduk, suaranya melemah.
“Dan setiap kali gagal… kakak dibawa ke gudang untuk disiksa.”
Hening seketika.
Ingatan lama yang pahit itu tiba-tiba berputar di kepalanya — suara rantai, jeritan, dan bayangan gelap menyerbu pikirannya.
Reyhan memejamkan mata, tubuhnya menegang, napasnya mulai tersengal.
“Tidak… tidak… jangan lakukan itu!!” serunya tiba-tiba dengan nada gemetar. Keringat dingin mulai menetes di pelipisnya.
“Kak Reyhan?” ucap Syahnaz panik, menatapnya cemas.
Tapi Reyhan tak menjawab, matanya masih tertutup, tubuhnya bergetar hebat.
“Kak!!” seru Syahnaz lagi, kini menggoyangkan bahunya dengan panik.
Reyhan sontak tersadar, membuka mata dengan napas terengah. Sorot matanya memerah, sedikit berair. Ia langsung menjauh, menunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya yang diliputi rasa takut dan trauma.
Syahnaz tertegun. Dadanya serasa diremas.
Ia tak berpikir panjang — spontan memeluk Reyhan, menenangkan tubuh kakaknya yang masih gemetar hebat.
“Jangan pukul akuu!!…” ucap Reyhan lirih, suaranya pecah dalam tangis yang tertahan. “Jangan…”
Air mata Syahnaz menetes tanpa bisa ditahan.
“Kak… tenang, ada Syahnaz di sini,” ucapnya lembut, masih memeluk Reyhan erat. “Maafin Syahnaz… karna udah nanyain hal yang seharusnya Syahnaz nggak usah tanyain…”
Reyhan tak menjawab, hanya terisak pelan dalam pelukan itu.
Dan untuk pertama kalinya setelah belasan tahun, dua jiwa yang terpisah oleh masa lalu kini sama-sama hancur — tapi juga sama-sama mulai sembuh.
...----------------...
“Yaa Allah… Syahnaz salah…” batin Syahnaz dengan wajah sendu. “Seharusnya Syahnaz nggak nanya tentang ini. Seharusnya Syahnaz cari tahu sendiri, biar luka batin Kak Reyhan nggak terbuka lagi…”
Ia perlahan melepas pelukannya. Reyhan berusaha menetralkan diri, menarik napas dalam-dalam.
“Maafin kakak…” ucapnya pelan, menatap langit-langit ruangan dengan pandangan kosong sebelum terkekeh kecil.
“Lucu, ya… takdir memisahkan kita,” katanya dengan suara sedikit serak.
Ia tersenyum tipis. “Dan pada akhirnya… dipertemukan lewat kejadian yang nggak terduga.”
Syahnaz hanya menatap kakaknya dengan mata berkaca-kaca, penuh haru. Tapi suasana hening itu tiba-tiba pecah.
Teng nong…
Suara bel terdengar dari luar. Syahnaz spontan menoleh ke arah pintu.
“Siapa yang datang malam-malam begini?” ucapnya pelan, bingung.
“Siapa?” tanya Reyhan dengan suara serak, masih belum pulih sepenuhnya.
“Ng—nggak tahu, Kak,” jawab Syahnaz.
Bel itu kembali berbunyi.
Teng nong…
Syahnaz bangkit, melangkah menuju pintu. Namun, sebelum sempat menyentuh gagang pintu, Reyhan reflek berlari dan menahan tangannya.
“Jangan dibuka!!” ucapnya cepat.
Ia menatap Syahnaz tajam namun pelan berkata, “Jangan dibuka.”
Tangannya memberi isyarat agar Syahnaz diam. Lalu ia mengintip melalui lubang pintu dengan hati-hati.
“Siapa?” bisik Syahnaz pelan.
Reyhan menggeleng — tidak ada siapa pun di sana.
Beberapa detik kemudian, bel itu kembali berbunyi.
Teng nong…
Reyhan langsung membuka pintu dengan sigap. Dan di depannya berdiri seseorang berpakaian serba hitam — hoodie menutupi kepala, masker hitam menutup wajah.
Lelaki itu tampak kaget, lalu langsung berlari menuju lift.
“Hei!! Siapa lu!!?” teriak Reyhan, suaranya menggema di lorong apartemen.
Lelaki misterius itu tak menjawab, malah berlari menuruni tangga darurat. Reyhan mengejarnya, berhasil menarik bagian hoodie-nya — terjadi perkelahian singkat. Tinju Reyhan menghantam perut lelaki itu. Ia hendak membuka maskernya—
Tapi tiba-tiba, terdengar jeritan Syahnaz dari arah lorong.
“Kaakkk!!”
Reyhan menoleh cepat. Matanya membelalak melihat sosok lain berpakaian sama — serba hitam, berdiri tak jauh dari Syahnaz.
“Ternyata mereka dua orang,” gumam Reyhan.
Ia langsung berlari ke arah Syahnaz, meninggalkan lelaki pertama yang akhirnya berhasil melarikan diri. Lelaki kedua pun kabur ketika Reyhan sampai di sana.
Reyhan hendak mengejar, tapi Syahnaz menahannya dengan wajah panik.
“Jangan, Kak… bahaya…” ucapnya lirih, tangannya menggenggam lengan Reyhan erat.
Reyhan menghela napas kasar, masih dipenuhi adrenalin. Ia menatap ke arah lorong yang kini kosong, lalu menatap Syahnaz dengan tatapan protektif.
“Masuk ke dalam,” katanya pelan, tapi tegas.
Ia lalu menggandeng Syahnaz masuk ke apartemen, menutup pintu dengan cepat — dan malam itu, sunyi kembali, menyisakan jantung mereka berdua yang masih berdegup kencang.
Reyhan segera mengenakan jaket kulitnya yang sempat ia lepaskan di sofa. Gerakannya cepat, tergesa-gesa, dan penuh amarah yang jelas terpancar dari matanya.
“Mau ke mana?” suara Syahnaz terdengar panik, langkahnya maju menatap kakaknya dengan khawatir.
Ia tahu pasti apa yang hendak dilakukan Reyhan.
“Kakak ada urusan mendadak,” jawab Reyhan singkat, suaranya berat, lalu ia melangkah menuju pintu.
Namun Syahnaz berdiri di sana — menghadang. Tubuh mungilnya kini menjadi penghalang antara Reyhan dan amarahnya sendiri.
“Kakak pasti mau ngejar orang itu, kan!?” serunya tajam, suaranya bergetar tapi tegas.
Reyhan diam. Hanya tatapan matanya yang menjawab — tatapan tajam, menyala karena marah.
“Enggak, Kak… nggak boleh!” ucap Syahnaz lirih, tapi penuh ketegasan. “Ini udah malam, udah hampir jam dua belas.”
Reyhan menarik napas kasar. “Kakak harus kejar orang itu!!” serunya, berusaha membuka pintu dengan paksa.
Namun Syahnaz tak bergeming. Ia berdiri di sana, menatap langsung ke arah kakaknya — mata yang biasanya lembut kini berubah tegas dan dalam.
“Kalau Kak Reyhan mau ngejar orang itu sekarang… dengan amarah yang masih membara—silakan,” ucap Syahnaz, suaranya pelan tapi menggetarkan.
Reyhan menatapnya lekat-lekat, terdiam.
“Tapi, aku nggak suka, Kak,” lanjut Syahnaz, matanya mulai berair, tapi senyum kecil terlukis di bibirnya.
“Aku nggak suka orang yang menyelesaikan masalahnya dengan amarah. Karena menyelesaikan masalah dengan kepala yang masih panas… nggak akan pernah bisa memperbaikinya. Malah bisa bikin semuanya makin kacau.”
Kata-kata itu menampar Reyhan dalam diam.
Syahnaz tersenyum hambar, lalu berbalik.
“Jadi… kalau Kak Reyhan tetap mau pergi, silakan. Tapi aku udah bilang apa yang harus aku katakan, dan Kakak tahu itu” ucapnya pelan, sebelum melangkah masuk ke kamarnya.
Reyhan hanya berdiri di depan pintu — membeku, mematung. Tangannya masih menggenggam gagang pintu, tapi kini tak lagi kuat untuk membukanya.
Yang tersisa hanyalah suara detak jam dinding… dan bayangan adiknya yang baru saja menegurnya dengan kelembutan paling tajam yang pernah ia rasakan.
untuk desain Visualnya bagus membuat para pembaca bisa masuk ke alurnya.
Salam literasi.
sambil baca sambil mikir berarti lulus SMAnya umur 17th.