NovelToon NovelToon
Mahar Pengganti Hati

Mahar Pengganti Hati

Status: tamat
Genre:Perjodohan / Pengganti / CEO / Dijodohkan Orang Tua / Ibu Pengganti / Tamat
Popularitas:8.7k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Husna, putri bungsu kesayangan pasangan Kanada-Indonesia, dipaksa oleh orang tuanya untuk menerima permintaan sahabat ayahnya yang bernama Burak, agar menikah dengan putranya, Jovan. Jovan baru saja menduda setelah istrinya meninggal saat melahirkan. Husna terpaksa menyetujui pernikahan ini meskipun ia sudah memiliki kekasih bernama Arkan, yang ia rahasiakan karena orang tua Husan tidak menyukai Arkan yang hanya penyanyi jalanan.
Apakah pernikahan ini akan bertahan lama atau Husna akan kembali lagi kepada Arkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 32

Lorong rumah sakit dipenuhi dengan aroma antiseptik yang menyengat.

Langkah Husna dan Burak terdengar tergesa-gesa, hati mereka diliputi kecemasan.

Begitu sampai di ruang gawat darurat, seorang dokter keluar dengan wajah serius.

“Bagaimana keadaan suamiku, Dok?” tanya Husna dengan suara bergetar.

Dokter meminta Husna untuk tenang dan setelah itu ia mempersilakan Husna untuk duduk..

“Ibu tenang dulu, ya. Suami Ibu, Pak Jovan, mengalami patah tulang di bagian kaki kanan akibat benturan keras saat jatuh dari tangga. Tapi syukurlah, tidak ada cedera di kepala. Sementara Pak Arkan…”

Husna menatap dokter penuh harap. “Bagaimana dengan Arkan, Dok?”

“Pak Arkan masih belum sadar. Kami terus memantau kondisinya di ICU.”

Wajah Husna langsung memucat. “Ya Tuhan…” bibirnya bergetar, lututnya melemas hampir jatuh kalau tidak segera ditopang oleh Burak.

Burak memegang bahu menantunya erat-erat. “Sabar, Nak. Yang penting Jovan masih selamat. Kita doakan semuanya baik-baik saja,” ucapnya pelan, mencoba menenangkan meski suaranya ikut bergetar.

Tak lama kemudian, petugas medis keluar dari ruang tindakan sambil mendorong ranjang Jovan. Wajah Jovan tampak pucat, tubuhnya penuh perban dan kaki kanannya dibalut gips putih tebal.

“Maaf, mohon beri jalan. Kami akan memindahkan pasien ke ruang perawatan,” ucap salah satu perawat.

Husna mengikuti dengan langkah gemetar, air matanya menetes tanpa bisa ia tahan. Ia menatap wajah suaminya yang terbaring lemah — lelaki yang selalu tampak kuat kini begitu rapuh di hadapannya.

Sesampainya di ruang perawatan, Husna duduk di kursi di samping ranjang. Ia meraih tangan Jovan yang terkulai di sisi tempat tidur, menggenggamnya erat.

“Van… ini aku, Husna…” ucapnya lirih, suaranya pecah.

Ia menatap kaki Jovan yang kini tergantung dengan gips dan tali penyangga. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi punggung tangan suaminya.

“Kenapa kamu harus terluka begini…?” bisiknya, menggigit bibir agar tangisnya tidak meledak.

Burak berdiri di pintu, menatap menantunya dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu Husna begitu terpukul tapi dalam hatinya, ia bersyukur Jovan masih hidup.

Perlahan, Husna menunduk dan mengecup tangan Jovan.

“Aku di sini, Van. Jangan khawatir. Aku nggak akan ninggalin kamu,” ucap Husna sebelum akhirnya bersandar di tepi ranjang sambil terus menggenggam tangan suaminya yang belum juga membuka mata.

Cahaya matahari sore masuk lembut melalui jendela ruang perawatan, menembus tirai putih yang sedikit terbuka.

Jovan mengerjap pelan, matanya terasa berat dan pandangannya buram sesaat.

Suara mesin monitor detak jantung berdetak lembut di telinganya.

Perlahan, ia menoleh dan di sana, Husna tertidur dalam posisi duduk di kursi samping ranjang, kepalanya bersandar di tepi tempat tidur sambil tetap menggenggam tangan Jovan erat-erat.

“Husna…” suara serak Jovan keluar pelan.

Husna terbangun seketika, matanya langsung menatap Jovan yang kini sudah sadar.

“Van! Syukurlah kamu sadar…” ucapnya dengan nada lega, matanya langsung berkaca-kaca. Ia berdiri dan memegang pipi suaminya lembut.

Jovan tersenyum samar, lalu menatap sekeliling. Tatapannya berhenti pada kaki kanannya yang terbungkus gips putih tebal dan disangga oleh penopang.

“Ini, apa yang terjadi sama kakiku?” tanyanya pelan, masih tampak bingung.

Husna menarik napas dalam, menahan air mata yang hampir jatuh.

“Kamu jatuh dari tangga, Van. Dokter bilang tulang kakimu patah, tapi syukurlah nggak ada luka di kepala. Kamu cuma perlu istirahat dan jangan banyak bergerak dulu.”

Jovan menatap kakinya lama, mencoba menggerakkan sedikit tapi nyeri langsung menusuk.

Ia mendesis pelan menahan sakit.

Husna cepat-cepat menahan bahunya.

“Jangan dipaksa dulu, nanti makin parah.”

Jovan menatap wajah istrinya mata Husna merah, jelas sekali kalau ia sudah menangis lama.

Kepalanya miring sedikit, dan dengan suara lembut ia berbisik,

“Kamu nangis lagi, ya?”

Husna menggeleng pelan, mencoba tersenyum.

“Nggak kok, aku cuma lega kamu sadar.”

Jovan mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Husna.

“Maaf bikin kamu khawatir lagi…” ucapnya lirih.

Husna menunduk, lalu menatapnya dengan senyum yang penuh kehangatan.

“Yang penting kamu selamat, Van. Soal kaki, nanti pasti sembuh. Aku bakal jagain kamu sampai bisa jalan lagi.”

Jovan memandangnya lama, lalu tersenyum kecil.

“Kalau kamu yang jagain, aku yakin sembuhnya bakal cepat.”

Husna menunduk malu, tapi senyum kecil terukir di bibirnya di antara rasa lega, takut, dan cinta yang tak pernah surut.

Jovan menatap langit-langit kamar beberapa saat sebelum akhirnya menoleh ke arah Husna yang sedang menuangkan air ke gelas.

Wajahnya masih sedikit pucat, tapi matanya sudah mulai tenang.

“Na…” panggilnya pelan.

Husna menoleh sambil tersenyum lembut.

“Kenapa, Van? Mau minum?”

Jovan menggeleng. “Aku mau tanya sesuatu.”

Nada suaranya berubah serius, membuat Husna menghentikan gerakannya. Ia menatap suaminya, menunggu kelanjutan kata-kata itu.

“Tentang Arkan,” ucap Jovan akhirnya, menatap lurus ke arah istrinya.

“Aku tahu dia dulu orang penting buat kamu. Tapi waktu itu, di kantorku, dia nunjukin foto dan video kalian berdua.”

Husna membeku. Wajahnya berubah tegang, napasnya sedikit tersengal.

“Video? Foto apa maksudmu, Van?”

“Dia bilang.kamu masih mencintainya,” lanjut Jovan dengan nada berat.

“Makanya aku mau tahu, Na. Apakah kamu masih mencintai dia?”

Suasana hening sesaat. Suara detak jam di dinding terdengar jelas. Husna menatap Jovan tajam, lalu tanpa pikir panjang—

Pletak!

Ia mencubit lengan suaminya cukup keras.

“Aw! Hei, Na, kenapa nyubit?!” seru Jovan kaget.

Husna mendengus kesal tapi matanya mulai berkaca-kaca.

“Karena kamu ngomongnya nggak bener! Aku ini hamil, Van. Anak kamu!” katanya dengan nada tegas namun penuh emosi.

Jovan terdiam beberapa detik, lalu bibirnya melengkung dalam senyum tipis. Pandangannya melembut.

Ia mengangkat tangannya, menyentuh perut Husna dengan lembut.

“Anak aku, ya?” tanya Jovan sambil tertawa kecil

Husna mengangguk pelan dan tangannya kembali mencubitnya.

“Iya, Van.anak kamu.”

Jovan menarik napas panjang, rasa hangat memenuhi dadanya.

Ia menatap istrinya penuh cinta dan rasa bersalah.

“Maaf ya. Aku sempat ragu dan takut kalau kamu kembali lagi kepada Arkan."

Husna menggeleng, lalu tersenyum manja. “Yang penting sekarang kamu percaya.”

Jovan tersenyum kecil, lalu berkata dengan nada menggoda,

“Ngidam mangga lagi, ya?”

Husna langsung tertawa kecil sambil menyeka air matanya.

“Kayaknya iya deh, tapi kali ini jangan cuma permen mangga, ya.”

Jovan ikut tertawa, lalu meraih tangan istrinya dan menciumnya lembut.

“Baik, calon ibu anakku. Aku pastikan kamu dapet mangganya — seberapa susah pun nyarinya.”

Mereka berdua saling tersenyum, dan untuk pertama kalinya setelah semua badai itu, ruangan terasa hangat dan penuh dengan ketenangan.

Perawat mengetuk pintu perlahan sebelum masuk, membawa nampan berisi semangkuk bubur hangat.

“Selamat pagi, Pak Jovan. Ini buburnya, ya. Kata dokter, Bapak sudah boleh makan makanan lembut,” ucap perawat dengan senyum sopan.

“Terima kasih, Sus,” jawab Jovan pelan. Ia mencoba duduk tegak meski masih terasa nyeri di kakinya yang digips.

Perawat membantu menata meja kecil di samping tempat tidur, lalu menunduk hormat sebelum meninggalkan ruangan.

Husna segera mendekat, meniup perlahan sendok bubur di tangannya, lalu menyodorkannya ke arah suaminya.

“Pelan-pelan makannya, Van. Kamu baru sadar kemarin, jangan maksain diri.”

Jovan tersenyum tipis, menerima suapan itu dengan tenang. Matanya menatap lembut wajah istrinya.

“Aku beruntung banget kamu ada di sini,” ucapnya lirih.

Husna tersipu, lalu menatap jam di dinding.

“Kamu istirahat lagi, ya. Aku mau ke ruangan sebelah dulu.”

Jovan menatapnya penuh tanya. “Ke ruangan Arkan?”

Husna mengangguk pelan. “Iya, aku cuma mau lihat keadaannya. Dia masih belum sadar, Van. Aku cuma mau pastikan dia nggak sendirian.”

Jovan terdiam sesaat, tapi akhirnya mengangguk.

“Baiklah. Tapi jangan terlalu lama, ya.”

Husna tersenyum kecil. “Iya, aku janji.”

Ia berdiri, merapikan selimut Jovan terlebih dahulu sebelum melangkah keluar kamar.

Lorong rumah sakit terasa sepi, hanya terdengar suara langkah kakinya dan bunyi mesin monitor dari beberapa ruangan.

Ketika Husna membuka pintu ruang Arkan, ia terdiam.

Pria itu terbaring lemah di ranjang, wajahnya pucat, dengan alat bantu pernapasan terpasang di hidungnya.

Tidak ada siapa pun di sana hanya sunyi dan suara alat medis yang berdetak pelan.

Husna mendekat perlahan, menatap wajah yang dulu begitu dikenalnya. Ada perih yang tak bisa ia jelaskan.

“Kan…” panggilnya pelan, suaranya bergetar.

Ia duduk di kursi di samping ranjang, menggenggam tangan Arkan yang dingin.

“Sadarlah, Kan. Dunia masih nunggu kamu. Aku, Jovan, semua orang berharap kamu sembuh.”

Husna tersenyum tipis, air matanya menetes pelan.

“Setelah kamu sadar, menyanyilah lagi, ya. Lagu-lagumu selalu punya makna. Aku masih pengen dengar suara kamu di radio, bukan di ruang rumah sakit kayak gini.”

Ia mengusap punggung tangan Arkan dengan lembut, lalu menatap wajahnya sekali lagi.

“Bangunlah, Kan. Bukan untuk aku, tapi untuk semua orang yang percaya kamu bisa berdiri lagi.”

Sunyi kembali memenuhi ruangan, hanya suara mesin detak jantung yang terus berbunyi pelan seolah ikut mendoakan agar Arkan segera sadar dari tidurnya yang panjang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!