5 jiwa yang tertransmigrasi untuk meneruskan misi dan mengungkap kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kurukaraita45, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Trauma yang Kembali Terbuka
Petunjuk :
"Semua yang terjadi bukanlah kebetulan. Pasti ada sebab tertentu bagi hidupmu."
...ΩΩΩ...
Seseorang akan berubah, jika dirinya sudah benar-benar lelah. Entah ke arah yang jauh lebih baik, atau sebaliknya. Setiap apa yang terjadi dalam hidup seseorang, dapat merubah kepribadian dan juga cara berpikirnya.
"Gue udah punya rencana yang matang, gue akan curi semua data-data yang Daisen punya terkait apapun itu. Soalnya bakalan ngaruh buat pergerakan kita selanjutnya," ujar Renjana penuh penegasan kepada keempat temannya.
"Jadi, mau lo sendiri yang gerak atau gimana?" Tanya Cenyo.
Renjana menganggukan kepalanya. "Iya, dan sekarang juga."
Setelah hari Sabtu kemarin, yang mana Renjana bulat dengan keputusannya. Akhirnya hari ini dia menjalankan rencana yang telah ia susun selama satu minggu.
"Gue berangkat dulu, buat ke rumah Daisen."
"Lo udah pikiran matang-matang semuanya 'kan?" Danendra bertanya.
"Aman!"
...ΩΩΩ...
Hal pertama yang Renjana temukan saat menyelinap masuk melalui pintu belakang yang tengah sepi itu bukanlah sebuah data yang dia perlukan. Melainkan, sebuah pemandangan buruk berjuta luka dan trauma.
"Daisen! Kamu itu jadi anak gak pernah berguna, berkali-kali saya bilang untuk berhenti main komputer dan keluyuran gak jelas sama teman aneh kamu itu. Saya itu gak suka, kamu pulangnya gak teratur, dan yang paling penting kamu sekarang sudah tidak nurut lagi sama kami sebagai orang tua kamu." Ibunya Daisen terus saja memaki-maki anaknya tanpa memperdulikan perasaannya.
"Maaf. Tapi untuk kali ini aku cape dengan kekangan kalian, Ayah dan Ibu fikir apa yang kalian lakukan itu terbaik untukku? Enggak Yah, Bu! Dulu kalian yang terus-terusan harus dituruti keinginannya, kalo Daisen ngelawan kalian pasti kurung Daisen di gudang. Sekarang Daisen gak mau gitu lagi, dan jangan pernah suruh Daisen ngejauhin rumah Daisen. Mereka rumah buat Daisen, daripada ini yang terpandang sebagai rumah, namun nyatanya kehidupan dalam jeruji besi yang dingin dan penuh penekanan." Daisen terus mengeluarkan unek-uneknya selama ini.
"Daisen! Anak bodoh ya kamu!"
Beberapa bulan sebelumnya, memang dia sering dikurung di gudang, karena pelampiasan kedua orang tuanya. Hukuman itu mereda, sejak Daisen jarang di rumah.
Lisa yang mendengarnya dari atas sangat sakit hati mendengarkan perkataan orang tua Daisen yang seolah memang tak punya hati. Dia tidak pernah bisa membela, atau melerai sama sekali. Karena pada akhirnya dia yang akan kena, mereka akan mengungkit semua biaya hidup Daisen dan juga Lisa sampai saat ini. Atau bahkan, pertengkaran akan semakin memanas. Daisen juga sendiri yang melarang Lisa untuk ikut campur, karena dia bisa jadi kena imbasnya.
"Anak kamu tuh! Gak pernah nurut! Aku gak punya anak kayak gitu!" Ibu Daisen pergi meninggalkan mereka.
"Anak lo! Gua gak pernah anggap dia anak!" Tak kalah menyakiti Ayah Daisen pun diakhiri meludah ke hadapan Daisen.
"Sakit ya..." Lirihnya penuh kehampaan, ia berjalan gontai menaiki anak tangga, yang ternyata di atasnya Lisa telah memandang.
Tepat berada di depannya, Lisa tersenyum penuh ketulusan. Lalu langsung memeluknya tanpa sebuah kata apapun lagi. "Kamu gak sendiri, selalu ada aku. Rumah kamu yang sebenarnya 'kan?"
Daisen tak dapat menahan air matanya, dia menumpahkan semuanya dipelukan Lisa, yang ia anggap sebagai rumah pertama untuknya.
Sedangkan Renjana Yeng mengintip dari pintu dapur, jauh dari kata baik-baik saja. Dia segera pergi keluar setelah pertengkaran yang ia lihat selesai, agar tidak ketahuan. Mengurungkan kembali niatnya.
"Kenapa luka itu harus kembali gue ingat?" Renjana bermonolog, dia berlari ke taman terdekat dari sana.
Otaknya berputar lebih cepat dari biasanya, jantungnya berdegup kencang makin tak karuan. Sesak kian sempit menutup ruang. Bahkan ia sudah lupa, dengan tujuannya saat ini. Ingatannya berputar kembali, kepada masa 8 tahun sebelumnya.
"Renjana! Kamu ini nakal sekali ya, Mama sudah bilang jangan main sama temen cewek kamu itu."
Prett...
Satu kali cambukan ia dapatkan dengan begitu keras. "Ma-ma, jangan pukul aku, maafin aku Ma."
"Maaf-maaf terus! Mama gak akan percaya lagi sama kamu Renjana!"
Prett...
Cambukan kedua kembali ia dapatkan dan semakin keras pula. Renjana hanya diam saja tanpa berkata lagi. "Kamu harus terima hukuman ini!"
Prett...
Terus cambukan ketiga makin keras, dan membekas di kulit betisnya, merah lebam semakin tak karuan.
Renjana mulai manangis, karena sakit yang ia rasakan makin mendalam. "Ma ampun..." Berkali-kali cambukan terus menghampiri betis kecilnya. "A-ampun Ma..." Lirinya yang terus tak pernah di dengar.
Bukannya wanita itu menghentikan cambukannya, justru ia menyeret Renjana ke dalam sebuah kamar mandi. Dia segera membuka keran air, dan mengambil gayung.
Dia mengucurkan air dalam gayung ke kepala Renjana, membuat Renjana kedinginan dan basah kuyup. Bukannya terus melawan, Renjana hanya terus merintih dan pasrah.
Lukanya amat mendalam, bekas cambukan itu mengeluarkan darah dan beradu dengan dinginnya air ketika malam hari. Dia tak punya perasaan, terus menyiksa anaknya agar jera katanya.
Hingga 15 menit tiba, barulah dia menghentikan penyiksaannya terhadap Renjana. "Ganti baju sekarang!" Renjana yang kelahan masih diam, matanya sembab dan tubuhnya telah lemah.
"Cepat Renjana!"
Renjana tak kunjung mengikuti perintahnya, dan perlahan matanya mulai tertutup.
Keesokan harinya tiba, bukan sambutan hangat yang ia terima melainkan cacian yang tak kunjung usai.
"Dasar anak lemah, makannya nurut sama Ayah dan Mama!" Itu adalah Ayah Renjana, dia langsung membentak anaknya ketika baru saja sadarkan diri.
"Den! Aden gak papa 'kan?" Bibi yang tampak peduli sekali dengannya.
Renjana hanya menggeleng pelan lalu tersenyum, "Maaf ya aden, Bibi gak tau semalam." Ayah dan Mamanya menatap malas kepada Bibi pembantu mereka tersebut.
"Kenapa?..."
Renjana berteriak histeris, ia terus menangis dan menumpahkan tangisannya di sana. "Sakit rasanya kalo harus ingat itu lagi, mereka jahat sama gue. Gue benci mereka, dan gua mau lupain mereka. Mereka bukan orang tu abuat gue..."
Ribuan air mata telah keluar dari pelupuk matanya, yang kian sembab. "Ternyata... Nasib Daisen juga sama kayak gue?..."
Renjana hanya bisa menutup mulutnya, dan tak lagi berkata. Sejak saat itu di jarang menemui Evelyn dan Neshiya, hanya beberapa kali dalam seminggu dan setelah mereka lulus dari jenjang sekolah dasar, mereka bertiga memang benar terpisah.
Evelyn yang mengikuti Ayah-nya, Neshiya yang mengikuti orang tuanya dan juga Renjana yang keluar dari rumah kedua orang tuanya, untuk mencari kehidupan baru dan menyembuhkan trauma. Trauma itu berhasil hilang setelah ia menemukan kehidupan baru, namun ia kembali mengingatnya.
...-ToBeContinued-...