Sejak kecil, Anul hanya dikenal sebagai anak yatim piatu tanpa asal-usul yang hidup di sebuah desa kecil. Tubuhnya tak pernah terluka meski dihajar, senyumnya tetap hangat meski dirundung.
Namun, siapa sangka di balik kesederhanaannya tersimpan rahasia besar?
Darah yang mengalir di tubuhnya bukanlah darah manusia biasa. Takdir telah menuliskan namanya sebagai pewaris kekuatan yang mampu mengguncang langit dan bumi.
Dari anak yang diremehkan, Anul akan melangkah menuju jalan bela diri, mengalahkan musuh-musuh kuat, hingga akhirnya menaklukkan Sepuluh Ribu Semesta.
Perjalanan seorang yatim piatu menuju takdir yang tak bisa dihindari pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr.Employee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kaya Dalam Sekejap
Mengikuti arah yang ditunjuk pria di atas arena, tatapan semua orang saat ini tertuju pada Biro yang berdiri kikuk sambil menunjuk wajahnya sendiri.
Pria di arena itu menggeleng sambil melambaikan tangan ke kanan. Menyadari bukan dirinya yang ditantang, Biro langsung menarik napas lega.
“Hufttt…” ia mengembuskan napas panjang, bahkan sampai bahunya turun ke bawah seperti karung beras yang dibebaskan dari pikulan.
Di sebelahnya, Anul tersenyum tipis. Dari matanya terlihat ada kilatan main-main, meski wajahnya tampak polos. Ia berbisik sesuatu pada Arum, lalu tanpa menunggu reaksi temannya, ia melompat ringan ke atas arena.
Sorak-sorai langsung menggelegar. Para penonton yang memenuhi tribun mulai berbisik-bisik. Ada yang bersorak mendukung Roma, ada pula yang ragu dengan pemuda polos bernama Anul itu.
Pria yang sebelumnya menunjuk, kini sudah berdiri di depan wasit yang tengah menuliskan sesuatu di selembar kertas. Anul menghampiri mereka dengan langkah santai, lalu berdiri menunggu.
“Nama?” tanya wasit singkat, suaranya datar, seperti sudah terlalu sering melakukan hal yang sama setiap hari.
“Anul,” jawabnya tenang.
Wasit mencatat nama kedua petarung. Kemudian ia melangkah ke tengah arena, mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, wajahnya mendongak ke langit.
“Pertarungan bela diri antara Roma melawan Anul dimulai!” suaranya menggelegar, bergema di seluruh arena, sebelum ia menjatuhkan tangan sebagai tanda resmi.
Sorakan penonton pecah lagi, kali ini lebih heboh.
Begitu aba-aba terdengar, Roma tidak membuang waktu. Dari tubuhnya memancar aura tipis berwarna merah, menyeruak dari pori-pori kulitnya.
“Tenaga dalam…” desis salah satu penonton di barisan depan.
“Lihat itu! Dia sudah bisa melepaskan aura,” sahut yang lain dengan nada penuh kagum.
Namun Anul hanya diam. Tanpa terburu-buru, ia membuka persepsi spiritualnya. Tubuhnya tampak tenang, sama sekali tanpa aura yang mencuat.
“Wooooaa…” penonton bersorak lebih keras, meski kebanyakan bingung—apakah itu tanda kehebatan, atau justru kelemahan?
Saat wasit berbalik meninggalkan arena, Roma menerjang cepat dengan tinjunya. Gerakannya deras seperti badai, penuh tenaga.
Namun Anul hanya mundur selangkah, serangan itu pun meleset. Seolah-olah ia sengaja menunggu momen itu, Anul mengangkat sedikit ujung kakinya dengan malas. Roma yang kehilangan keseimbangan langsung tersandung dan jatuh terguling.
Gelak tawa terdengar dari sudut-sudut arena. Sebagian menertawakan Roma, sebagian bingung apakah itu kebetulan atau trik.
Dari kursi penonton, Biro dan Arum hanya tersenyum kecil.
“Walaupun Roma sudah bisa menggunakan tenaga dalam, tapi levelnya masih di tingkat Pendekar Kuat,” gumam Biro.
“Benar. Kalau mau, Anul bahkan bisa mengalahkannya hanya dengan satu jari,” sahut Arum, matanya berbinar penuh kagum.
Di arena, Anul terlihat menghela napas lega seolah baru saja lolos dari maut. Roma yang bangkit kembali langsung melancarkan tendangan silang ke arah dada.
Namun tiba-tiba kaki Anul tersandung kakinya sendiri. Ia terjatuh dengan gaya kikuk, membuat tendangan itu meleset lagi.
Kali ini Roma tidak kehilangan kendali. Segera ia memutar arah tendangan, membidik tubuh Anul yang jatuh.
Sayangnya, ketika Anul berusaha bangkit, tubuhnya justru tergelincir karena keringatnya sendiri. Tanpa sengaja, bahunya menabrak kaki tumpuan Roma. Seketika serangan itu gagal, tubuh Roma limbung.
Anul pun berdiri lagi, seakan-akan lolos dari bahaya hanya karena kebetulan.
Roma terbelalak, wajahnya merah padam. Ia mulai yakin keberuntungan Anul terlalu tinggi untuk bisa diterima akal sehat.
Serangan demi serangan ia lancarkan—tinju, tendangan, sikut, tapak, dengkul. Ia bahkan menggunakan jurus-jurus kombinasi yang dia pelajari bertahun-tahun. Namun berkali-kali gagal. Anul selalu selamat karena hal-hal konyol dan tak terduga: terpeleset, bersin, menggaruk kepala di saat yang tepat, bahkan menjatuhkan ikat pinggangnya sehingga tubuhnya miring dan terhindar dari sapuan kaki Roma.
Sepuluh menit berlalu, Roma semakin frustasi. Urat-urat di pelipisnya menonjol, napasnya memburu. Penonton pun mulai kesal.
“Bisa-bisanya orang itu selamat terus!” teriak salah seorang penonton, sambil menginjak lantai tribun.
“Hahaha, Anul memang paling bisa bercanda,” seru Biro, bangga.
Orang-orang menoleh dengan jengkel ke arahnya, tapi Biro hanya mengangkat bahu sambil tertawa.
Roma masih belum menyerah. Ia melompat tinggi, tubuhnya berputar cepat bagaikan roda gerobak yang meluncur di jalan menurun. Tendangan vertikalnya diarahkan tepat ke kepala Anul, seolah ingin mengakhiri semuanya dalam satu gerakan.
Angin deras dari putaran itu membuat rambut Anul tergerai dan tubuhnya goyah. Ia mundur beberapa langkah—tepat sebelum tendangan mendarat.
Dumm!
Arena bergetar ketika kaki Roma menghantam lantai. Debu mengepul, menari-nari di udara. Serbuk halus itu masuk ke hidung Anul.
“Haachoooo!”
Bersin keras itu menggema, membuat kepalanya menghantam kepala Roma yang baru saja mendarat.
Bukk!
Roma langsung tergeletak tak berdaya. Matanya terbalik, tubuhnya lunglai.
Arena hening. Semua orang terdiam, mulut ternganga.
“Pemenangnya, Anul!” seru wasit dengan suara lantang.
Namun tidak ada sorakan kemenangan. Hanya keheningan yang aneh.
Anul berdiri di atas arena, menggaruk kepala dengan wajah bingung.
“Hehe, ternyata Anul benar-benar pintar. Aku akan jadi orang kaya,” gumam Arum di bangku penonton, tersenyum puas.
Sebelum pertandingan, Anul memaksa Arum memasang taruhan seluruh uang mereka—bahkan merampas kantong milik Biro. Totalnya: sembilan koin emas, tujuh puluh dua perak, dan dua ratus tembaga.
Dengan perbandingan satu banding seratus, kemenangan Anul membuat mereka kini memiliki sembilan ratus koin emas, tujuh ribu dua ratus koin perak, dan dua puluh ribu koin tembaga.
Mereka kaya raya!
Di bangku penonton, seseorang menggertakkan gigi. Wajahnya gusar, sorot matanya tajam. Ia tidak tertipu oleh keberuntungan Anul.
“Tendangan terakhir Roma… seharusnya tidak mungkin meleset…” pikirnya dengan geram.
Tangannya meremas sandaran kursi kayu di sebelahnya hingga hancur. Potongan kayu berjatuhan, membuat orang di sampingnya menyingkir ketakutan.
Ketika wasit mengumumkan kemenangan Anul, orang itu berdiri tegak. Tubuhnya tegap, auranya meledak kuat. Tanpa ragu, ia melompat ke arena sambil menggenggam pedang panjang.
Sorak sorai penonton mendadak pecah. Semua orang bangkit berdiri, berteriak heboh.
“Itu dia! Sang Raja Arena!”
“A Hong turun tangan!”
Nama itu menggema. A Hong, petarung tak terkalahkan, orang yang sudah menumbangkan puluhan pendekar dengan kekuatan brutalnya.
Tanpa basa-basi, ia berdiri di hadapan wasit. “Aku menantang Anul,” ucapnya datar, tapi auranya membuat bulu kuduk berdiri.
Anul yang sedari tadi berlagak kikuk tiba-tiba menyeringai licik. Senyum itu membuat wajahnya berubah seketika. Semua keluguan menguap, digantikan ekspresi yang membuat jantung Biro berdegup kencang.
Melihat senyum itu, bulu kuduk Biro meremang. Ia menelan ludah, lalu bergumam lirih, “Sepertinya ada yang bakal celaka…”
Setelah tubuh Roma dibawa turun, wasit kembali mengangkat tangan tinggi-tinggi.
“Pertandingan A Hong melawan Anul… dimulai!”
Sorak-sorai bergemuruh, bagai gelombang lautan.
Di tengah arena, dua sosok berdiri berhadapan.
Roma tadi hanyalah pemanasan. Sekarang, yang dihadapi Anul adalah raja sebenarnya.
Namun berbeda dari sebelumnya, kali ini Anul tidak lagi tampak kikuk. Tatapannya tajam, tubuhnya rileks, senyumnya licik.
Para penonton menahan napas. Sebuah perasaan aneh menguar. Mereka tahu, pertarungan ini tidak akan sama.