Sebelum ada bintang, sebelum Bumi terbentuk, dia sudah ada.
Makhluk abadi tanpa nama, yang telah hidup melewati kelahiran galaksi dan kehancuran peradaban. Setelah miliaran tahun mengembara di jagat raya, ia memilih menetap di satu tempat kecil bernama Bumi — hanya untuk mengamati makhluk fana berkembang… lalu punah… lalu berkembang lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak boleh disentuh
Hari itu menjadi salah satu hari paling sunyi namun paling menggetarkan sepanjang sejarah Universitas Beijing.
Setelah Mayor Luo Zhenshan — tokoh militer tingkat tinggi — datang dengan marah, namun malah memberi hormat dan meminta maaf pada seorang mahasiswa biasa, seluruh kampus berubah tegang.
Bahkan para dosen pun tak sanggup mengabaikan kejadian ini.
---
Ruang Rapat Rektorat
Di dalam ruang berpanel kayu di lantai tertinggi gedung administrasi, para petinggi universitas berkumpul. Rektor, dekan fakultas, kepala bagian keamanan, hingga staf akademik penting duduk dalam diam.
Peta kecil kampus tergelar di layar. Cuplikan CCTV dari taman belakang diputar ulang — detik saat Luo Zhenshan berdiri dan memberi hormat ke arah Alex Chu.
“Mahasiswa itu... siapa identitasnya?”
“Itu... hanya ada nama dan foto... tidak ada data keluarga... tidak ada alamat rumah...”
> “Mustahil. Seseorang seperti dia... bukan orang biasa.”
Rektor, pria setengah baya dengan rambut setengah putih, menutup laptopnya dengan berat.
> “Dari detik ini, Alex Chu tidak boleh diganggu. Jika ada dosen atau staf yang membuatnya tidak nyaman — kalian tanggung sendiri.”
Semua langsung mengangguk.
---
Di Fakultas Ekonomi
Kelas yang biasanya ramai kini sepi. Bahkan dosen yang mengajar Alex pagi itu mendadak gugup saat masuk kelas.
Matanya melirik sekilas ke arah kursi pojok belakang, tempat di mana Alex duduk dengan tenang, membaca catatan seperti biasa.
> Dia terlihat seperti mahasiswa biasa... tapi bagaimana mungkin seorang jenderal memberi hormat padanya?
Tak ada yang berani menyapanya. Bahkan mahasiswa populer seperti Sun Kai atau murid aktif lainnya menunduk jika berpapasan.
---
Di Gerbang Kantin Kampus
Su Ziyan berdiri di tepi taman, menatap ke arah pohon tempat Alex berdiri beberapa waktu lalu.
Gadis itu menggigit bibirnya pelan. Jantungnya masih belum tenang sejak menyaksikan semua dengan mata kepalanya sendiri.
> Alex Chu... siapa kau sebenarnya...?
Ia mengingat saat pertama bertemu Alex: pemuda yang tenang, jarang bicara, dan tak peduli pada siapa pun.
Dulu dia mengira Alex hanya menyendiri karena sifat cuek. Tapi sekarang — semua berubah.
> “Mayjen Luo memberi hormat padanya... dan bahkan meminta maaf...”
“Itu bukan orang sembarangan... dan semua orang tahu itu.”
Su Ziyan mulai merasa... ingin tahu lebih banyak.
---
Di Rumah Sakit Militer Beijing
Luo Yifan masih terbaring dengan perban melilit lengan dan bahunya. Luka dalam akibat pukulan ringan dari Alex Chu membuatnya merasakan nyeri yang tak pernah ia rasakan bahkan selama latihan di klub karate.
Namun rasa sakit itu tak seberapa dibandingkan tatapan mata kakaknya, Luo Zhenshan — seorang Mayor Jenderal aktif, yang kini berdiri di ujung ranjang rumah sakit, wajahnya dingin, penuh amarah terpendam.
> “Kau benar-benar bodoh, Yifan.”
Nada suaranya rendah. Tapi tekanan dari suaranya membuat ruangan terasa menyesakkan.
Yifan menunduk, berusaha menahan rasa malu.
> “Kau pikir hanya karena kau juara karate kampus, kau bisa bertindak semaumu?”
“Kau pikir dunia ini milikmu?”
“Kau bahkan... berani menyerang dia.”
Yifan mengangkat kepala pelan. “Kak... siapa dia sebenarnya? Kenapa semua orang jadi takut?”
Luo Zhenshan terdiam beberapa detik. Lalu dengan suara sangat pelan, ia berkata:
> “Orang yang kau pukul itu... pernah menyelesaikan operasi pembersihan skala tinggi seorang diri, di wilayah yang bahkan pasukan elit NATO pun tak berani menyentuhnya.”
“Tiga hari lalu, dia baru saja menyelesaikan misi rahasia di luar negeri... membasmi satu keluarga kejahatan kelas internasional tanpa bantuan satu pun tentara.”
“Dan sekarang dia... menjalani hidup sebagai mahasiswa biasa.”
Yifan membelalak. “Itu... tidak masuk akal. Dia terlihat sangat biasa... seperti kita...”
> “Itulah yang membuatnya lebih mengerikan,” potong Luo Zhenshan cepat. “Dia... Dewa Kematian. Nama yang hanya dibisikkan dalam misi-misi tingkat rahasia.”
Ia mendekat, menatap adiknya dengan tatapan menekan.
> “Kau harus minta maaf. Segera.”
“Kalau tidak, bukan hanya kau — tapi seluruh keluarga kita bisa terkena imbasnya.”
“Orang-orang yang kau lihat tersenyum padanya sekarang, bukan karena mereka baik — tapi karena mereka takut. Sangat takut.”
Yifan terdiam. Tangan kirinya gemetar. Semua kesombongan yang dulu ia punya—hancur seketika.
> “Kak... aku... aku tak tahu...”
“Tentu saja tidak!” bentak Zhenshan. “Karena semua tentang dia dikaburkan dengan sengaja. Bahkan aku baru yakin setelah melihat wajahnya dari dekat.”
Zhenshan menarik napas dalam. Suaranya melunak sedikit, namun tetap penuh tekanan.
> “Kau tidak hanya memalukan keluarga ini. Kau nyaris membuat kita semua... punah.”
Luo Yifan menelan ludah. Jiwanya seperti ditekan oleh gunung.
> “Aku... aku akan minta maaf...”
> “Bukan hanya minta maaf. Kau harus sujud di depannya dan terima semua hukuman yang ia beri. Kalau dia tidak membalas, kau harus bersyukur.”
Zhenshan berdiri, menatap luar jendela rumah sakit. Langit senja menggantung di kejauhan. Di benaknya, wajah Alex Chu masih terbayang.
> Dia... bukan orang yang bisa dimengerti oleh manusia biasa.