Yujin hanya ingin keluarga utuh dengan suami yang tidak selingkuh dengan iparnya sendiri.
Jisung hanya ingin mempertahankan putrinya dan melepas istri yang tega berkhianat dengan kakak kandungnya sendiri.
Yumin hanya ingin melindungi mama dan adiknya dari luka yang ditorehkan oleh sang papa dan tante.
Yewon hanya ingin menjalani kehidupan kecil tanpa harus dibayangi pengkhianatan mamanya dengan sang paman.
______
Ketika keluarga besar Kim dihancurkan oleh nafsu semata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caca Lavender, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siksaan
‼️Incest‼️
Hujan gerimis mulai turun saat Minho berlari menerobos lorong sekolah. Nafasnya terengah saat ia tiba di depan ruang guru. Tanpa mengetuk, ia membuka pintu dan berteriak ke arah wali kelasnya, “Pak! Tuan Kim Jihoon membawa paksa Sumin!”
Semua mata menoleh. Wali kelasnya langsung berdiri dengan wajah berubah tegang, “apa maksudmu?”
“Tuan Kim Jihoon menarik Sumin keluar sekolah dengan paksa! Sepertinya Sumin diancam. Saya tidak bisa menghentikannya. Tolong pak!” panik Minho.
Kepala sekolah yang mendengar keributan segera keluar dari ruangannya. Dalam hitungan menit, pihak sekolah sudah menghubungi polisi, dan dua panggilan dikirim ke Yujin serta Jisung.
Yujin nyaris pingsan saat mendengar kabar itu. Ia langsung meninggalkan ruang rapat di RHEA tanpa pamit. Jisung yang saat itu baru selesai dari rapat di kantor firma hukumnya langsung menjemput Yujin, lalu melajukan mobilnya ke arah sekolah secepat yang ia bisa.
Di ruang kepala sekolah, suasana menegang. Petugas kepolisian sudah datang dan mulai mengakses sistem pelacakan GPS. Tapi laporan dari sistem menunjukkan lokasi terakhir ponsel Jihoon sudah tidak aktif. GPS mati. Sedangkan ponsel Sumin tertinggal di dalam kelas.
“Dia mematikan GPS,” gumam Jisung dengan rahang mengeras, “bajingan itu sudah kelewat batas.”
Yujin menggenggam tangan Jisung erat-erat dan menangis keras, “Sumin … putriku, Jisung. Dimana putriku?”
Jisung memeluk erat Yujin yang panik dan linglung karena Sumin diculik oleh Kim Jihoon.
Beberapa saat kemudian, beberapa polisi yang bertugas memeriksa rumah Jihoon dan Hana datang, “rumah itu kosong. Kim Jihoon dan Seo Hana tidak ada di sana.”
Tubuh Yujin semakin lemas. Kalau tidak dipeluk Jisung, mungkin ia sudah tersungkur ke lantai.
“Tidak. Mereka membawa anakku,” ucap Yujin dengan napas tercekat dan suara lirih, “mereka membawa anakku, Jisung.”
Pikiran Jisung juga semakin kalut. Ia meminta polisi untuk mengirimkan beberapa orang untuk menjaga Yewon dan Sunghan di sekolah mereka. Sementara mereka di sini akan berusaha mencari keberadaan Sumin.
...----------------...
Sementara itu, di sebuah bangunan tua di pinggir kota, sebuah mobil berhenti di depan gudang semen bekas. Dinding luarnya ditumbuhi lumut dan plang rusak tergantung miring. Di dalamnya, lampu kuning menggantung dari langit-langit yang retak.
Sumin terbangun dalam keadaan duduk di lantai kotor dan lembab. Tangannya diikat ke belakang. Mulutnya disumpal kain, pipinya terasa nyeri, dan bagian belakang kepalanya berdenyut karena sempat dibenturkan saat di dalam mobil tadi.
Pintu berderit terbuka. Hana masuk pertama dengan segelas air dan tisu. Di belakangnya, Jihoon berjalan lambat sambil menghisap rokok.
“Dia sudah sadar,” kata Hana.
Jihoon mendekat dan melepaskan sumpal kain dari mulut Sumin, “sudah siap menjadi anak baik?”
Sumin meludah ke arah Jihoon. Air liurnya mengenai kerah jas pria itu. Jihoon mendengus lalu menampar wajahnya keras hingga tubuhnya terjatuh berbaring di lantai.
“Dasar gadis pembangkang!” bentak Jihoon.
Hana menghela napas, lalu mendekat untuk menenangkan Jihoon, “sudah, jangan terlalu kasar. Dia masih remaja.”
“Tutup mulutmu, Hana. Kamu yang bilang ingin dia tunduk pada kita. Biar aku yang urus,” balas Jihoon dingin.
Sumin terisak, campuran antara rasa takut dan jijik, “apa kalian sadar kalau kalian sudah gila?”
“Kami sadar betul, Sumin,” ucap Hana dengan nada prihatin, “tapi kami hanya ingin keluarga kami utuh kenbali.”
“Keluarga?” Sumin tertawa getir, “kalian bahkan bukan suami istri yang sah. Dan kalian sudah menghancurkan dua keluarga untuk bersama! Keluarga mana yang kalian maksud, hah?!”
Jihoon berjongkok dan menjambak rambut Sumin membuat gadis itu oleng, “kalau kamu terus melawan, kamu akan menyesal. Kami akan memakaimu untuk mendapatkan Sunghan dan Yewon. Menurut saja, kalau tidak mau mendapat hukuman lebih dari ini.”
Sumin berdecih, “memangnya apa yang akan kalian lakukan, hah? Kalian pikir dengan menculikku akan membuat segalanya mudah untuk kalian. Tidak mungkin. Kalian justru menggali lubang untuk kuburan kalian sendiri.”
Hana ikut menatap Sumin sedikit iba. Hanya sedikit, karena selebihnya adalah tatapan kejam, “mungkin cara kami cukup ekstrem. Tapi kami yakin, Yujin pasti mau menyerahkan Sunghan dan Yewon kalau hak asuh mereka ditukar dengan nyawamu.”
Sumin menatap Hana dengan tatapan tidak percaya, lalu tatapannya beralih pada Jihoon yang juga menatapnya datar, “papa…”
Jihoon tersenyum miring, lalu mengusap pucuk kepala Sumin yang masih terbaring, “pintar sekali putriku sayang, memanggil papa dengan sopan.”
Sumin menggeleng pelan, “papa akan membunuhku?”
Senyum Jihoon langsung terganti dengan wajah datar. Pria itu tidak langsung menjawab, tapi gerakan tangannya masih tetap mengusap kepala Sumin.
“Papa ingin keluarga sempurna dengan wanita yang papa cintai dan anak-anak papa,” ujar Jihoon dengan nada tegas dan dingin.
“Sadar, Pa!” teriak Sumin dengan air mata yang mengalir semakin deras, “aku juga anak papa!”
Jihoon mengusap pelan air mata yang mengalir di pipi Sumin.
“Hana, keluar dari ruangan ini,” ucap Jihoon tanpa mengalihkan pandangan dari Sumin.
“Jihoon,” panggil Hana sembari menyentuh lengan Jihoon khawatir, “jangan lupa dengan tujuan kita melakukan semua ini.”
“Aku tidak lupa. Aku hanya ingin waktu berdua dengan anakku,” balas Jihoon tegas.
Hana melihat wajah Sumin sekali lagi sebelum keluar dari ruangan itu. Hana juga menutup pintu untuk memberikan mereka berdua privasi. Keheningan mengisi ruangan sesaat. Jihoon duduk di hadapan Sumin yang masih berbaring, menatap wajah putrinya yang penuh luka.
“Kamu tahu, Minnie. Saat kamu lahir, papa selalu membanggakan kamu kemanapun papa pergi. Papa menunjukkan fotomu ke semua orang. Papa bilang kalau putri papa akan menjadi orang hebat.’”
Sumin menggertakkan gigi, “kalau kamu bangga padaku, kenapa kamu tega melukaiku?”
Jihoon tersenyum miris, “karena kamu semakin mirip ibumu setiap hari. Keras kepala. Pembangkang. Kuat.”
Ia mendekat, lalu mengusap pelan lutut Sumin, “tapi kita masih bisa kembali seperti dulu lagi. Kamu hanya perlu mengikuti papa. Kita akan jadi keluarga yang utuh lagi.”
Sumin menggeleng mantap, “keluarga yang kamu maksud bukan keluargaku.”
Jihoon menatap tajam, lalu tatapannya kembali melembut. Tangannya menarik tubuh Sumin agar bangun, lalu mengangkat tubuh Sumin yang terikat agar duduk di pangkuannya. Ia membelai rambut Sumin dengan tekanan yang tidak wajar, seperti antara kasih sayang dan dominasi.
“Kamu tidak mengerti, Sayang. Papa sangat menyayangi kamu. Papa mencintai kamu. Kamu akan selalu aman bersama papa,” ucap Jihoon dengan lembut tapi justru terdengar menusuk di telinga Sumin.
“Tidak,” jawab Sumin tegas sambil menggeliat supaya lepas dari pengkuan Jihoon, “papa tidak akan menyakitiku. Kamu bukan papaku.”
Jihoon menegang. Hatinya berdenyut nyeri saat Sumin mengatakan hal itu. Tapi Jihoon sudah dibutakan oleh emosi dan hasrat yang tidak wajar hingga belas kasihan pada anaknya sendiri tertutup.
“Papa masih tetap papamu, Sayang,” bisik Jihoon sambil mulai mengendus leher Sumin.
Tubuh Sumin menegang merasakan nafas panas papa kandungnya sendiri di lehernya.
“Apa yang kamu lakukan?” cicit Sumin dengan tubuh yang masih menegang.
“Papa tidak bohong saat papa bilang papa mencintaimu,” ucap Jihoon dengan suara rendah.
Jihoon semakin menenggelamkan wajah ke ceruk leher Sumin. Ia menghirup dalam-dalam aroma manis familiar yang menguar dari tubuh anaknya. Jihoon baru sadar kalau ia sangat merindukan aroma familiar itu. Aroma yang mengingatkannya pada rumah dan kehidupan hangatnya dahulu.
“Papa, hentikan,” rintih Sumin yang semakin menangis karena merasa jijik dengan semua ini.
“Bagus, Sayang. Panggil ‘papa’,” gumam Jihoon sambil menjilat panjang leher depan Sumin hingga ke dagu.
Sumin menggigit bibir bawahnya dengan keras untuk menahan desahan sakit yang dipaksa meluncur keluar.
Jihoon hendak melakukan sesuatu lebih jauh. Tapi pintu berderit terbuka kembali.
“Jihoon,” panggil Hana yang berdiri di ambang pintu.
Jihoon langsung membuka mata dan menurunkan Sumin dari pangkuan. Sumin masih syok dan membeku akan perbuatan Jihoon. Jihoon hanya melempar senyum simpul, sebelum berjalan keluar menghampiri Hana.
...🥀🥀🥀🥀🥀...