Kalian pernah nggak sih suka sama sahabat kalian? Yah kali ini aku sadar kalau aku suka sama sahabat dari kecil ku. Dari umur 3 tahun hingga sekarang aku umur 23 tahun baru sadar kalau aku suka bahkan cinta sama dia. Namun bagaimana mungkin aku menyatakan perasaan ini? Kami itu sahabatan. Bagaimana aku menaruh hati dengannya/ bahkan dia juga sudah punya pacar. Pacar yang selalu dia bangga-banggakan. Aku bingung bagaimana harus mengungkapkannya!
Hai namaku Dion! Umur ku saat ini 23 tahun, aku baru saja lulus kuliah. Aku suka banget dengan kedisiplinan namun aku mendapatkan sahabat yang selalu lalai terhadap waktu dan bahkan tugasnya. Bagaimana cerita kami? Lest go
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayinos SIANIPAR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 17
Dion pun memilih jalan untuk menuju rumahnya. Ya, Dion sangat menikmati perjalanannya sore itu. Rasanya sudah lama ia tidak berjalan-jalan sore seperti ini, menikmati angin yang berhembus dan suasana yang tenang. Setelah menelusuri jalan hingga beberapa puluh menit, akhirnya Dion sampai di rumahnya. Dengan kunci di tangan, Dion membuka pintu rumahnya. Ya, sesuai prediksinya, Voni dengan kaus putih kebesaran di badannya dan celana jin pendeknya sedang duduk di atas sofa ruang tamu milik Dion. Melihat hal itu, Dion menghela napasnya dengan berat. Ia sangat malas hari ini untuk diinterogasi oleh Voni, dan salah satu hal yang tidak bisa Dion hindari adalah berbohong kepada Voni.
“Ih, kamu habis joging, ya? Mengapa tidak mengajakku, Dion?” tanyanya merengut menatap Dion. "Hah? Mengajak dia? Untuk joging? Memangnya dia mau? Bukannya dia itu supermalas?" batin Dion heran.
“Jangankan mengajak joging, mengajakmu untuk makan saja kamu enggan, harus aku yang menyediakan, aku yang menyuapi. Mungkin kalau bisa, sekalian saja aku yang mengunyah, tapi kamu yang kenyang,” ujarnya kepada Voni. Ya, memang gadis itu semalas itu. Voni tersenyum lebar menatap Dion. Ia tidak bisa mengelak lagi, karena apa yang dikatakan Dion itu sangat benar.
Dion berjalan menuju kamarnya untuk mengambil handuk dan mandi. Voni mengikutinya dari belakang dan duduk di kasur milik Dion sembari memegang boneka berwajah Voni. Ya, itu adalah pemberian Voni saat Dion berulang tahun. Alasannya agar Dion tidak pernah lupa kepada Voni, baik dalam doa, tidur, dan lainnya. Memang Voni luar biasa unik. Sembari menunggu Dion mandi, Voni merebahkan badannya di kasur Dion dan memeluk boneka itu. Voni mencium aroma Dion yang menempel di kasur dan di boneka miliknya. Ya, aroma parfum itu juga Voni yang memilihkannya untuk Dion.
Dulu Dion memang tidak suka parfum, namun adik Dion selalu mengoloknya karena hanya berbau sabun. Dion memang tidak berbau tidak sedap, hanya saja adiknya tidak suka dengan aroma sabun Dion. Karena kesal melihat ocehan adiknya setiap hari, akhirnya Dion mengajak Voni untuk membeli parfum. Voni akhirnya memilihkan parfum Tom Ford Tobacco Vanille untuk Dion. Parfum ini juga mengingatkan Voni pada seseorang yang pernah mengukir hari-harinya, dan tentunya itu bukan Varo.
Akhirnya Dion keluar dari kamar mandinya dengan setelan kaus hitam yang pas di badannya dan celana kargo pendek miliknya. Dia mengusap kepalanya dengan handuk dan menatap Voni.
“Kamu ada apa di sini?” tanya Dion langsung pada intinya. Voni menatap ke arah Dion dan mulai duduk kembali dengan tegak.
“Ehm, aku malas bertanya, kamu saja yang mau cerita apa,” ujar Voni kepada Dion. Ya, seperti biasanya Dion akan menceritakan kegiatannya seharian dan Voni akan mendengarkannya. Padahal biasanya perempuan yang suka berbicara, tetapi ini malah kebalikannya.
“Ya, kalau di sekolah tentunya kamu kan sudah tahu, jadi sebenarnya pas pulang sekolah itu aku tidak hanya joging saja, sih,” ujar Dion yang ingin memberitahu Voni mengenai hubungannya dengan Reta. Namun, baru saja Dion memberi jeda dalam ucapannya, Voni langsung berbicara.
“Ih, pasti kamu makan bakso Mang Candra, kan? Mengapa tidak mengajakku, sih?” ujar Voni menebak. Dion menggelengkan kepalanya untuk menjawab ucapan Voni. Voni melihat reaksi Dion malah jadi bingung dan mengerutkan keningnya.
“Aku ke tempat Reta, sesuai yang aku bilang kami akan selalu belajar bersama, ta–” Belum selesai berbicara, Voni langsung menyela ucapan Dion.
“Loh, kan kamu bilang kalau libur semester, ya tetap libur. Kan sudah ambil rapor, Dion,” ujarnya kepada Dion dengan sangat ketus. Dion rasanya gemas melihat sahabatnya itu kalau mengomel. Dion mendekatkan wajahnya ke arah Voni dan berkata, “Kalau orang berbicara jangan disela, ya, dasar!” ujarnya pelan di hadapan Voni. Voni terdiam kaku beberapa saat. Dion menjauhkan wajahnya dari wajah Voni, dan mengusap kepala Voni dengan penuh tenaga sehingga rambut Voni kini berantakan.
“Ya sudah, lanjut omongan kamu,” ujar Voni setelah tersadar dari kekakuannya. Dion menatap Voni sambil tersenyum geli.
“Capek, ih, berdiri,” ujar Dion dan mengambil bangku yang biasa ia pakai untuk belajar dan meletakkannya di hadapan Voni.
“Tapi kan hari ini sudah bagi rapor, seharusnya tidak ke sana lagi, kan? Seperti pertanyaanmu tadi, iya benar. Hanya saja tadi aku dengar Reta sakit, jadi aku menjenguknya,” ujar Dion menjelaskan. Voni berpikir sejenak. Sejak kapan Dion peduli kepada perempuan selain dirinya dan keluarganya? Voni menatap Dion dan memegang kening milik Dion.
“Kamu kerasukan apa, Dion? Kamu biasanya tidak peduli sama perempuan selain aku dan keluarga kamu,” ujar Voni sembari memeriksa suhu badan Dion. Dion menepiskan tangan Voni dan mendorong gadis itu pelan agar duduk seperti semula.
“Nah, aku juga bingung, Von. Aku jadi berpikir, apa mungkin ini yang disebut jatuh cinta? Sebelumnya kami juga pernah curhat, dan kami pernah… Ah, tidak jadi, deh,” ujar Dion yang menggantungkan pembicaraannya. Voni mengerutkan alisnya dan matanya menatap tajam kepada Dion, gadis itu seakan-akan ingin memakannya. Raut wajah mengintimidasi Voni keluar lagi akhirnya. Dion malas menceritakan masalah keluarganya, jadi dia rasa dia tidak usah mengatakan kalau dia dan Reta pernah menangis bersama. Dia malas kalau Voni bertanya, “Kenapa kamu menangis?”
Berbeda dengan isi otak Voni yang sudah mesum, dia berpikir bahwa bibir Dion sudah tidak suci lagi, begitu juga bibir Reta.
“Ya ampun, Dion, kamu cerita saja kali. Kalau masalah ciuman bibir ke bibir, itu sudah biasa. Teman SMA kita juga banyak kok aku lihat,” ujar Voni mengatakan hasil pikirannya yang mesum itu. Dion terbelalak mendengar ucapan Voni tadi.
“Gila, ya, Von! Aku tidak pernah cium bibir anak orang! Dan jangan bilang kamu sama Varo sudah pernah melakukan hal itu?” tanya Dion memastikan sahabatnya itu. Sahabatnya itu tersenyum.
“Sebenarnya alasan aku dan Varo putus, yaitu Varo awalnya minta cium pipi kiri terus aku kasih, eh dia malah mau mencium bibir sambil mendekatkan tubuhnya ke tubuhku. Karena emosi, aku tonjok pipinya terus aku tendang,” ujar Voni menjawab. Dion menggeleng-gelengkan kepalanya menunjukkan ekspresi takjub. Voni tersipu malu setelah menceritakannya.
“Gila, kamu keren juga, Von. Kamu bisa melawan dia,” ujar Dion takjub.
“Iya dong, coba kalau aku turuti, pasti aku sudah diraba-raba sama manusia sialan itu,” ujar Voni kesal. Sebenarnya Dion juga sudah punya firasat buruk terhadap pria itu. Dion berencana untuk memberi pelajaran kepada pria sialan itu saat libur telah usai.
“Eh, kamu jangan mengabaikan pembicaraanku yang tadi. Kamu habis mengapakan Reta?” tanya Voni mengintimidasi. Dion malas menjelaskan bagian hal itu, maka pria itu langsung pada intinya kepada Voni. “Aku sama Reta sudah pacaran, Von,” ujarnya tersipu malu, sedangkan wajah Voni seolah-olah habis dikejutkan dengan suara yang sangat nyaring di telinganya.