Pengkhianatan itu bukan datang dari musuh, tapi dari orang yang paling dia percaya.
Vilya Ariestha Elora — dihancurkan secara perlahan oleh pacarnya sendiri, dan sahabat yang selama ini ia anggap rumah. Luka-luka itu bukan sekadar fisik, tapi juga jiwa yang dipaksa hancur dalam diam.
Saat kematian nyaris menjemputnya, Vilya menyeret ke duanya untuk ikut bersamanya.
Di saat semua orang tidak peduli padanya, ada satu sosok yang tak pernah ia lupakan—pria asing yang sempat menyelamatkannya, tapi menghilang begitu saja.
Saat takdir memberinya kesempatan kedua, Vilya tahu… ia tak boleh kehilangan siapa pun lagi.
Terutama dia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flowy_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Eline?
Kali ini dia benar-benar rugi besar.
Clarine mengerutkan keningnya. Tamu yang barusan ia layani cuma belanja sekitar empat sampai enam juta rupiah. Jumlah itu bahkan tidak ada setengahnya dari total belanja gadis tadi. Sial... hari ini dia benar-benar buntung.
Memikirkan hal itu, Clarine melirik Karina dari atas ke bawah. Senyum tipis di wajah perempuan itu terasa seperti sindiran yang menusuk.
......................
Sementara itu, Vilya keluar dari area kosmetik dengan langkah tenang. Ia mulai merasa lapar, jadi memutuskan mencari tempat untuk makan siang.
Saat tiba di depan lift, pandangannya tertuju pada seorang gadis yang juga sedang menunggu di sana. Usianya terlihat sebaya dengannya, dia mengenakan gaun berwarna putih, rambutnya di kuncir tinggi, dan ransel mungil tergantung di punggungnya. Wajahnya manis dan tampak ceria.
Namun ada sesuatu yang tidak beres.
Di belakang gadis itu, ada seorang pria paruh baya berpakaian santai, matanya tak lepas dari ransel yang dibawa si gadis.
Tubuhnya sedikit membungkuk, seolah tengah mengincar sesuatu. Ketika si gadis sibuk merapikan rambut, pria itu mulai bergerak pelan, mencoba menjangkau tas di punggungnya.
"Eline!" serunya tanpa sadar, nama itu terlontar begitu saja dari bibirnya.
Gadis yang dipanggil menoleh kaget. Pria di belakangnya pun spontan menarik tangannya menjauh, lalu menatap tajam ke arah si pemanggil. Eline yang menyadari situasinya, tanpa ragu langsung memeluk tasnya ke depan.
Pria itu mendengus kesal, lalu segera melangkah pergi sambil mengumpat gadis itu.
Gadis itu hanya tersenyum tipis, dan yang menerima senyum itu membalas dengan anggukan ringan. Tak ada percakapan, hanya keheningan yang perlahan menyusup di antara mereka.
Sesaat sebelum lift tiba, Ia merapikan rambutnya pelan, sementara tatapannya sekilas mencuri pandang ke arah gadis yang berdiri tak jauh darinya. Ada sesuatu yang tak terucap, seolah ada pertanyaan yang tertahan di balik mata yang tak berani menatap langsung.
Begitu lift tiba, keduanya melangkah masuk. Ia menekan tombol menuju lantai lima, sementara suasana di dalam lift terasa hening. Hanya mereka berdua. Gadis di sebelahnya menunduk, menatap ujung sepatu seolah sedang menimbang sesuatu.
Saat pintu lift terbuka dan ia bersiap melangkah keluar, suara lembut terdengar dari belakang. "Halo... tunggu sebentar."
Ia langsung berhenti saat mendengar suara gadis itu memanggilnya dari belakang. Perlahan ia menoleh, "ada apa?"
Gadis itu tersenyum kecil. "Sebagai tanda terima kasih... aku traktir makan siang, ya." Ucap gadis itu tulus, sorot matanya jernih dan bersungguh-sungguh. "Kalau tadi kamu nggak memanggilku, biaya hidupku untuk sebulan mungkin sudah lenyap."
Ia mengangguk kecil. "Baiklah."
Tak ada alasan untuk menolak. Lagi pula, sebentar lagi mereka akan menjadi teman sekelas.
Sekadar makan siang bersama bukan hal besar.
Gadis itu tersenyum lega, lalu ia mengeluarkan ponselnya dan memesan satu set makanan ganda. Setelah itu, mereka menuju restoran, menyebutkan nomor pesanan, dan duduk di bawah arahan pelayan.
Tak lama kemudian, dua cangkir oatmeal hangat diletakkan di meja. Gadis itu menoleh dengan tatapan penasaran.
"Ngomong-ngomong... kamu tadi sempat memanggil namaku. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Ia mengambil cangkir teh dan menyesapnya perlahan. Sebuah senyum ringan muncul di wajahnya lalu berkata, "Kamu kan siswa terbaik di ujian akhir SMP tingkat kota tahun ini, kan? Aku juga baru menyelesaikan ujian yang sama. Jadi wajar saja kalau aku mengenalmu."
"Oh begitu," Eline mengangguk sambil tersenyum. "Kamu daftar ke sekolah mana?"
"Aku keterima di Arvione High," jawabnya tenang.
Eline sontak mengangkat wajahnya. "Serius? Aku juga daftar di sana."
"Kalau nanti kita benar-benar menjadi teman sekelas, rasanya itu bukan sekadar kebetulan," ucap Eline sambil tertawa ringan.
Setelah berbincang cukup lama, keduanya mulai saling mengenal dan menyadari banyak kesamaan. Usai makan siang, mereka memutuskan menonton film bersama. Sebelum berpisah, keduanya sempat bertukar nomor telepon dan saling melambaikan tangan dengan senyum hangat.
Ia menatap punggung Eline yang perlahan menghilang di antara keramaian, dan senyum di wajahnya ikut memudar. Dalam diam, pikirannya mulai kembali pada kenangan yang lama terkubur.
Eline… gadis yang cerdas, tenang, dan rendah hati. Ayahnya kepala sekolah Arvione High, tapi tak sekalipun ia pernah membanggakan nama besar keluarganya. Ia tumbuh menjadi sosok yang hangat dan sederhana.
Di kehidupan sebelumnya, Eline juga ada. Dan pada akhirnya... ia juga pergi.
Ia masih mengingat suasana hari itu dengan jelas. Langit tampak suram, seolah menahan tangis sejak pagi. dan suara doa yang dibacakan dengan lirih. Ia berdiri di sana, menyaksikan kepergian seseorang yang bahkan tidak sempat ia kenal lebih dalam.
Gadis sebaik itu... sungguh disayangkan. Dunia terlalu terburu-buru mengambilnya.