“SANDRAWI!”
Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.
Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.
Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kinasih Tau
Setelah bukti keterlibatan Bagantara dan Saras terkumpul di tangannya, Renaya melajukan motornya pulang dengan kecepatan stabil. Namun ketika sampai di pertigaan menuju rumah, langkahnya seolah tertahan oleh dorongan hati yang tak bisa diabaikan. Ia membelokkan kemudi ke arah lain, menuju kediaman Kinasih.
Ada sesuatu yang harus ia pastikan, apakah Kinasih, kakak tertuanya, mengetahui kelakuan Bagantara selama ini atau tidak. Meski hubungan mereka sering diwarnai cekcok kecil, Renaya memahami betul bagaimana besarnya kasih sayang Kinasih terhadap ibu mereka, Ratih. Mustahil rasanya Kinasih mengetahui semua kebusukan suaminya dan hanya berdiam diri.
Alasan lain yang mendorong langkah Renaya adalah hasrat untuk mengadukan kebusukan Bagantara pada sang kakak. Renaya ingin Kinasih tahu betapa busuknya pria yang selama ini tidur di sampingnya.
Sepeda motor diparkirkan di halaman rumah megah dua lantai milik Kinasih. Suasana tampak sepi. Renaya langsung menekan bel di samping pintu. Tak lama, terdengar langkah tergesa dari dalam rumah, lalu muncullah Kinasih dengan wajah kaget melihat siapa tamunya.
“Kamu toh, ada apa?” tanya Kinasih ketus, nada suaranya tajam tanpa basa-basi.
Tanpa permisi, Renaya melenggang masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Kinasih mendengus kesal, merasa kedatangannya mengganggu pagi yang seharusnya tenang.
“Percuma Ibu ngajarin kamu sopan santun kalau nggak pernah dipakai,” sindir Kinasih tajam. “Cepat ngomong, aku sibuk, nggak bisa diganggu lama-lama.”
“Mendingan duduk, Mbak. Aku nggak mau ngomong sambil berdiri.”
Kinasih menghela napas panjang, malas, namun tetap menuruti. Ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa seberang Renaya. “Cepat, aku banyak kerjaan.”
Renaya tanpa banyak bicara merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan ponsel. Ia membuka galeri, lalu mengarahkan layar ponsel ke hadapan Kinasih. “Lihat ini.”
Kinasih menyipitkan mata, mengamati layar yang menampilkan potret dua orang—lelaki dan perempuan yang berdiri di pelataran apotek. Dahinya langsung berkerut, matanya fokus pada sosok lelaki yang tak asing baginya.
“Ini foto apa? Kenapa kamu diam-diam motret Mas Bagantara?” tanya Kinasih, jelas kebingungan.
Renaya menyandarkan punggung, sorot matanya tak bergeser sedikit pun. “Mbak tahu siapa perempuan yang lagi bareng Mas Bas itu?”
Kinasih kembali meneliti foto tersebut. Perempuan itu memakai helm, sebagian wajahnya tertutup, namun gestur tubuhnya seolah memanggil kenangan samar. Meski begitu, Kinasih menggeleng.
“Nggak tahu. Emang siapa? Terus maksudmu apa?”
“Itu Saras,” jawab Renaya pelan, namun cukup untuk membuat Kinasih terbelalak, nyaris tak percaya.
“Apa?! Saras?!” Kinasih nyaris berteriak. Matanya kembali melirik foto, dan perlahan bibirnya menganga. Benar, gestur perempuan itu sangat mirip dengan Saras.
“Ngapain dia ketemu suamiku?!”
“Nah, itu yang mau aku bicarakan, Mbak,” ujar Renaya mantap.
“Tunggu, jangan-jangan…” suara Kinasih bergetar, dadanya menegang, “...jangan bilang mereka… selingkuh?” nada horornya terdengar Lirih.
Renaya menggeleng pelan, tajam. “Mereka lebih jahat dari sekadar selingkuh, Mbak.”
“Maksudmu apa, Ren? Bicara jangan setengah-setengah begitu,” desak Kinasih, nadanya terdengar geram. Rasa penasarannya semakin memuncak melihat ekspresi Renaya yang tampak berat mengeluarkan isi pikirannya.
Renaya menarik napas panjang, mencoba merangkai kata sebaik mungkin sebelum meluncurkannya. Sementara Kinasih menatapnya dengan raut wajah penuh ketegangan, menunggu penjelasan sang adik.
Dengan gerakan frustrasi, Renaya mengacak-acak rambutnya. “Aku sendiri nggak tahu harus mulai dari mana, Mbak. Yang jelas, Mas Bagantara dan Saras—mereka sekongkol, mereka rencanain sesuatu buat Ibu.”
Kerutan di dahi Kinasih semakin dalam. “Sekongkol? Maksud kamu gimana?”
Maka mengalirlah seluruh cerita dari mulut Renaya, tentang kapsul hijau misterius yang selama ini diberikan Saras kepada Ratih. Tanpa menyembunyikan satu detail pun, Renaya menceritakan semuanya, termasuk saat sang ibu akhirnya mengetahui kebusukan di balik kebaikan palsu Saras.
Kinasih menempelkan tangannya di dada yang terasa begitu sesak. Setengah hatinya menolak keras kenyataan pahit ini. Ia merasa sulit percaya Bagantara—lelaki yang selama ini tidur di sisinya—memiliki niat sekeji itu terhadap ibunya.
“Enggak mungkin, Ren! Kamu pasti salah lihat. Mas Bas enggak mungkin sejahat itu ke Ibu!” Kinasih berseru keras, seolah mencoba menepis kenyataan yang sudah terlanjur tersaji di hadapannya.
“Aku juga berharap begitu, Mbak… tapi beberapa hari ini aku mantau Saras, aku selidiki tentang kapsul itu, dan—Mas Bas… dia bagian dari semua ini, Mbak. Dia sendiri yang ngasih obat itu ke Saras,” suara Renaya terdengar pelan, namun tegas.
Kinasih menggeleng keras, matanya memerah, bibirnya bergetar. “Enggak mungkin… suamiku enggak akan ngelakuin sejauh ini! Kamu bilang apa tadi?! Mas Bas ngasih Ibu… obat anjing?! Omong kosong, Ren!”
Renaya sudah menduga reaksi kakaknya bakal meledak seperti ini. Untungnya, ia telah bersiap. Dari dalam tasnya, ia mengeluarkan lembaran hasil laboratorium yang diberikan oleh Dodi, juga kapsul hijau yang sudah menjadi bukti kuat.
Tanpa berkata-kata lagi, Renaya menyodorkan kertas hasil uji laboratorium beserta plastik kecil berisi kapsul kepada Kinasih. “Baca saja sendiri, Mbak. Aku enggak mungkin ngada-ngada, apalagi soal Ibu.”
Dengan tangan gemetar, Kinasih menerima kertas itu. Ia membacanya cepat. Setiap baris kalimat terasa seperti tombak yang menghujam langsung ke jantungnya. Napasnya memburu. Ia tak lagi sanggup mengelak, semua kenyataan terpampang di hadapannya dengan jelas, tanpa bisa disangkal.
Lemas, Kinasih jatuh terduduk di sofa, kedua tangannya terkulai di samping tubuhnya. “Kenapa… kenapa Mas Bag sampai segininya? Apa dia… diancam Saras?” suaranya bergetar, nyaris seperti bisikan.
Renaya hanya menggeleng pelan. “Nggak kayaknya, Mbak. Lihat sendiri di rekaman videonya… gerak-gerik Mas Bag santai banget, bukan kayak orang yang lagi diancam. Lagian… Saras ngancam Mas Bag pakai apa? Mereka kelihatan malah kerjasama.”
KalImat Renaya membelah batin Kinasih. Semua pertahanan runtuh seketika. Apa yang tidak pernah terpikirkan olehnya selama ini, kini terpampang begitu telanjang. Suaminya… bersekongkol dengan Saras, berniat mencelakai ibu kandung mereka sendiri.
“Ya Tuhan… kenapa aku selama ini enggak sadar?” Kinasih mengusap wajahnya, air matanya mulai merembes tanpa mampu ditahan.
Dengan langkah pelan, Renaya mendekati sang kakak dan menepuk pundaknya dengan lembut.
“Kenapa dia ngelakuin ini, Ren? Kenapa sampai hati dia ngincer Ibu?” lirih Kinasih penuh luka.
Renaya hanya mampu menghela napas panjang. “Itulah yang masih jadi misteri buat aku, Mbak… aku enggak tahu kenapa Mas Bag mau ngerugiin Ibu. Tapi… Mbak Rumi mungkin ingat sesuatu? Mungkin ada omongan aneh dari Mas Bag? Mungkin dia pernah nanya sesuatu soal Ibu?”
Kinasih menggeleng pelan, sorot matanya sayu. “Kalaupun iya, aku nggak pernah sadar.”
“Aku masih terus menyelidiki, Mbak… aku juga belum tahu pasti motifnya. Jujur saja… semuanya saling bertumpuk. Masalah Ibu dan Sandrawi… semuanya bercampur aduk sampai aku sendiri pusing memilah petunjuknya,” keluh Renaya, ikut menjatuhkan punggungnya ke sandaran sofa di samping sang kakak.
Kinasih memicingkan mata. “Kamu nyelidiki kematian Sandrawi juga?”
Renaya mengangguk mantap. “Iya. Rasanya terlalu banyak kejanggalan yang nggak bisa diabaikan.”
Kinasih menatap Renaya dengan ekspresi penuh heran dan setengah tak percaya. “Ngapain sih kamu repot-repot nyelidikin kematiannya dia? Sudah jelas, kan? Dia bunuh diri. Apa lagi yang mau diselidikin?”
“Banyak, Mbak… salah satunya soal ini.” Renaya menoleh, matanya tajam menusuk ke arah Kinasih. “Mbak nggak curiga? Mas Bagantara bisa sampai segitu kejinya ke Ibu, bukan nggak mungkin dia melakukan hal yang sama ke Sandrawi.”
Kinasih terdiam membisu. Ucapan Renaya menusuk pikirannya. Tak bisa dipungkiri, sesuatu dalam benaknya mulai bergolak. Benar, kalau suaminya sendiri mampu menyakiti ibunya, apa yang menjamin keselamatan Sandrawi waktu itu?
Perlahan Kinasih memijat pelipisnya yang terasa berdenyut-denyut nyeri. Sepanjang hidupnya, tak pernah sedikit pun ia membayangkan Bagantara sanggup melakukan pengkhianatan terhadap keluarganya sendiri. Logikanya masih menolak, ia tetap meyakini suaminya tidak mungkin sanggup melakukan kebiadaban seperti itu terhadap Ratih. Ia mencoba mencari-cari alasan, namun kenyataan yang terpampang jelas di tangannya justru menampar kesadarannya. Potret itu… rekaman pertemuan terlarang suaminya dengan Saras… membuat segala penyangkalan runtuh seketika.
“Aku masih nggak paham… apa alasannya…” desis Kinasih lirih, kedua tangannya menutupi wajahnya penuh frustrasi. “Mas Bas nggak mungkin sanggup berbuat kayak gini… dan sekarang kamu nuduh dia terlibat dalam kematian Sandrawi juga?”
Renaya mengembuskan napas panjang, bersandar pasrah menyaksikan kakaknya yang masih menolak untuk percaya. “Aku paham, Mbak… aku tahu ini nggak gampang diterima. Tapi faktanya kayak gini. Aku curiga Mas Bas juga ikut campur dalam kematian Sandrawi. Mbak nggak pernah ngerasa aneh? Kenapa mendadak Sandrawi bunuh diri, tanpa tanda-tanda sebelumnya?”
Kinasih menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya keras. Sejak awal, ia memang tak pernah menggubris detail di balik kematian adik bungsunya. Namun kini, seiring semua bukti terkuak, pikirannya mulai berkelindan, mengorek kembali ingatan yang sempat dia abaikan. Meski begitu, ia tetap menggeleng, menolak keras kenyataan yang mulai merambat masuk.
“Kamu begini cuma mau ngancurin rumah tangga aku, kan?!” suara Kinasih meninggi, matanya berair, tak kuasa menahan gejolak emosinya.
Renaya hanya mendengus pendek, senyum kecut tersungging di bibirnya. “Apa untungnya buatku, Mbak? Lagian… kalo Mbak masih nggak percaya, aku punya bukti lain.”
Kinasih mengangkat alisnya, tajam. “Bukti apalagi?”
Tanpa berkata banyak, Renaya membuka galeri ponselnya, menunjukkan sebuah foto yang diambilnya beberapa hari lalu. Ia menyodorkannya pada Kinasih tanpa berkata-kata.
Diam-diam, tangan Kinasih bergetar saat menerima ponsel itu. Ia menatap layar dengan penuh keraguan. Tapi begitu matanya menangkap sosok Bagantara bersama Saras di lokasi yang tak patut, Kinasih tak lagi bisa menyangkal.