NovelToon NovelToon
Dosenku Ternyata Menyukaiku

Dosenku Ternyata Menyukaiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Dosen / Beda Usia / Diam-Diam Cinta / Romansa / Slice of Life
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Luckygurl_

Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.

Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.

Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.

Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertemuan dipagi hari

Malam yang seharusnya tenang bagi Camelia justru terasa riuh di telinga. Earphone yang menyumpal kedua daun telinganya pun tak mampu meredam suara-suara dari lantai bawah, suara yang tidak seharusnya ia dengar.

Padahal rumahnya luas, sangat luas. Tapi batas dinding seakan tidak bisa menahan gelegar perdebatan yang memekakkan. Umpatan dan caci maki kembali terdengar, dan seperti biasa, air mata Camelia menetes begitu saja.

“Brengsek!” gumamnya pelan. Ia memadamkan batang tembakau di asbak kristal, lalu menyeka wajahnya yang basah. Kepalanya bersandar di dinding kamar, jari-jarinya meremas rambut yang menjuntai ke pundak.

Berisik, sangat berisik dan ini bukan kali pertama. Bahkan bukan yang keseratus. Sudah berlangsung sejak ia kecil.

“Kenapa mereka harus tetap bersama kalau hanya bisa saling melukai seperti ini?” batinnya geram, tapi suara itu tetap tertahan dalam hati.

Hubungannya dengan kedua orang tuanya pun tak lebih dari formalitas. Bertegur sapa saja nyaris tidak pernah, sibuk dengan urusan masing-masing. Camelia merasa seperti seorang penyewa yang tinggal di rumah mewah, bukan seorang anak.

Ting!

Satu notifikasi masuk.

From: Gray — Sudah tidur, Malika?

Camelia menatap layar ponselnya lama, hanya satu kalimat dan pertanyaan sederhana. Tapi entah kenapa, bibirnya bergetar.

Agak berlebihan, mungkin. Tapi bagi Camelia, ini adalah hal yang langka. Sepanjang hidupnya, tidak pernah ada yang menanyakan kabarnya dengan tulus. Apalagi sekadar bertanya apakah ia sudah tidur.

Dulu, saat ia menjalin hubungan dengan seseorang, semuanya sama saja. Mereka tidak mencintainya, mereka hanya jatuh cinta pada hartanya pada label 'anak orang kaya'.

Tidak ada perhatian dan tidak ada kehangatan. Hanya kata 'kangen' sebagai kode untuk bertemu dan meminta uang.

Brengsek.

Satu kata itu cukup menggambarkan semuanya.

Tapi Gray, pesannya sederhana dan itu cukup menghangatkan hati Camelia malam ini.

Mata yang semula berembun kini terbelalak, kala ponselnya berdering dan nama Gray tertera di layar. Camelia mengerutkan kening. Ini terasa terlalu cepat untuk mulai saling menelepon seperti ini. Tapi, mengingat sore tadi ia sempat menolak panggilannya, kini ia merasa tak enak jika kembali mengabaikan.

Dengan dada bergemuruh, Camelia akhirnya menggeser layar dan menjawab.

Sejenak, tak ada suara, keduanya diam. Sampai akhirnya, jantung Camelia digetarkan oleh husky voice seberang telepon.

“Halo, Malika,” sapa Gray.

“H-hai, Gray,” jawab Camelia, agak terbata. Jelas ia gugup.

Terdengar tawa renyah dari seberang sana. Tawa itu maskulin, membuat Camelia ikut tersenyum, meski tanpa sadar.

“Kamu gugup?” tanya Gray.

“Hmm, cukup gugup,” jawab Camelia sambil terkekeh kecil.

“Padahal bukan cuma aku yang pernah menelpon mu. Tapi kenapa gugup kali ini?”

“Siapa? Tukang paket? Atau mas-mas delivery?” balas Camelia cepat.

Gray tertawa lagi, tawa yang lebih lepas. “Ya jelas... para pria tampan di luar sana,” godanya.

“Kamu paranormal, ya? Bahkan di kontak ku cuma ada satu nama laki-laki, ayahku.”

“Mustahil, gadis secantik kamu hanya menyimpan kontak ayahmu? Jadi aku nggak masuk hitungan?”

“Ah, iya, kamu juga. Kamu suka menebak, ya? Bahkan kamu belum benar-benar tahu aku, jadi bagaimana bisa menilai ku cantik atau tidak?”

“Maaf kalau terdengar lancang atau terlalu cepat. Tapi jika boleh aku memuji... kaki jenjang mu indah, Malika. Aku bisa menebak, kamu pasti cantik. Tapi bagaimanapun juga, menurutku semua wanita itu cantik.”

“Gombal,” sahut Camelia, menahan tawa.

“Malika... kamu sedang apa? Apa kamu sibuk? Apakah aku mengganggumu?” tanya Gray kemudian.

“Enggak, aku lagi sendirian di kamar, nggak ngapa-ngapain melakukan, bosan banget. Kamu sendiri?”

“Aku baru pulang olahraga, lumayan lelah. Lalu entah kenapa... kamu terlintas di pikiranku. Aku buka aplikasi Love, tapi kamu nggak aktif, jadi aku kirim pesan. Bahagianya... kamu balas,” jelas Gray.

Camelia menoleh ke arah jam digital di atas nakas. Pukul sembilan malam. “Kamu baru pulang olahraga jam segini?”

“Iya, tergantung waktuku. Kalau pagi atau siang lagi longgar, aku olahraga di waktu itu. Kalau sibuk, ya malam.”

“Hmm... begitu,” gumam Camelia.

“Kalau boleh tahu, kesibukan mu apa sekarang?” tanya Gray lagi, pelan.

Camelia terdiam. Alisnya bertaut, dan ia membaringkan tubuhnya di atas kasur. Apa yang harus aku jawab? Jujur atau tidak? Baru kenal... rasanya terlalu cepat. Lebih baik tidak terlalu membuka diri, batinnya.

“Sibuk menerima telepon darimu,” jawabnya akhirnya, sambil tertawa kecil.

“Hmm... jadi tidak ingin jawab jujur, ya? Baiklah, aku menghargai privasimu.”

“Terima kasih... Tapi, bolehkah sekarang aku beristirahat? Aku cukup lelah.”

“Tentu. Istirahatlah. Selamat malam, Malika.”

“Selamat malam, Gray.”

Panggilan berakhir.

Tapi senyum Camelia masih tertinggal di bibirnya. Ia pun tidak paham kenapa rasanya seperti ada percikan kembang api di dadanya, hangat dan tak biasa. Namun ia tidak ingin memikirkannya lebih jauh. Camelia hanya ingin tidur, dan membiarkan rasa sedihnya lenyap perlahan.

......................

Sinar matahari menembus jendela, hangat dan gagah, seolah mengajak bumi untuk kembali terjaga dan memulai hari. Namun, tidak bagi Camelia. Entah kenapa, pagi ini terasa malas. Ada rasa enggan dalam dirinya untuk pergi ke kampus. Tapi, karena itu sudah menjadi kewajibannya, dan ia ingin cepat menyelesaikan pendidikannya, ia pun memaksakan diri untuk bersiap.

Seperti biasa, ia sarapan sendiri di meja makan yang besar dan luas. Kedua orang tuanya sudah berangkat ke kantor sejak pagi-pagi sekali. Padahal, sesekali saja ia ingin merasakan rasanya berpamitan. Mendapatkan tatapan hangat dan ucapan 'hati-hati' yang tidak pernah ia miliki sejak kecil.

“Selamat pagi, Nona,” sapa Lastri, salah satu maid sambil menarik kursi untuk Camelia.

“Selamat pagi, Bi. Terima kasih,” jawab Camelia sambil tersenyum kecil.

“Pagi ini, sarapannya sesuai permintaan Anda, Nona. Bubur ayam,” jelas Lastri.

“Wah, terima kasih, Bi, untuk menu paginya. Selamat makan.” ucap Camelia, sopan seperti biasanya.

Begitulah Camelia. Ia selalu mengucapkan terima kasih untuk hal sekecil apa pun. Makanan apa pun tidak masalah baginya, tapi pagi ini memang ia ingin sesuatu yang lembut dan hangat, bubur ayam.

Ironisnya, orang-orang seperti Lastri justru lebih layak dianggap sebagai orang tua. Sejak kecil, para pekerja rumah tangga lah yang benar-benar memperhatikan dirinya, dari tumbuh kembang hingga memastikan nutrisi yang ia makan.

Maka, tidak pernah absen ucapan terima kasih dari bibirnya, karena hanya itu yang bisa ia berikan sebagai bentuk penghargaan.

Beberapa saat setelah sarapan, Camelia berjalan ke garasi.

“Pak, aku mau berangkat sendiri. Mana kuncinya?” tanyanya saat melihat Pak Usman, sopir pribadinya, berdiri di sisi mobil.

“Non tapi... bukannya Tuan Edo melarang Nona menyetir sendiri?” jawab Pak Usman, tampak ragu.

“Jangan bilang Ayah. Nggak apa-apa, Pak. Kalau ketahuan pun, aku yang tanggung jawab,” balas Camelia cepat.

Pak Usman tampak gelisah. Tapi melihat sorot mata Camelia yang penuh keyakinan, akhirnya ia menyerahkan kunci Ford Mustang hitam itu dengan tangan yang sedikit bergetar.

“Aduh... habis aku kalau sampai Tuan Edo tahu,” gumamnya lirih.

Camelia naik ke balik kemudi, dan seulas senyum tipis terbit dari bibirnya. Sudah lama rasanya ia tidak menyetir sendiri. Momen langka seperti ini terasa menyenangkan, memberikan rasa kebebasan kecil di tengah rutinitasnya yang membosankan.

Alunan musik pelan mengisi kabin, menyatu dengan deru mesin dan jalanan yang lengang. Namun, sesaat sebelum sampai di gerbang universitas, matanya menangkap sosok yang familiar sedang berdiri di bahu jalan.

“Itu... Pak Sena?” gumam Camelia, buru-buru menepi dan melepas sabuk pengamannya. Ia turun, berjalan mendekat, lalu berjongkok agar sejajar dengan pria itu yang tampak duduk di trotoar.

“Selamat pagi, Pak, ada yang bisa saya bantu?” sapanya pelan.

Sena mendongak. Tatapan mereka bersirobok dan seolah waktu berhenti sejenak. Sunyi, tapi bukan karena tidak ada suara, melainkan karena ada perasaan yang ikut diam. Pertemuan pagi itu terasa mengejutkan dan cukup untuk meninggalkan degup yang berbeda.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!