NovelToon NovelToon
Istri Sang Mafia

Istri Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Cinta setelah menikah / Roman-Angst Mafia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:499
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.

Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.

Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.

Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 4 ORANG ASING DALAM SATU ATAP

Zia terbangun, masih di ruangan yang sama seperti semalam—dingin, megah, dan asing. Ia duduk perlahan, memandangi sekeliling. Sunyi. Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan sambil menguap, lalu menarik tirai tinggi yang menjuntai hingga lantai. Udara pagi menyambutnya. Dari balkon, ia melihat dunia luar Calligo yang terasa begitu jauh—seperti lukisan yang tak bisa disentuh.

Sebuah mobil hitam berhenti di depan pintu utama. Seorang pria berjas keluar. Pengawal membukakan pintu untuknya.

Viren.

Sebelum masuk, pria itu mendongak. Tatapannya langsung terkunci pada Zia di balkon. Datar. Dingin. Tak tertebak. Zia spontan memalingkan wajah, jantungnya berdebar. Tatapan itu—sejak pertemuan pertama—seolah telah menancap di pikirannya.

Tak lama, Zia mulai menyusuri koridor panjang. Ia mencoba membuka satu per satu pintu di sepanjang lorong, tapi semuanya terkunci.

“Apa Nona memerlukan bantuan?” suara datar mengejutkannya.

Zia menoleh cepat. Pria yang sama seperti semalam—Jake, berdiri di sana. Tegap, tanpa ekspresi.

“S-Saya mau sarapan,” katanya gugup.

Tanpa menjawab, Jake berbalik dan mulai berjalan. Zia mengikutinya. Langkah-langkah mereka menggema di lorong batu marmer yang sepi. Zia ingin bertanya banyak—berapa orang yang tinggal di rumah ini? Mengapa begitu banyak penjaga? Tapi semuanya hanya berputar di kepala.

“Silakan, Nona. Katakan saja pada Emi apa yang Anda inginkan,” ucap Jake saat mereka tiba di ruang makan.

“Teh hangat saja…” ucap Zia pelan. Ia menatap ruangan berlangit-langit tinggi dengan lampu kristal raksasa. Meja makan panjang bisa menampung dua puluh orang, tapi ia hanya duduk sendiri di ujung.

Sendiri, seperti bayangan.

Tiba-tiba, pintu besar terbuka. Semua pelayan dan penjaga menunduk saat Viren masuk. Tanpa berkata apa-apa, ia duduk di samping Zia. Jarak antara mereka seakan lebih lebar dari meja panjang itu sendiri.

Zia masih mengenakan sweater semalam, rambutnya dikuncir seadanya. Ia tahu ia terlihat tidak layak duduk di ruangan ini—tapi siapa peduli?

Pelayan membawa makanan. Zia hanya menyentuh tehnya. Ia ingin bangkit, tapi merasa tak enak. Maka ia duduk diam.

“Kau mau pergi?” tanyanya akhirnya, mencoba mencairkan suasana.

“Hm,” hanya suara pendek dari Viren.

Beberapa saat kemudian ia berdiri. Zia ikut berdiri, refleks.

“Aku boleh ikut?” tanyanya cepat, bahkan sebelum ia sadar itu keluar dari mulutnya.

Viren menoleh, alisnya sedikit naik. “Mau ke mana?”

“Bekerja,” jawab Zia pelan.

Pria itu terdiam. Lalu merogoh jasnya dan mengeluarkan sebuah kartu. Ia menyodorkannya tanpa ekspresi.

“Gunakan ini.”

“Untuk apa?”

“Untuk keperluanmu.”

“Aku tidak—”

“Aku tidak suka dibantah.”

Zia membeku. Nada itu... tak bisa dilawan. Ia hanya menatap kartu di tangannya, sementara punggung Viren perlahan menghilang di balik pintu.

“Tunggu…” Zia berlari kecil, menghampiri Jake.

“Aku mau tanya soal dia...” gumamnya menunjuk Viren yang berjalan menjauh dari dapur. "Berapa orang yang tinggal dengannya?"

Jake menatap tajam, namun akhirnya menjawab singkat, “Dia tinggal sendiri.”

Pantas. Rumah ini sunyi. Tak ada tawa, tak ada keluarga. Hanya para pelayan dan pengawal yang lebih mirip patung hidup.

“Kalau Nyonya perlu sesuatu, Emi akan membantu,” ujarnya lalu pergi.

Zia menatap kosong ke arah meja makan. “Sebatang kara… tapi kenapa aku yang merasa paling sendiri di sini?”

Ia keluar ke halaman belakang. Angin pagi terasa dingin menusuk tulang. Ia menggigil, lalu kembali masuk.

Berjalan menyusuri rumah, ia kembali mencoba membuka beberapa pintu. Terkunci. Lagi. Nafasnya mulai berat.

“Kenapa semuanya terkunci?” Keluhnya. "Apa sebenarnya yang ada didalamnya?"

“Sebaiknya kau tidak mencari tau,” suara berat muncul dari balik pilar.

Zia menoleh. Manuel berdiri di sana. Matanya dingin. Peringatan itu terdengar seperti ancaman. Zia ingin membalas, tapi mulutnya terkunci. Ia hanya mengangguk saat Manuel berkata,

“Aku sudah mengambil kebutuhanmu, Nona.”

“Terima kasih,” ucapnya cepat lalu berjalan pergi.

Setibanya di kamar, Zia menutup pintu. Menyandarkan punggung ke balik daun kayu berat itu. Napasnya terengah.

“Tempat macam apa ini?” bisiknya. “Ini bukan rumah. Ini penjara.”

Di sudut kamar, ia melihat koper merah kesayangannya. Dengan cepat ia berganti pakaian—kaos longgar dan celana santai. Setidaknya itu mengingatkannya siapa dirinya.

Tiba-tiba, ia teringat seseorang.

Ami...

Ia buru-buru meraih ponsel. Puluhan pesan belum terbaca. Panggilan masuk.

“Halo?! Ami! Maaf, aku tidak bisa ke kafe hari ini. Aku…”

“Astaga! Kak Zia jahat! Aku udah menunggu setengah jam!” rengek Ami.

Zia tertawa kecil, getir. “Aku minta maaf. Aku... lagi di luar kota.”

“Diluar kota?" Ucap Ami. "Bukannya Kak Alin menikah kemarin ya? Kenapa kau tiba-tiba di luar kota Kak?"

Zia terdiam. Ami terlalu pintar untuk ia bodohi. Dan ia, terlalu cepat memberi alasan padanya. "Maksudku, Aku kecapean. Ami." Ucapnya berharap wanita itu tidak banyak bertanya.

“Oh begitu, baiklah aku akan kembali ke rumah. Tapi besok bagaimana?"

"Akan aku kabari nanti." Jawab Zia lalu mematikan ponselnya.

Setelah menutup telepon, Zia berdiri lama di dekat jendela. Menatap taman belakang yang terlalu rapi. Tak ada suara burung. Tak ada suara apa pun.

Ia merasa seperti boneka porselen di dalam rumah antik yang hanya indah untuk dilihat… tapi tak pernah hidup.

...----------------...

Malam merayap perlahan di langit Calligo, menyelimuti bangunan megah itu dalam bayangan yang dingin dan tenang. Jendela-jendela tinggi mulai memantulkan gelap, sementara lampu-lampu gantung menyala temaram, menciptakan kilau redup seperti bintang yang terlalu malas untuk bersinar terang.

Zia berdiri di balik tirai tipis, menatap langit yang mulai kehilangan warnanya. Ia menggenggam sweater di tubuhnya, bukan karena dingin, tapi karena rasa gelisah yang tak kunjung reda. Detak jam dinding terdengar pelan tapi jelas, seperti mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan... tanpa arah.

Ketukan pelan di pintu memutus lamunannya.

Ia menoleh cepat. Pintu terbuka sedikit, dan sosok yang ia pikir tak akan muncul malam itu akhirnya berdiri di ambangnya—Viren.

Kemeja hitamnya berbeda dari pagi tadi. Lengan bajunya digulung hingga siku, menyisakan urat-urat di lengan yang menegang. Rambutnya sedikit berantakan, dan ada kantung tipis di bawah matanya—menandakan malam-malam tanpa tidur atau pikiran yang berat, entah mana yang lebih banyak.

Zia berdiri refleks, tak tahu apakah harus menyapa atau menunggu.

“Ada yang ingin aku bicarakan,” ucap Viren. Suaranya rendah, tenang, tapi seperti biasa—jauh dari hangat.

Zia hanya mengangguk, menunggu ia duduk. Tapi pria itu tetap berdiri di dekat pintu, seolah enggan masuk lebih jauh ke dalam ruangannya sendiri.

“Besok aku harus pergi,” lanjutnya. “Ada urusan yang mungkin akan memakan waktu beberapa hari. Mungkin lebih.”

Zia mengangguk pelan. Diam, lalu memberanikan diri bertanya, “Apakah..... Aku bisa kembali ke kafe?”

Viren menatapnya lama, ekspresinya datar tapi matanya seperti sedang mengukur kedalaman pertanyaan itu.

“Tidak,” jawabnya akhirnya, tegas dan pelan.

Zia mencengkeram lengan sweaternya. “Kenapa?”

“Kau tidak perlu bekerja lagi,” jawabnya. “Aku sudah memberikan kartuku padamu. Gunakan itu untuk apa pun yang kau butuhkan.”

“Aku tidak butuh uangmu,” ucap Zia cepat, mungkin terlalu cepat.

Keheningan menggantung sejenak.

“Aku butuh rutinitasku, pekerjaanku... sesuatu yang membuatku merasa hidup,” lanjutnya, lebih pelan.

Viren menundukkan kepala sejenak, seolah mencoba menahan sesuatu. Ketika ia kembali menatap Zia, nada suaranya berubah sedikit. Lebih dalam, tapi tidak lebih dekat.

“Kita sepakat, kan? Ini pernikahan praktis. Tidak perlu keterlibatan emosional. Tidak perlu saling mengatur hidup.”

“Ya,” bisik Viren.

“Tapi kenapa kau mengatur hidupku sekarang?” ucap Zia.

Viren tidak langsung menjawab. Pandangannya jatuh ke lantai, seolah sedang menimbang sesuatu yang tak terlihat.

Lalu, dengan suara nyaris pelan, ia berkata, “Lakukan apa yang kau mau.”

Zia mengangguk sekali. “Terima kasih.”

Viren menatapnya sejenak, kemudian berbalik, hendak meninggalkan ruangan.

Namun sebelum ia mencapai pintu, Zia memanggilnya pelan. “Hei, tuan...”

Langkah pria itu terhenti. Ia menoleh perlahan, menunggu tanpa berkata-kata.

Zia menarik napas. Kata-katanya tertahan, tapi akhirnya keluar juga.

“Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap padamu. Kau... terlalu asing.”

Wajah Viren tetap tak berubah. Tapi untuk sesaat, sangat singkat, Zia melihat sesuatu di sana. Sebuah kilatan emosi. Entah luka, lelah, atau hanya bayangannya sendiri.

“Panggil Aku Viren, dan lakukan apapun yang kau mau.” jawab Viren.

Zia ingin menjawab, namun sebelum sempat berkata apa pun, ponsel Viren bergetar dari dalam saku. Ia mengeluarkannya dan melirik layar sebentar. Seketika, seluruh atmosfer di wajahnya berubah.

Sorot matanya menegang. Rahangnya mengeras. Sesuatu di balik layar itu, jelas bukan kabar biasa.

“Aku harus pergi,” ucapnya cepat, kembali ke nada suara khasnya yang dingin dan efisien.

Zia hanya mengangguk kecil. Tak ada yang bisa ia tahan dari pria itu.

Pintu menutup dengan pelan. Dan seperti sebelumnya, sunyi kembali memenuhi ruangan, merayap ke setiap sudut seperti kabut yang enggan pergi.

Zia menatap pintu yang baru saja tertutup. Ia duduk kembali di pinggir ranjang. Bahunya lunglai.

Suaminya yang sebenarnya bukan suami, tinggal bersamanya di rumah sebesar benteng ini, tapi mereka bahkan tak saling mengenal. Ia merasa seperti bayangan dalam hidup orang lain. Tak bersuara. Tak tampak.

Hening. Dan hampa.

Dihalaman utama Jake segera masuk ke dalam mobil, menyusul Viren yang lebih dulu duduk di kursi belakang. Tanpa banyak bicara, pengemudi melajukan kendaraan menjauh dari Calligo, menuju sisi paling tersembunyi dari kehidupan mereka—Cinderline.

Perjalanan tiga puluh menit itu terasa singkat, namun padat oleh keheningan dan ketegangan yang menggantung di udara. Viren tidak membuka mulut sedikit pun, dan Jake—yang duduk di samping pengemudi—juga tetap diam. Keduanya seolah terhubung dalam bahasa sunyi yang hanya mereka pahami.

Mereka akhirnya tiba di sebuah gedung tak mencolok di distrik industri tua. Tidak ada tanda, tidak ada nama, bahkan tidak ada kamera pengawas yang mencolok dari luar. Sekilas, bangunan itu tampak seperti kantor gudang biasa: bercat putih kusam, dengan pintu besi dan kaca buram.

Viren turun dari mobil, kini mengenakan topi hitam dan masker kain. Ia menggulung lengan kemejanya, memperlihatkan sedikit urat-urat tajam di lengan yang mengisyaratkan tekanan dan ketegangan. Jake menyusul di belakangnya, juga dengan penampilan serupa.

Viren mendekat ke sisi dinding pintu dan menekan sebuah panel kecil tersembunyi di balik plat logam. Sidik jarinya dikenali dalam hitungan detik, dan sistem pengenal wajah memindainya di balik kaca reflektif. Pintu otomatis membuka perlahan disertai bunyi desis halus.

Begitu mereka masuk, kontras langsung terasa. Interior gedung jauh berbeda dari eksteriornya. Dinding beton dalamnya tertutup panel hitam matte dengan alur lampu LED tipis yang menyala lembut. Lorong utama sunyi, tapi bukan karena kosong—melainkan karena semuanya berjalan terlalu efisien.

Di dalam, tampak beberapa individu berpakaian serba hitam, sibuk dengan terminal mereka masing-masing. Mereka adalah bagian dari inti Cinderline: para teknisi sistem, analis data, dan pengawas keamanan yang bekerja tanpa suara, tapi penuh hasil.

"Status?" tanya Viren singkat.

Seorang pria berkacamata tipis—Lyn—bangkit dari kursinya. Ia adalah kepala divisi sistem. “Kami hampir selesai memproses data enkripsi terakhir dari Osaka. Tapi kami punya satu masalah, tuan.”

Viren berjalan masuk lebih dalam, melepas topi dan maskernya. Jake tetap berdiri di belakang, menjaga jarak. Sorot mata Viren langsung mengunci Samuel.

"Masalah seperti apa?"

"Ada upaya pembobolan dari jaringan luar. Seseorang mencoba meretas jalur masuk ke dalam struktur lama... kemungkinan berkaitan dengan sistem milik ayahmu."

Seketika ruangan itu menjadi lebih sunyi.

"Nexux," bisik Viren.

Samuel mengangguk. "Kami belum bisa memastikan. Tapi dari pola enkripsinya, ini bukan kerja amatir. Mereka tahu apa yang mereka cari."

Viren menatap layar utama. Di situ, tampak pola-pola jaringan yang saling bersilangan. Warna merah menyala menunjukkan area yang sedang diserang. Namun titik pusat serangan masih belum berhasil menembus lapisan terdalam.

"Berapa lama kita punya waktu sebelum mereka berhasil?"

"Tergantung siapa yang di balik ini. Tapi jika mereka punya fragmen kode yang dulu pernah dipakai Leo... mungkin hanya hitungan hari."

Nama itu kembali muncul.

Leo. Satu-satunya orang yang bisa membuka sistem Nexux sepenuhnya. Satu-satunya orang yang pernah membuat ayah Viren terlihat takut.

"Jake," kata Viren tanpa menoleh.

"Ya."

"Persiapkan ruang bawah tanah. Kita akan mulai pencarian dari dalam. Dan pastikan semua anggota lama dalam jaringan dihubungi. Aku ingin tahu siapa yang masih hidup, dan siapa yang sudah berpihak ke lawan."

Jake mengangguk dan langsung berbalik. Langkahnya cepat dan tenang, tahu bahwa waktu mereka semakin sedikit.

Viren kembali menatap layar. Wajahnya tak menunjukkan emosi, tapi pikirannya berputar lebih cepat dari siapa pun di ruangan itu.

Ia tahu, jika sistem Nexux jatuh ke tangan yang salah, bukan hanya identitas mereka yang terungkap. Dunia bisa berubah dalam satu malam.

Dan ia tidak akan membiarkannya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!