Di kehidupan sebelumnya, Nayla hidup dalam belenggu Adrian.
Tak ada kebebasan. Tak ada kebahagiaan.
Ia dipaksa menggugurkan kandungannya, lalu dipaksa mendonorkan ginjalnya kepada saudari kembarnya sendiri—Kayla.
Ia meninggal di atas meja operasi, bersimbah darah, dengan mata terbuka penuh penyesalan.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua.
Di kehidupan ini, Nayla bersumpah: ia tidak akan jatuh di lubang yang sama.
Ia akan membuka topeng dua manusia berhati busuk—mantan kekasih dan saudari tercintanya.
Namun kali ini... apakah ia bisa menang?
Atau akan ada harga baru yang harus ia bayar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julie0813, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32: Kekhawatiran yang Tak Terucap
Tepat di detik Nayla ambruk ke lantai, hati Adrian terasa seperti diremuk sesuatu—seolah ada bagian paling penting dari hidupnya yang tiba-tiba hilang.
Perasaan kehilangan itu datang begitu cepat, begitu tak terkendali, hingga membuat dadanya sesak dan pikirannya kacau.
Adrian awalnya mengira itu hanyalah karena naluri penguasanya yang terganggu—bahwa dia tak bisa menerima ada hal yang lepas dari kendalinya.
Namun ternyata, perasaan... tidak seperti logika.
Cinta bukan sesuatu yang bisa dikendalikan sesuka hati.
Dan mungkin... saat jantungnya tiba-tiba panik tadi, perasaannya pada Nayla sudah diam-diam tumbuh dan terlepas dari cengkeraman yang ia banggakan.
Kini, satu-satunya hal yang bisa membuatnya sedikit tenang hanyalah genggaman tangan Nayla.
Hanya dengan merasakan hangat tubuh Nayla di telapak tangannya, dia bisa memastikan bahwa perempuan itu... masih miliknya.
Adrian tak ingin terlalu memikirkan "kenapa".
Dia hanya tahu satu hal——yang dia inginkan, tidak boleh lepas dari tangannya.
Melihat wajah Nayla yang pucat dan sesekali bergumam dalam mimpi buruknya, wajah dingin Adrian pun tak bisa menyembunyikan seberkas rasa sakit yang bahkan tak ia sadari sendiri.
Adrian tetap menatap Nayla, tanpa berkata apa pun——hingga akhirnya, tubuhnya tak tahan lagi dan tertidur di sisi ranjangnya.
——
“Tok tok tok.”
“Bos, ada telepon untuk Anda,” ucap seorang staf sambil menyerahkan ponsel ke tangan Adrian.
“Halo?”
Adrian saat itu baru saja menyuruh orang mengantar pakaian ke rumah sakit.
Meskipun ini ruang perawatan, namun kamar yang ditempati Nayla adalah suite eksklusif yang mewah, dengan semua fasilitas lengkap.
“Bos, Rayyan sudah keluar rumah. Orang-orang kita sedang mengikutinya sekarang,” lapor suara di ujung sana, lalu diam menanti perintah Adrian.
“Hmm. Bawa dia ke vila. Aku akan segera menyusul.”
Saat ia berganti pakaian, mobil sudah menunggu di lantai bawah.
Sebelum pergi, Adrian meninggalkan beberapa pelayan untuk merawat Nayla di tempat.
Keesokan paginya, dokter datang untuk pemeriksaan rutin. Melihat hanya ada pelayan yang berjaga di luar dan ruangan dalam kosong, ia menggelengkan kepala lalu pergi tanpa berkata apa pun.
——
Di vila Adrian.
Adrian bahkan belum melangkah masuk ke dalam, namun suara teriakan marah seorang pria sudah terdengar dari dalam vila.
“Siapa kalian?! Kenapa kalian menculik aku?! Kalian tahu siapa aku?! Kulebih baik kalian segera lepaskan aku sekarang juga! Kalau tidak, kalian akan menyesal seumur hidup!”
Sejujurnya, saat Rayyan diseret masuk ke dalam mobil, hatinya memang panik.
Hal yang tak diketahui selalu terasa menakutkan.
Akhir-akhir ini, selain Nayla, Rayyan merasa dirinya tidak punya musuh lain.
Ia benar-benar tak tahu siapa yang akan cukup nekat untuk menculiknya——dan justru karena itulah, ia semakin tidak bisa menghadapi situasi ini.
Namun bukankah soal Nayla... sudah dibereskan?
Itu yang dikatakan Kayla padanya.
Jadi... siapa lagi?
Rayyan berontak sekuat tenaga di dalam mobil. Tapi beberapa pria kuat menahannya dengan paksa, membuatnya tak bisa bergerak sedikit pun.
Beberapa orang lain berdiri di sekeliling seperti patung batu, kaku dan tanpa ekspresi. Tak ada satu pun dari mereka yang membuka mulut untuk menjelaskan sesuatu.
Hingga suara langkah berat memasuki ruangan——semua orang serempak mundur dan melepaskan pegangan mereka pada Rayyan.
Dengan nada hormat dan serempak mereka berseru, “Bos!”
Rayyan menoleh, dan melihat Adrian perlahan melangkah masuk.
Detik itu juga, Rayyan berhenti berteriak maupun berontak. Sebaliknya——dia malah terkekeh pelan, menyeringai dengan nada sinis.
“Wah, aku kira siapa. Ternyata kamu toh, Adrian. Gaya besar banget.”
Adrian tak membalas senyumannya. Tatapannya gelap dan penuh tekanan, seperti malam tanpa bintang yang menelan seluruh cahaya.
Dia menatap Rayyan tanpa berkata sepatah kata pun——tapi justru tatapan itulah yang membuat Rayyan merasa tak nyaman.
Rayyan menelan ludah diam-diam, lalu berusaha tetap tenang. Dengan suara yang dibuat santai, ia lanjut berkata,
“Adrian, kau cari aku ada urusan apa? Kuharap... ini benar-benar penting.”
Adrian akhirnya membuka suara.
“Tak ada urusan besar. Hanya ingin... mengobrol sedikit dengan Tuan Rayyan.”
Ia duduk santai di sofa, kaki panjangnya disilangkan, satu tangan menopang dagunya dengan santai.
Dari luar, ia terlihat seperti seorang tuan muda bangsawan yang penuh wibawa dan keanggunan——namun sorot matanya... bagaikan iblis dari kedalaman neraka, menatap mangsanya yang tak bisa melarikan diri.
Di hadapannya, Rayyan dengan pakaian yang sudah sedikit berantakan akibat perlawanan tadi, tampak sangat kontras dan jauh lebih lusuh.
“Aku tak merasa kita punya topik yang perlu dibicarakan.” Rayyan mundur setengah langkah.
“Kalau tidak ada hal penting, aku akan pergi sekarang.”