Riyani Seraphina, gadis yang baru saja menginjak 24 tahun. Tinggal di kampung menjadikan usia sebagai patokan seorang gadis untuk menikah.
Sama halnya dengan Riyani, gadis itu berulang kali mendapat pertanyaan hingga menjadi sebuah beban di dalam pikirannya.
Di tengah penantiannya, semesta menghadirkan sosok laki-laki yang merubah pandangannya tentang cinta setelah mendapat perlakuan yang tidak adil dari cinta di masa lalunya.
"Mana ada laki-laki yang menyukai gadis gendut dan jelek kayak kamu!" pungkas seseorang di hadapan banyak orang.
Akankah kisah romansanya berjalan dengan baik?
Akankah penantiannya selama ini berbuah hasil?
Simak kisahnya di cerita ini yaa!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedekatan yang Semakin Dekat
"Ya iya suruh periksa, ada yang salah itu makanya dia bilang kamu kayak ibu-ibu padahal cantik mentereng kayak bidadari," ucapnya membuatku tersipu malu sembari menggelengkan kepala.
"Aa pasti mantannya banyak ya?" tanyaku.
"Kata siapa?"
"Kata neng barusan," jawabku.
"Kenapa pake bilang gitu?" tanyanya lagi.
"Abisnya omongannya manis terus," jawabku.
Hanif terkekeh mendengarnya, "percaya gak percaya, Aa cuman begini sama kamu. Sama yang lainnya, Aa cuek."
Aku menatapnya tidak percaya, "tanyain sama ibu atau sama Adri yang lebih tau perjalanan asmara aa."
Aku terkekeh mendengarnya, "malah sahabatnya yang lebih tau dibanding ibunya."
"Emang orang tua kamu tau asmara kamu kayak gimana?" tanya Hanif.
Aku menggelengkan kepala, "mereka tau pas neng udah nangis-nangis di kamar."
"Waktu putus?" tanya Hanif membuatku mengangguk.
"Berapa lama pacarannya?"
"Setahun lebih," jawabku sembari menoleh padanya, "emang neng belum pernah ceritain ya? Perasaan pernah cerita deh."
"Aa lupa mungkin atau kamu yang lupa. Biarin lah, gak penting ini bahas yang gitu. Yang penting kan sekarang kita yang jalanin," ucapnya membuatku tersenyum.
"Jalanin kemana?" tanyaku dengan senyuman yang ditahan.
Hanif tersenyum menanggapinya, "maunya sampe dibawa kemana?"
"Kalau ke pelaminan?" tanyaku.
"Kan itu tujuan sekarang, nanti setelah pelaminan dibawa ke akhirat, ke surga," jawabnya.
Aku tersenyum mendengarnya, "aamiin."
Hanif melirik jam di tangannya, ia menghela napasnya lalu beranjak dari teras, "aa harus pamit. Soalnya udah mau gelap lagi ternyata, gak berasa banget ya ngobrol sama kamu. Padahal tadi baru aja ashar."
Aku terkekeh mendengarnya, "iya, mana kamu belum sholat lagi."
"Iya sekarang mau, mumpung baru jam 5. Jadi Aa mau pamit ya!" Aku mengangguk mengiyakan lalu melambaikan tangan padanya.
Setelah melihatnya pergi, aku masuk ke kamar—membersihkan tubuhku lalu berganti pakaian. Aku menjatuhkan tubuhku dengan helaan napas, pikiranku masih saja berputar pada omongan ibunya devan tadi.
Apa aku masih belum cukup baik ya?
Aku masih kayak ibu-ibu ya?
Drttttt.... Drttttt.....
Panggilan masuk dari bapak membuatku langsung menyambungkannya.
"Assalamualaikum bapak!!"
"Waalaikumsalam neng. Kamu lagi apa itu?"
"Baru aja selesai mandi pak. Baru pulang,"
"Gimana?"
"Apanya?"
"Keluarga hanif,"
"Baik kok pak. Bahkan dari awal datang udah diajak ngobrol sama ibunya. Adiknya juga baik, terus banyak yang senyum sama neng pas dikenalin sama aa,"
"Alhamdulillah kalau gitu, bapak bersyukur banget kalau keluarga hanif nerima kamu dengan baik,"
"Iya pak. Jangankan ngobrol, tadi aja neng sempet gatel leher, mereka mau ajak neng ke rumah sakit,"
"Emangnya kenapa?"
"Tadi gak tau makan apa tiba-tiba alergi, terus diobatin sama Aa. Alhamdulillah sekarang udah lebih baik,"
"Ya ampun, nanti periksa. Kamu alergi apa, biar bisa lebih hati-hati,"
"Iya bapak. Bapak sama mamah sehat?"
"Alhamdulillah neng. Mamah katanya kangen sama kamu, makanya nyuruh bapak telepon,"
"Bukannya bapak yang tadi bilang kangen sama neng? Kok sekarang malah bilang mamah aja yang kangen?"
Aku menahan senyuman mendengarnya.
"Minggu depan neng pulang deh! Kan udah seminggu juga gak pulang pergi. Biasanya ketemu terus sama bapak sama mamah,"
"Kalau mau pulang nanti kasih tau bapak aja, biar bapak jemput,"
"Gak apa-apa gak dijemput juga. Neng kan bisa naik angkot,"
"Biasanya juga dijemput sama bapak,"
"Ya udah iya, nanti neng kasih tau kalau mau pulang,"
"Nah gitu dong!"
Tidak lama setelahnya, terdengar suara adzan berkumandang.
"Udah adzan tuh! bapak tutup dulu ya. Kalau ada apa-apa kasih tau orang rumah,"
"Iya bapak siap,"
"Assalamualaikum!!"
"Waalaikumsalam."
Setelah panggilannya terputus, aku memilih memesan makanan melalui ojek online karena memang sedang tidak sholat.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai, setidaknya hanya menunggu beberapa menit untuk menunggu pesanan.
Kayaknya kalau mau hemat harus masak nasi, jadi biar tinggal beli lauknya aja.
Terus beli magic com dulu.
Aku memilih makan malam lebih awal, apalagi memang sudah merasa capek karena seharian berada di luar.
Aku tertidur bahkan sampai alarmku itu kembali berbunyi di adzan shubuh keesokan harinya.
Aku terkejut karena darah haid yang lumayan banyak sudah menembus pada seprei yang baru saja ku pasang. Aku segera bangun, membersihkan tubuhku lalu membereskan seprei. Padahal ini masih pagi, orang lain bahkan belum terbangun dari tidurnya.
Sebelum pergi ke sekolah, aku menjemur sepreinya lebih dulu—ditambah dengan beberapa pakaian yang baru kupakai kemarin.
Aku pamit pergi ke sekolah pada ibu kost yang baru saja selesai menjemur. Hanya dengan berjalan kaki beberapa menit saja sudah sampai kembali di sekolah.
Memang tidak terlalu jauh juga dari rumah abang, bedanya kost-an yang aku tempati sekarang lebih dekat. Bahkan bisa dibilang hanya dengan 10 langkah keluar gang saja sudah sampai di sekolah.
Hanif sudah berdiri di depan pagar sekolah dengan Radit yang diantarnya. Aku mengulas senyuman menyapanya, "pagi Aa!!"
"Pagi Neng, Nih!!" Sembari memberikan kotak bekal padaku.
"Apa ini?" tanyaku.
"Sarapan buat kamu. Pasti belum sarapan kan?" tanyanya balik.
Aku mengulas senyuman lalu menerimanya, "makasih ya!"
"Sama-sama," jawabnya dengan senyuman.
Radit malah cengengesan, "bu guru cantik nanti jadi aunty adit ya?" tanyanya.
Aku menoleh terkejut dengan ucapan anak itu lalu menoleh pada Hanif dan kembali bertanya padanya, "kata siapa?"
"Kata mamah, katanya bu guru cantik nanti bakal jadi aunty-nya adit. Om juga siapin makanan kan buat aunty, padahal om juga kadang minta sarapan sama mamah, ucapnya membuat Hanif langsung menutup mulut anak itu.
Aku menahan senyuman mendengarnya.
"Aa udah sarapan?" tanyaku.
"Udah, tadi sekalian bikin sarapan buat kamu," jawabnya.
Aku mengangguk mengiyakan, "nanti pulang jam berapa?"
"Jam 5 sore kayak biasa, kenapa gitu?" tanyanya.
"Enggak, tadinya mau ajak jajan sekalian main sebentar," jawabku.
"Boleh," jawabnya dengan senyuman.
"Gak usah deh, lain waktu aja. Kalau Aa pulangnya siang," timpalku.
Hanif terkekeh mendengarnya, "ya gak apa-apa atuh. Jajannya sekalian jalan-jalan malem kan."
"Emangnya gak apa-apa ya? Gak capek?" tanyaku.
"Enggak dong. Kalau sama kamu capeknya hilang, lagian jarang juga ini main malem,"
Aku menatapnya sinis, "nakal gak?"
Hanif malah terkekeh mendengarnya, "ya enggak lah. Nanti Aa yang izin ke bapak kamu kalau kamu ngerasa dosa. Lagian gak bakal Aa ajak ke hotel kok."
"Om mau nginep ya sama aunty?" tanya Radit.
Aku menoleh pada keponakannya, "hayohhhh lohhh jawab ponakannya."
Hanif tersenyum sembari berjongkok di hadapannya, "bukan Sayang. Om cuman mau ajak jalan aunty aja."
"Oh gitu," ucap Radit paham.
Setelahnya, Hanif harus segera pamit. Kalau tidak, ia akan terus keasikan mengobrol denganku. Laki-laki itu melambaikan tangannya padaku dan juga ponakannya. Lalu melajukan motornya dengan santai.
"Aunty, Om ajakin main nanti malem ya? Mau ikut ah," ucap Radit sembari menggandeng tanganku masuk ke kelasnya.
Masa main bawa bocah?