Novel Keduabelas 🩶
Namaku Jennaira. Kisah ini adalah tentang aku yang menikah dengan seorang pria sempurna. Bertahun-tahun aku menganggapnya seperti itu, sempurna. Namun setelah menikahinya, semua berubah. Penilaianku terhadapnya yang asalnya selalu berada di angka 100, terus berubah ke arah angka 0.
Benar kata pepatah, dont judge a book by its cover. Penampilannya dan segala kemampuannya berhasil menghipnotisku, namun nyatanya hatinya tak seindah parasnya dan aku terlambat menyadarinya.
Unofficial Sound Track: Pupus
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32: Dia Kembali
Setelah sarapan, Gaga akan langsung berangkat kerja. Sedangkan aku membereskan meja makan, mencuci piring, lalu pergi. Aku akan berjalan sekitar 50 meter ke halte dan menunggu bus untuk mencapai sekolah. Syukurlah jarak antara apartement dengan tempatku mengajar bisa terhubung dengan bus Transjakarta ini.
Tiba-tiba saat menunggu, sebuah mobil yang familiar berhenti di depanku. Benar saja, itu mobil Gaga. Ia menurunkan kaca jendela dan memintaku masuk. Dengan hati berbunga aku pun masuk ke dalam mobil suamiku itu. Bagaimana tidak, ini pertama kali Gaga menawariku untuk pergi kerja bersama.
Jarak kami sudah semakin dekat bukan? Mobil Gaga pun melaju.
"Aku kira Gaga udah pergi," ucapku.
Biasanya aku akan diam dan menunggu Gaga membuka obrolan yang tak pernah terjadi selama ini jika kami sedang berdua seperti ini. Tapi kali ini, aku ingin adanya obrolan dalam perjalanan seperti ini menjadi satu kebiasaan bagi kami ke depannya.
"Tadi ada yang ketinggalan," sahutnya tanpa melihat ke arahku.
Ponselku bergetar dan sebuah nomor tak dikenal meneleponku.
"Nomor siapa?" gumamku.
Akupun mengangkatnya. "Halo?"
"Benar ini dengan Naira?" suara pria terdengar di telepon itu.
Aku melirik ke arah Gaga sekilas. "Iya, betul. Ini dengan siapa?"
"Saya yang waktu itu minta nomor kamu pas di restoran ramen tapi saya buru-buru pergi karena saya ada urusan. Udah agak lama sih kejadiannya."
"Oh iya, saya inget." Pria itu tentu aku mengingatnya, sejak saat itu aku cukup penasaran mengapa ia sampai meminta nomorku. Apa yang ingin ia bicarakan?
"Sore nanti apa kita bisa bertemu?"
Sontak aku menatap ke arah Gaga lagi. "Maaf, saya ada acara sama suami saya."
Gaga melirik ke arahku sekilas.
"Kalau siang bisa bertemu sebentar?" tanya pria itu.
Aku bingung harus menjawab apa. Akhirnya aku menutup telepon itu begitu saja. Apapun urusan pria itu denganku, tapi tak baik rasanya aku bertemu dengan pria itu di belakang Gaga.
Bukankah minimal aku harus meminta izin pada Gaga? Baiklah, aku akan meminta izin padanya.
"Gaga, aku..."
Belum sempat aku menuntaskan ucapanku, ponsel Gaga berbunyi nyaring. Sontak Gaga menepikan mobilnya. Saking cepatnya, aku sedikit tersentak ke jendela. Gaga langsung mengangkat telepon itu, seakan ia memang sudah menunggu telepon itu.
"Alleta?"
Tubuhku, terlebih hatiku sakit seketika. Seperti dihantam pisau yang menusuk jantung saat ku mendengar satu nama itu lagi setelah sekian lama.
Wajah Gaga begitu lega, tegang, dan tak sabar. "Kamu di mana?"
Air mataku menggenang. Aku mulai resah karena pertanyaan itu. Akankah Gaga meninggalkanku sekarang?
Gaga menutup teleponnya dan, "gue gak bisa anter lo. Lo turun di sini. Gue ada urusan yang mendesak."
Hatiku mencelos. Karena Alleta, Gaga kembali mengabaikanku.
Dan yang membuatku lebih tak bisa berkata-kata, ini sudah lebih dari setengah perjalanan. Tidak bisakah ia mengantarku lebih dulu?
"Tunggu apa lagi? Cepetan turun," ucapnya tak sabar.
Aku pun turun dari mobil dan menatap mobil Gaga yang menjauh dari pandanganku.
Menyedihkan sekali aku ini. Apa yang aku pikirkan? Memiliki pernikahan yang bahagia dengan Gaga?
Hah. Naif sekali kamu, Ra.
Sebulan semuanya berjalan dengan cukup baik. Jarak antara aku dan Gaga juga semakin berkurang. Namun nyatanya, sekarang aku tahu hubunganku dengan Gaga tak pernah mengalami kemajuan.
Ku seka air mataku dan berjalan ke arah sekolah. Sendirian, dan diam-diam meneteskan air mata.
Baru beberapa langkah, sebuah pesan masuk.
: Maaf sebelumnya. Tapi saya harus segera menemui kamu. Sekarang kamu ada waktu? Mungkin 15 menit?
Sepertinya yang ingin ia bicarakan memang cukup penting. Aku pun mengetik balasan.
: Saya ada waktu sampai pukul 8.30. Tapi tempat bertemunya tidak bisa jauh-jauh karena saya harus mengajar, di sekitar SMAN 678 Jakarta.
Balasan darinya segera muncul.
: saya sedang ada di depan sekolah itu. Saya tepat di depan gerbang.
Kebetulan sekali. Aku pun mempercepat langkahku agar lebih cepat sampai. Dan dari kejauhan aku bisa melihat mobil sport yang waktu itu ku lihat di parkiran restoran ramen, terparkir di depan gerbang sekolah. Pria itu pun ada di sana. Tak sulit mencarinya karena penampilannya yang mencolok. Ia mengedarkan pandangannya mencari seseorang.
"Selamat pagi," sapaku.
Pria itu pun menoleh. "Naira?"
"Iya."
"Saya belum sempat memperkenalkan diri sejak kita bertemu waktu itu. Perkenalkan," ia mengulurkan tangannya padaku. Aku pun menyambutnya, "saya Giovanno. Kamu bisa memanggil saya Gio."